Serial Karang Mumus 27, Si Ikan Malas

 

Konon masyarakat adalah kumpulan kepentingan yang dinegosiasikan. Negeri Nusantara menjadi negeri yang rumit karena pluralitas masyarakatnya sebagaimana tercermin dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Di jaman orde baru, Ika atau satu, kesatuan yang lebih diutamakan oleh Presiden waktu itu.  Tekanan pada persatuan di jaman pemerintahan Suharto itu membuat segala sesuatu yang terkait dengan SARA ditekan sedalam-dalamnya.

Mustofa lahir saat orde reformasi, maka Suharto tak terlalu dikenalnya. Satu hal yang sering dilihat tentang Suharto pada masa-masa terakhir ini adalah meme yang mengambarkan wajah Suharto dengan box ucapan “Piye, isih enak jamanku to,”.

Melihat  meme semacam itu Mustofa juga tak terlalu tertarik  karena dia tak pernah hidup di jaman itu. Jamannya adalah jaman keterbukaan, ketika orang tak lagi malu-malu mengangkat bendera masing-masing. Setiap hari Mustofa melihat bendera-bendera terpasang di pinggir jalan yang menandakan adanya pertemuan,musyawarah besar atau apapun dari berbagai kelompok dengan aneka latar.  Mereka kritis pada pemerintah kalau tak dapat bantuan, namun jika namanya ada dalam list hibah atau bansos yang besar maka biasanya mengumbar puja-puji.

Bondan teman Mustofa selalu menyebut dirinya  sebagai BaKut ketika ditanya latar belakang sukunya. Bondan memang putra pasangan bapak Banjar dan ibu Kutai sehingga menyebut diri BaKut yang adalah kependekan dari Banjar Kutai. Dan Bondan selalu menyebut Pujakelantan untuk Mustofa yang artinya adalah Putra Jawa Kelahiran Kalimantan.

“Mumus kamu nda pantas disebut sebagai Pujakelantan kalau tidak tahu Ikan Bakut,” kata Bondan.

“Adakah Ikan Banjar Kutai?”

“Bukan itu maksudku … lain BaKut itu … ini Ikan Bakut,” terang Bondan.

“Ah, aku nggak tahu, belum pernah lihat,”

Sebenarnya Bondan juga tak pernah melihat Ikan Bakut di Sungai Karang Mumus. Bondan hanya mendapat cerita dari kakeknya yang dulu adalah seorang pencari ikan di sungai. Namun sekarang kakeknya mempunyai usaha pengasapan ikan di tepian Sungai Karang Mumus.

Bakut adalah nama lain dari ikan yang dikenal sebagai Ikan Betutu. Ikan yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai marble glory atau marble sleeper lantaran pola warna tubuhnya yang mirip batu pualam kemerahan ini punya banyak nama. Ada yang menyebut ikan ini dengan sebutan bakutut, belosoh, boso, ikan bodoh, gabus bodoh, ketutuk, ikan malas, ikan hantu dan lain sebagainya.

Kakek Bondan sendiri menyebut ikan dengan kepala besar ini sebagai ikan pemalas.  Menurutnya ikan ini cenderung diam sampai berjam-jam meskipun terusik.

“Malam baru ikan ini bergerak mencari makan, yang dimakan udang, ikan kecil, kepiting dan siput,” terang kakek Bondan.

Kakek Bondan menambahkan kalau Ikan Betutu disukai oleh pemancing. Dan dagingnya lembut serta enak. Sehingga di negara tetangga dikenal sebagai sajian yang mahal.

“Jadi Mumus, ikan ini sebenarnya ikan hebat makanya mahal. Tapi ikan ini hilang dari Sungai Karang Mumus,” ujar Bondan.

“Hebat bagaimana, kalau hebat kenapa dibilang ikan pemalas,”

“Sesuatu kalau dihargai mahal pasti ada banyak manfaatnya. Atau pasti ada sesuatu yang bernilai,”

“Nah, apa manfaat daging Ikan Pemalas ini,” tanya Mustofa pada Bondan.

“Banyak, tapi ini cuma kubaca Mumus, soalnya aku juga belum pernah rasa”

Dan kemudian Bondan menceritakan bahwa Ikan Bakut mengandung banyak vitamin E, mengkonsumsi dagingnya sehari 100 gram akan membuat kulit jadi halus dan tentu saja awet muda. Ikan ini juga kaya dengan albumin yang membantu mempercepat menyatukan jaringan kulit, sehingga amat berguna untuk mereka yang terluka atau baru dioperasi. Albumin juga membantu untuk mencegah infeksi serta mengendalikan rasa nyeri.

“Banyak kan Mumus, termasuk untuk meningkatkan vitalitas bagi bapak-bapak,” sambung Bondan sambil tertawa.

“Oh, iya …juga membantu penyembuhan Autis,” tambah Bondan.

“Wah, mantap ikan ini. Tapi kenapa hilang dari Sungai Karang Mumus,”

“Ya punah Mumus, karena kehilangan habitatnya,”

“Oh, dia kehilangan rumah dan lingkungannya ya,”

Dan Bondan menerangkan betapa dulu di kanan kiri Sungai Karang Mumus ditumbuhi oleh banyak pepohonan. Ada Rambai Padi, Bakau Sungai, Bunggur, Jinggah, Bemban, Beringin, Kedondong, Sagu dan seterusnya. Sungai tidak terpisah dari lingkungan di kanan kirinya.

“Nah habitat artinya tempat mahkluk tinggal dan berkembang biak. Kalau lingkungan fisiknya berubah ya habitanya hilang, jadi mahkluk seperti ikan dan lain-lainnya juga menghilang,” terang Bondan.

“Kalau beda habitat sama ekosistem apa?” ujar Mustofa seperti menguji Bondan

“Keduanya sama-sama sistem ekologi Mumus, tapi dalam sebuah ekosistem ada banyak habitat. Jadi ekosistem lebih rumit dan lebih besar. Kalau sampai yang rusak ekosistemnya jauh lebih berbahaya dan sulit untuk diperbaiki,” terang Bondan lancar.

“Sayang ya terkadang ekosistem dan kumpulan habitat dikorbankan dalam pembangunan, demi urusan kerapian,”

“Persis seperti katamu itu Mumus. Seperti sungai yang ditanggul misalnya. Kelihatannya rapi tapi ikan akan kehilangan habitatnya karena sungai terpisah dari pinggirannya. Ekosistemnya juga akan berubah, karena pinggiran sungai lalu ditanami dengan tanaman peneduh yang asing bagi lingkungan sungai. Sirkulasi air hujan juga akan berubah dan lain sebagainya,” ujar Bondan panjang lebar.

“Kok bisa begitu ya. Siapa yang merancang pembangunan seperti itu?”

“Itu karena sungai kerap dipandang dari sisi badan atau alirannya saja. Padahal sungai tak terpisah dari lingkungan sekitarnya bahkan sampai daerah yang jauh yang seperti tidak berhubungan langsung dengannya. Itu makanya ada sebutan DAS atau Daerah Aliran Sungai,” lanjut Bondan.

“Lalu hilangnya ikan Bakut atau Betutu itu pertanda apa?”

“Bakut itu sering dibilang ikan pemalas, jadi tidak agresif. Maka hilangnya ikan ini dari Sungai Karang Mumus pertanda kalau sungai ini tidak dilindungi,” Bondan.

“Bondan, kalau begitu mereka yang seharusnya melindungi sungai adalah orang-orang pemalas. Malas berpikir untuk membuat sungai tetap menjadi sungai. Mereka lebih suka jalan yang tidak rumit dengan menjadikan sungai sebagai kanal. Dan kanal itu tetap disebut sungai karena sudah terlanjut puluhan bahkan ratusan tahun sebelumnya disebut sebagai sungai,” ujar Mustofa tak kalah panjang.

“Masuk … resmi sudah kesimpulanmu itu Mumus. Semoga kamu nggak ikut-ikutan jadi pemalas seperti mereka-mereka yang seharusnya menjadi penanggungjawab sungai ini,”

“Bondan, siapa sih yang harus bertanggungjawab untuk menjaga sungai ini,”

“Kamu cari tahu sendiri lah,”

Mumus mulai mereka-reka siapa yang bertanggungjawab untuk menjaga sungai ini. Normatifnya memang semua orang, tapi pasti ada yang punya mandat yang didasarkan oleh undang-undang.

“Yang bertanggungjawab atas sungai pasti orang besar, punya pengaruh dan dikenal oleh banyak orang, iya kan Bondan?”

“Sepertinya begitu Mumus, tapi saya nda kenal karena mereka tak pernah muncul di sungai ini. Mereka lebih senang membincang sungai ini jauh dari sungai, kalau perlu sampai ke luar pulau bahkan keluar negeri,’ jawab Bondan.

“Cocok sudah dengan kata-katamu tadi Bondan, orang pemalas itu memang sering kali membincangkan masalah bukan di tempat masalah itu berada,” pungkas Mustofa tegas.

Pondok Wiraguna, 27/09/2016 @yustinus_esha

Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News

Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:


Exit mobile version