Ini kali pertama mamaknya gembira menyambut selembar kertas yang dibawa oleh Mustofa. Selama ini selembar kertas yang dibawa oleh Mustofa selalu merupakan petaka, kabar buruk entah berupa tagihan atau peringatan. Tapi kali ini Mustofa membawa kabar gembira, dia terpilih menjadi nominator anggota Paskibraka. Angan mamak Mustofa melambung tinggi, dalam bayangannya kini Mustofa sudah jadi laki-laki gagah, dengan seragam hijau-hijau, rangsel di pungung dan senjata di pundak. Mamak Mustofa selalu ingin anaknya jadi tentara.
Sepuluh hari Mustofa mengikuti pelatihan pra paskibraka. Dia dan teman-temannya dikarantina di asrama tentara. Pagi, siang, hingga sore isinya baris berbaris dengan pelatih para tentara dan juga kakak-kakak purna paskibraka lainnya.
Tiba saatnya pengumuman, siapa yang akan dilantik menjadi paskibraka dan melakukan pengibaran bendera di saat peringatan proklamasi kemerdekaan. Satu persatu nama dibaca hingga kemudian pembaca pengumuman meminta semua bertepuk tangan untuk memberi penghargaan pada yang terpilih. Nama Mustofa tidak disebut.
Mustofa tenang saja, yang dikhawatirkan olehnya hanya murka mamaknya kala tahu kalau pada akhirnya Mustofa tak terpilih. Pasti mamaknya akan menyalahkan Mustofa karena dianggap tak disiplin dalam mengikuti karantina. Bukan sekali dua kali mamak Mustofa menyebut anaknya dengan sebutan ‘Dasar Kebo’.
Ya Mustofa kerap disebut Kebo (Kerbau) oleh mamaknya karena sering dianggap suka maunya sendiri. Susah diperintah untuk ini itu meski menurut mamaknya apa yang dimintakan pada Mustofa adalah hal yang baik.
Namun mau tidak mau Mustofa harus pulang dan menghadapi mamaknya. Dan dengan keyakinan penuh akhirnya Mustofa memberanikan pulang ke rumah dengan langkah tegap. Benar saja ketika melihat Mustofa datang, sontak mamaknya meradang.
“Kamu lari kah dari karantina, belum upacara bendera kok sudah pulang,”
“Bukan lari mak, tapi memang Mumus harus pulang,”
“Kenapa kamu pulang?’
“Ya harus pulang mak, untuk apa disana?, mau jadi penjaga malam?”
Sejenak mamak Mustofa tersadar kalau ada yang tidak beres dengan kepulangan anaknya dari Karantina untuk persiapan menjadi Paskibrata itu. Matanya nampak berkaca-kaca dan bibirnya agak bergetar ketika mengatakan “Jadi kamu nda terpilih ya Mumus?”
Mustofa tidak menjawab.
Mamaknya mengikuti langkah Mustofa menuju kamar untuk menaruh tas pakaiannya. Semua pakaian dalam tas itu adalah pakaian kotor dan penuh keringat. Mustofa membawa tas itu kedalam kamar karena ingin mencucinya sendiri. Dia tak ingin mamaknya sedih apabila mencuci pakaiannya yang akan mengingatkan mamaknya pada kegagalan Mustofa menjadi pengibar bendera pusaka.
Ketika terpilih menjadi calon untuk seleksi menjadi Paskibraka, yang paling bergembira justru mamaknya, sementara Mustofa merasa biasa-biasa saja. Dan sejak awal Mustofa sudah tahu pasti kalau dirinya akan gagal.
“Kamu ini Mumus, mamak sudah bilang disiplin-disiplin. Pasti itu yang membuat kamu nggak terpilih. Lalu kapan lagi kamu punya kesempatan?”
“Mumus memang nggak punya kesempatan lagi mak untuk jadi pengibar pusaka, tapi Mumus masih punya kesempatan untuk menjadi penjaga pusaka Samarinda,”
“Maksudmu apa Mumus menjadi penjaga pusaka Samarinda itu,”
“Menurut mamak apa pusaka Kota Samarinda?”
“Mana mamak tahu, kalau Toko Pusaka mamak hafal,”
“Pusaka Kota Samarinda ya Sungai Karang Mumus mak,”
Lagi-lagi mamak Mustofa terkaget mendengar anaknya menyebut Sungai Karang Mumus sebagai pusaka kota. Selama ini mamaknya melihat tak ada yang luar biasa dengan Sungai Karang Mumus, tak ada aura mistiknya selain cerita Hantu Banyu dan Kerajaan Buaya yang tak lagi menakutkan dibandingkan berita korupsi, narkoba, anak jalanan dan jambret serta begal.
Sesekali mamaknya melihat sisa-sisa aura mistis di Sungai Karang Mumus, kala ada orang tertentu menghanyutkan sesaji ke aliran sungai. Konon mereka tengah memberi makan buaya yang dipercaya sebagai kembaran dari moyang mereka.
“Kamu itu sudah gagal jadi Paskibraka, pulang-pulang malah bawa cerita yang mengada-ada,”
“Mamak ini sudah lama tinggal di Samarinda kok nda tahu hubungan antara Kota Samarinda dan Sungai Karang Mumus,”
“Hallah , Mumus kamu ini ada ada saja seperti politikus,”
“Mamak, Mumus kasih tahu ya kalau Sungai Karang Mumus ini cikal bakal Kota Samarinda. Dulu permukiman warga mulai dari sungai ini. Budaya sungai yang membuat Kota Samarinda berkembang,” terang Mumus.
“Mumus, kalau sungai ini penting untuk Kota Samarinda apalagi disebut sebagai pusaka kota nda mungkin keadaannya akan seperti sekarang ini,” sanggah mamak Mustofa.
“Nah, itu makanya Mumus mau menjadi penjaga pusaka Kota Samarinda karena nda ada yang menjaganya,” ujar Mustofa semangat.
“Kamu ini kayak betul betul saja, wong pemerintah saja nggak mampu menjaga apalagi kamu,”
“Mamak bedakan antara ndak mampu sama ndak mau atau ndak perduli,”
“Jadi menurut kamu pemerintah tidak mau dan tidak perduli, begitu?”
“Ya kira-kira begitu mak. Soalnya kalau mau dilihat, masalah utama Kota Samarinda ini semua punya hubungan dengan Sungai Karang Mumus. Ambil contoh saja Kota Samarinda gagal mendapat Adipura, ya pasti karena sampah dan kotoran di Sungai Karang Mumus nda bisa disembunyikan,”
Mamak Mustofa mulai paham yang dikatakan oleh anaknya. Lama tinggal di permukiman pinggir sungai memang membuat mamak Mustofa tak terlalu memikirkan sungai. Sungai kotor, bau dan meluap dianggap biasa-biasa saja, dari dulu juga begitu.
“Juga banjir mak, daerah-daerah banjir sekarang ini pasti ada hubungan dengan Sungai Karang Mumus, kalau nda dapat luapan, berarti airnya nda bisa masuk ke aliran Sungai Karang Mumus,”
“Ya sudah terserah kamu Mumus mau suka jadi apa, wong yang mau menjalani hidup itu kamu. Yang penting tidak menyusahkan orang tua, saudara dan orang lainnya,” ujar mamak Mustofa melunak.
Keesokan harinya ada pemandangan berbeda di dinding jamban belakang rumah Mustofa. Terpasang sebuah papan bekas dengan tulisan tak begitu rapi. “Posko River Guard” itu yang dituliskan oleh Mustofa dan kemudian di pasang di dinding luar jamban.
Dan sejak memasang papan nama itu, Mustofa kemudian mengajak teman-teman untuk mulai mencintai sungai dan menjaga karena sungai adalah air kehidupan.
“Sungai diciptakan bukan untuk manusia saja melainkan juga mahkluk Tuhan lainnya,” begitu mantra utama yang selalu dipakai oleh Mustofa untuk memberi kesimpulan akhir setiap kali berbicara tentang Sungai Karang Mumus.
Pondok Wira, 25/09/2016 @yustinus_esha
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post