GURU swasta di Bontang makin tertunduk lemas. Terutama bagi guru yang bekerja di sekolah swasta kecil, yang berniat mengabdikan diri hanya demi mencerdaskan anak bangsa tanpa mementingkan rupiah. Per 1 Januari 2019 lalu, peserta jaminan kesejahteraan daerah (Jamkesda) harus melakukan migrasi ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sejatinya, tak ada masalah dalam peralihan jaminan kesehatan ini. Namun yang jadi persoalan, guru swasta yang gajinya masih di bawah upah minimum kota (UMK), kewalahan untuk membayar iuran BPJS Kesehatan tersebut.
Persoalan ini terungkap dalam rapat dengar pendapat Komisi I DPRD Bontang dengan Dinas Kesehatan (Diskes) Bontang, BPJS Kesehatan Bontang, Badan Koordinasi Dakwah Indonesia Bontang (BKDIB), Badan Koordinasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Bontang, Ikatan Guru Taman Kanak-Kanak Indonesia (IGTKI) Bontang, Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) Bontang, dan Persatuan Guru Swasta (PGS) Bontang di ruang rapat lantai 2 sekretariat DPRD Bontang, hari ini (4/2/2019). Hadir dari komisi I, Bilher Hutahaean, Setiyoko Waluyo, dan Yanri Dasa.
Setiyoko yang membuka pertemuan pada pagi itu menuturkan, rapat ini diadakan karena ada kejadian seorang guru swasta yang kesulitan dalam mendapatkan jaminan kesehatan. Mulanya, guru swasta ini merupakan peserta dari jamkesda. Saat mengobati anaknya di rumah sakit, ia diberi tahu oleh pihak rumah sakit bahwa kepesertaan jamkesda sudah tak berlaku dan harus migrasi ke BPJS Kesehatan. Saat sudah migrasi, ternyata kartu BPJS Kesehatan yang dimilikinya dinyatakan tak aktif. Akhirnya, guru ini pun harus menanggung seluruh biaya berobat anaknya secara mandiri.
“Sementara sekolah atau yayasannya tak mampu untuk membayar preminya (BPJS). Ini yang jadi alasan saya mendesak untuk segera dilakukannya pertemuan ini, supaya bisa kita dengar penjelasan dari pihak-pihak yang terkait, dan siapa tahu ada celah agar para guru yang tak mampu membayar BPJS ini bisa kita tanggung,” ujar Setiyoko.
Plt. Diskes Bontang Bahauddin menjelaskan, dari cerita yang dipaparkan oleh Setiyoko, diduga guru tersebut belum melaksanakan kewajiban iuran sehingga status kepesertaannya dinonaktifkan. Sementara itu, merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, disebutkan jika yayasan yang berbadan hukum, iuran pegawai ditanggung pihak yayasan. Masalahnya, tak semua yayasan sanggup untuk melaksanakan aturan tersebut.
“Kami sudah pernah menyusun MoU (nota kesepahaman, Red.) terkait hal ini dengan BPJS Kesehatan untuk mengatasi seperti yang tak mampu membayar seperti ini. Kami pun masih mempelajari siapa tahu ada celah yang bisa dimanfaatkan,” katanya.
Kepala Kantor Operasional BPJS Kesehatan Bontang, Laily Jumiati menambahkan, sesuai perpres tersebut guru swasta masuk dalam kategori pekerja penerima upah (PPU). Kategori ini merupakan warga yang upahnya dibayarkan oleh yayasan, koperasi, dan bentuk badan hukum lainnya. Badan hukum tersebut wajib mendaftarkan pegawainya menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang dikelola BPJS Kesehatan.
“Jadi mereka (guru swasta, Red.) tak bisa masuk di kategori PBI APBD (Penerima Bantuan Iuran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) maupun APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) karena mereka menerima upah. Nilai iuran BPJS Kesehatan didasarkan pada UMK, tapi gaji-gaji mereka ini ternyata masih di bawahnya,” tambahnya.
Ia pun turut menanggapi cerita Setiyoko yang dipaparkan di awal rapat. Menurutnya, kasus tersebut banyak terjadi dan rata-rata karena peserta tak patuh bayar iuran. Peserta atau perusahaan yang tak patuh dalam mendaftarkan dan membayar iuran pegawainya , dapat dikenakan sanksi sesuai Peraturan Pemerintah (PP) nomor 86 tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.
“Kalau perusahaan terkait tentang perizinan, bisa izin operasionalnya yang terdampak,” kata Laily.
Sementara itu, Sekretaris PGS Bontang Marselinus mengungkapkan, masih banyak guru sekolah swasta di Bontang gajinya belum menyentuh UMK. Bahkan, di antaranya ada yang hanya puluhan ribu sampai tidak digaji. Mereka hanya mengharapkan insentif yang diterima dari Pemkot Bontang sebesar Rp 1 juta, itu pun terkadang tak rutin.
“Jumlah guru swasta di Bontang mencapai 1.500-2 ribuan, sebagian besarnya masih di bawah UMK. Bagaimana mau membayar BPJS, kalau mereka masih harus memikirkan apa yang akan dimakan,” keluhnya.
Dia merasa masih lebih menguntungkan menggunakan jamkesda karena tanpa iuran. “Saya juga berpikir, sebenarnya untuk apa ada BPJS kalau ternyata justru membuat kami makin susah,” tambahnya.
Senada, Ketua Himpaudi Bontang Nurdaniati mengusulkan agar pemerintah memberikan insentif tambahan untuk membantu guru-guru swasta membayar iuran BPJS Kesehatan. “Tak perlu menaikkan insentif sampai UMK, cukup sekitar Rp 100 ribuan untuk membayar BPJS,” usulnya.
Sedangkan Bilher Hutahaean di tengah rapat menyebut, sulit mencari celah hukum dengan adanya PP dan Perpres yang mengatur BPJS Kesehatan ini. Anggota dewan dari Fraksi NasDem ini turut mempertanyakan bagaimana jika ada badan hukum yang tak mampu membayarkan iuran pegawainya di BPJS Kesehatan.
“Masa ada orang sakit tak ditanggung oleh negara, sementara mereka tak mampu,” tanyanya.
Menanggapi hal itu, Laily pun kembali menegaskan sesuai regulasi yang sudah diatur, bahwa badan hukum wajib mendaftarkan kepesertaan pegawainya di BPJS Kesehatan dan membayar iuran berdasarkan UMK. Namun lanjut dia, dalam regulasi tersebut hanya disebutkan “badan hukum” saja, bukan “badan hukum yang tidak mampu”.
“Saya tidak tahu apakah kalimat tersebut nanti bisa menggugurkan regulasi tersebut atau tidak, saya serahkan ke pemerintah daerah terkait,” tandas perempuan berkerudung ini.
Karena belum ditemukan solusi yang tepat, rapat ini pun kemudian ditunda dan dilanjutkan dengan pemanggilan beberapa pihak lainnya. “Kita akan dijadwalkan kembali agar persoalan ini segera tuntas,” tutup Setiyoko. (zul)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: