KEMATIAN Ari Wahyu Utomo (12), pelajar di madrasah tsanawiyah (Mts) di Desa Bukit Raya, Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara (Kukar) menambah daftar korban jiwa yang meninggal di lubang tambang. Sejauh ini, sudah 31 orang yang direnggut nyawanya di lubang eks tambang yang tersebar di Benua Etam.
Karenanya, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengambil kebijakan terkait merebaknya kasus kematian di lubang tambang tersebut.
Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang menegaskan, presiden dituntut tidak hanya memberikan kewenangan tersebut pada pemerintah daerah. Pasalnya gubernur, bupati, dan wali kota belum mengambil langkah serius untuk menutup kemungkinan adanya korban baru di ribuan lubang tambang.
“Harus ada upaya pencegahan dini. Agar kejadian serupa tidak terulang. Tetapi hingga hari ini tidak terjadi. Langkah luar biasa sudah selayaknya diambil presiden,” imbuhnya, Senin (5/11) kemarin.
Pendekatan umum tidak dapat diambil untuk menyelesaikan kasus tersebut. Alasannya, fenomena kematian di lubang tambang tergolong “kejahatan” luar biasa. Terlebih, aparat dan pemerintah daerah tidak memiliki “taring” untuk bersikap tegas pada perusahaan.
“Dengan kewenangan yang dimiliki presiden, sudah sepatutnya memastikan agenda keselamatan rakyat Kaltim dari ancaman lubang tambang. Kepastian penegakan hukum harus benar-benar dilaksanakan,” serunya.
Rupang mengatakan, Jatam mengecam respons Gubernur Kaltim Isran Noor yang seakan-akan pasrah atas kasus tersebut. Hal tersebut terlihat dari pernyataan gubernur pada 25 Oktober 2018 lalu saat menjawab pertanyaan awak media.
“Kami mendesak Gubernur Kaltim bertindak keras kepada pelaku tambang yang melakukan pembiaran terhadap lubang-lubang tambang,” imbuhnya.
Menurut dia, kasus kematian Ari mestinya disikapi sebagai momentum untuk mengambil langkah tegas. Lubang tambang yang merenggut nyawa pelajar itu diketahui miliki PT Bukit Baiduri Energi (BBE). Karenanya, Jatam mendesak pemerintah mencabut izin usaha pertambangan (IUP) perusahaan tersebut.
Direktur Walhi Kaltim, Fathur Roziqin Fen menambahkan, kasus kematian di lubang tambang terjadi karena diduga perusahaan melakukan pembiaran. Pasalnya, perusahaan tidak melakukan pembenahan sistem keamanan dan keselamatan sesuai yang diamanatkan Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba serta Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Sejumlah perusahaan harus mempertanggungjawabkan persoalan serupa. Kami juga mendesak agar aktivitas operasinya dihentikan,” tegasnya.
Atas kasus tersebut, dia mempertanyakan sikap Kepolisian Daerah (Polda) Kaltim. Sejumlah kasus yang sama tak kunjung dilimpahkan ke pengadilan. Padahal masyarakat telah menunggu penyelesaian kasus yang telah dilaporkan pada kepolisian.
“Untuk itu kami mempertanyakan profesionalisme Polda Kaltim memastikan penegakkan hukum atas tewasnya 31 anak di lubang tambang,” imbuhnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: