Oleh: Herdiansyah Hamzah
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda)
Pada prinsipnya masa jabatan gubernur itu selama 5 (lima) tahun. Terhitung sejak hari pelantikan. Hal ini disebutkan secara eksplisit dalam pasal 60 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Bunyinya, “Masa jabatan kepala daerah adalah selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Ketentuan ini diperkuat dalam pasal 162 ayat (1) UU Nomor 10/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU nomor 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota. Disebutkan, “Gubernur dan Wakil Gubernur memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.”
Pada intinya, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, masa jabatan gubernur itu tidak boleh dikurangi. Bahkan hanya untuk 1 (satu) hari sekalipun tidak boleh. Dengan demikian, siklus pergantian gubernur, dari pejabat lama ke pejabat baru, hanya bisa dilakukan setelah masa jabatan lima tahun tersebut selesai.
Secara faktual, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak dilantik pada tanggal 17 Desember 2013 silam. Artinya masa jabatannya akan berakhir di bulan Desember 2018 mendatang. Oleh karena itu, berdasarkan norma yang tertuang dalam UU Pemda dan UU Pilkada, maka pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim terpilih, idealnya dilakukan pada Desember 2018.
Hanya saja, dalam kasus Awang Faroek ini, terdapat situasi yang berbeda. Di mana beliau telah mengajukan surat pengunduran diri sebagai gubernur. Itu sebagai persyaratan bakal calon anggota DPR RI. Seperti diketahui, Awang Faroek mengajukan diri sebagai bakal calon anggota DPR RI untuk daerah pemilihan Kaltim dari Partai Nasional Demokrat (NasDem).
Ketentuannya, bagi kepala daerah yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, diharuskan mundur dari jabatannya. Hal ini diatur dalam pasal 240 ayat (1) huruf k UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Di pasal itu disebutkan, “Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan, mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, ASN, anggota TNI, anggota Polri, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada BUMN dan/atau BUMD, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.”
Secara teknis, diperkirakan pengunduran diri Awang Faroek akan disetujui oleh presiden melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sebelum daftar calon tetap (DCT) dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Artinya, persetujuan tersebut paling lambat 1 (satu) hari sebelum penetapan DCT. Berdasarkan jadwal dan tahapan, DCT akan diumumkan pada tanggal 23 September 2018.
Setelah Awang Faroek tidak lagi menjabat sebagai Gubernur Kaltim, maka akan ada kekosongan jabatan. Dalam situasi kekosongan jabatan seperti ini, pelantikan Gubernur Kaltim terpilih bisa saja dipercepat dari jadwal yang ditentukan sebelumnya.
Secara hukum, itu memungkinkan. Dengan 2 (dua) alasan pokok. Pertama, masa jabatan gubernur selama lima tahun sebagaimana diatur dalam pasal 60 UU Pemda jo. pasal 162 ayat (1) UU Pilkada, tidak berlaku lagi. Sebab gubernur telah mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir.
Kedua, adanya kekosongan jabatan pasca pengunduran diri gubernur. Kekosongan jabatan ini tentu berimplikasi pada jalannya pemerintahan di Kaltim. Terlebih posisi wakil gubernur juga kosong.
Ada 2 (dua) opsi bagi Mendagri untuk menjawab kekosongan jabatan ini. Opsi pertama, mengangkat pelaksana tugas (plt). Opsi kedua, mempercepat pelantikan gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Namun dengan keterbatasan wewenang plt dalam mengambil keputusan-keputusan strategis pemerintahan, maka mempercepat pelantikan adalah pilihan rasional Mendagri yang bisa diterima dan memiliki dasar hukum yang memadai.
Menurut saya, tidak tepat apabila Awang Faroek berkesimpulan bahwa masa jabatan gubernur terlilih tetap di bulan Desember 2018, dengan mencontohkan kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Kondisi Kaltim tidak dapat disamakan dengan DKI Jakarta. Sebab waktu itu, DKI masih memiliki wakil gubernur yang dapat menggantikan posisi gubernur. Baik ketika gubernur berhalangan sementara maupun berhalangan tetap.
Dalam posisi Ahok yang divonis bersalah dan ditahan, Djarot Saiful Hidayat sebagai wakil gubernur, secara otomatis (ex-officio) melaksanakan tugas dan kewenangan gubernur. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 65 ayat (3) dan (4) UU Pemda. Sementara kondisi Kaltim berbeda, di mana jabatan wakil gubernur kosong setelah meninggalnya Mukmin Faisyal.
Setelah Ahok menyatakan tidak jadi banding, maka seketika itu pula kasusnya dinyatakan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Dengan begitu, posisi Djarot serta merta dapat dilantik sebagai pejabat gubernur secara definitif sampai masa jabatan lima tahun selesai.
Sedangkan di Kaltim, kosongnya jabatan wakil gubernur memungkinkan pelantikan gubernur terpilih dipercepat. Memang benar opsi plt tetap ada. Tetapi opsi mempercepat pelantikan gubernur dan wakil gubernur oleh Mendagri, itu juga mempunyai dasar yang kuat dan memadai baik secara hukum maupun sosiologis. (*/red/drh)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post