SABTU (28/1) hari ini, warga Tionghoa di seluruh dunia merayakan Tahun Baru Imlek 2568 (2017 M), yang menandai dimulainya tahun ayam api. Merupakan perayaan terpenting bagi warga Tionghoa, perayaan Tahun Baru Imlek dimulai di hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa. Perayaan ini diakhiri dengan Cap Go Meh di tanggal kelima belas saat bulan purnama.
Termasuk di Kota Taman, warga minoritas Tionghoa tak luput ikut merayakan pergantian tahun ini. Gong Xi Fa Cai, ucapan selamat yang lekat dengan perayaan ini pun mulai terdengar. Kalimat yang bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti “selamat dan semoga sejahtera” ini menjadi harapan bagi warga Tionghoa di tahun yang baru.
Rupa-rupa perayaan Imlek memiliki perbedaan di setiap daerah. Di Bontang, tak banyak yang bisa disaksikan bentuk perayaannya. Dengan jumlah warga Tionghoa yang terbilang sedikit, sekitar 100-an kepala keluarga (KK), perayaan imlek di Bontang dirayakan secara sederhana.
”Wujudnya bervariasi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Sesuai keinginan masing-masing saja. Namun garis besarnya adalah menjalin silaturahmi antar sesama warga Tionghoa,” ungkap tokoh Tionghoa Bontang Sonny Lesmana.
Mirip hari raya Idulfitri, bentuk silaturahmi yang dilakukan meliputi kunjungan dari rumah ke rumah kerabat, makan besar bersama-sama, serta menggelar kegiatan-kegiatan internal. Kental suasana kekeluargaan, momen seperti ini memang dimanfaatkan benar untuk saling membaur sesama warga keturunan Tiongkok. Pernak-pernik Imlek pun tak luput menghiasi dalam kegiatan yang dilakukan.
“Ada yang pasang lampion misalnya, bertuliskan harapan di tahun yang baru. Kalau pakaiannya dominan warna merah, karena merah melambangkan keceriaan. Yaitu keceriaan menyambut tahun baru,” jelasnya.
Di Bontang, perayaan Imlek lebih dianggap sebagai pelestarian tradisi Tiongkok. Bukan sekadar perayaan agama, melainkan tradisi budaya turun-temurun. Sehingga, pergantian tahun dalam penanggalan Tiongkok ini juga dirayakan warga Tionghoa lintas agama. Bukan hanya mereka yang beragama konghucu, warga Tionghoa yang beragama lain pun turut merayakannya. Sonny yang memeluk agama Buddha, punya cara tersendiri merayakan Imlek.
“Selain tentunya silaturahmi dan berkumpul bersama keluarga, saya juga biasanya meditasi di rumah saat Imlek,” tandasnya.
Merayakan Imlek sebagai bagian tradisi juga dilakukan Kurniawan Santoso. Pria 34 tahun ini mengaku sudah melakukan berbagai persiapan untuk menyambut Tahun Baru Imlek 2568. Saat diwawancara Bontang Post, Koko – sapaan akrabnya- sudah harus bersiap maksimal hingga H -1 sebelum perayaan imlek dimulai. “Hari ini (kemarin, Red.) sudah mulai beribadah,” ujar Koko, Jumat (27/1).
Sama halnya etnis Tionghoa lainnya, berbagai dekorasi dan pernak-pernik seputar imlek sudah mulai terpasang di kediamannya di Jalan Gunung Latuk Nomor 1 Perumahan Bukit Sekatup Damai. Mulai dari hiasan lampion, berbagai kertas ucapan berbahasa mandarin, tak lupa angpao pun dipersiapkan.
“Yang paling khas itu kue keranjang, juga sudah kami siapkan di rumah,” kata pria yang juga bernama Yang Xiang Fa ini.
Bagi suami Lenny Polina ini, mendoakan leluhur sudah menjadi tradisi di setiap perayaan Imlek. Sebuah foto besar bergambar sang ayah dan leluhurnya yang lain terpasang di rumah, dihiasi lilin dan dupa.
Selain mendoakan leluhur, tradisi lain yang tak kalah unik adalah menggunting kuku, membersihkan rumah, hingga pantangan untuk keramas di hari perayaan. “Kalau bisa semua dilakukan maksimal sehari sebelum perayaan. Karena itu tradisi turun menurun, saya juga kurang mengerti apa filosofi dibaliknya,” jelas Koko.
Sementara itu Yeffrey Gunawan, warga keturunan Tionghoa di Tanjung Limau mengatakan, selain angpao, Imlek juga identik dengan kemunculan barongsai. Pria yang akrab dipanggil Asen ini menyebut, barongsai akan tampil lima belas hari setelah hari pertama Imlek, yang disebut Cap Go Meh. Cap Go Meh merupakan hari terakhir perayaan Tahun Baru Imlek.
Kata dia, barongsai yang tampil beraksi mendatangi dari rumah ke rumah milik warga keturunan Tionghoa. Bahkan tahun 2016 lalu, seni barongsai Bontang yang kini tergabung dalam Federasi Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI) mampu mendatangi lebih dari seratus kepala keluarga (KK) warga keturunan Tionghoa di Bontang.
“Datangnya barongsai ke rumah warga keturunan bukan hanya semata karena angpao. Melainkan dipercaya dapat membawa rezeki dan menolak bala,” jelasnya.
Asen menambahkan, bukan hanya warga keturunan Tionghoa beragama konghocu yang merayakan Imlek. Warga keturunan yang memeluk agama lainnya juga turut merayakan tahun baru Tiongkok ini. “Banyak warga Bontang yang merayakan Imlek di Samarinda. Karena kebanyakan keluarga tinggal di sana dan tempat ibadah mereka khususnya agama Konghucu berada di sana,” paparnya.
Untuk di Bontang sendiri, dipastikan tidak ada penyelenggaraan perayaan Imlek secara bersama. Ini diungkapkan Ketua Paguyuban Keluarga Tionghoa (Paket) Bontang, Goenadi. Kata dia, kondisi ekonomi saat ini yang sedang lesu turut berimbas pada usaha warga keturunan di Bontang. Karenanya, dia merasa tidak layak merayakan Imlek bersama di tengah kondisi saat ini.
Meski begitu diakui Goenadi, beberapa tahun belakangan Paket juga pernah merayakan Imlek bersama. Hanya saja, perayaannya digelar dalam nuansa sederhana berupa pesta makan bersama di salah satu kediaman atau gedung miliki pengurus Paket. “Karena di Bontang jumlah warganya nya sedikit. Berbeda dengan di Samarinda atau Balikpapan yang jumlahnya besar. Sehingga perayaan mereka pasti lebih meriah,” ujar Goenadi.
Selain pesta makan, Goenadi menjelaskan tradisi lainnya yang identik dengan perayaan imlek yakni angpao dan barongsai. Selain itu, biasanya juga tersedia kue keranjang dimana didalamnya terdapat ketan yang dibungkus dengan kertas khusus. Uniknya ketan ini bisa bertahan lama.
Sebagaimana Sonny, Goenadi juga menyebut bahwa perayaan Imlek mirip seperti halnya perayaan Idul Fitri. Yaitu terdapat terdapat tradisi untuk saling mengunjungi satu sama lain. “Imlek ini sudah tradisi sejak turun-temurun dan tidak bisa hilang. Sekalipun etnis Tionghoa saling berbeda agamanya,” sebutnya.
Dalam perayaan Tahun Baru Imlek tahun 2017 ini pun, pihak kepolisian tidak melakukan pengamanan sebagaimana perayaan Natal. Pasalnya, ketiadaan tempat ibadah bagi warga etnis Tionghoa di Bontang menjadikan perayaan Tahun Baru Imlek tidak dilakukan secara besar-besaran. Sejauh ini hanya dilakukan di rumah masing-masing.
Sekedar informasi, di Indonesia, selama tahun 1968-1999, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.
Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003. (bbg/ver/mga/luk/zul)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: