bontangpost.id – Kenaikan tarif listrik dipastikan tidak menyasar masyarakat tidak mampu. Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana menuturkan, kenaikan tarif listrik per 1 Juli hanya dibebankan kepada golongan pelanggan rumah ekonomi mampu berdaya 3.500 VA ke atas (R2 dan R3) serta golongan pemerintah (P1, P2, dan P3).
Rida menjelaskan, pengenaan tarif keekonomian itu hanya ditujukan untuk sebagian golongan pelanggan nonsubsidi dari rumah tangga ekonomi mampu yang tidak seharusnya mendapat subsidi atau bantuan.
“Kita memerlukan tariff adjustment (penyesuaian tarif), salah satunya untuk burden sharing (berbagi beban) sekaligus mengoreksi bantuan pemerintah agar lebih tepat sasaran dan lebih berkeadilan,” ujarnya.
Karena itu, untuk golongan R1 sampai 2.200 VA, dipastikan tidak ada penyesuaian tarif. Dia memerinci, kebijakan penyesuaian tarif itu diberlakukan kepada 2,5 juta atau 3 persen dari total pelanggan PT PLN (Persero). Seluruhnya adalah golongan pelanggan nonsubsidi.
Sejak 2017, pemerintah tidak menaikkan tarif listrik dengan menghentikan automatic tariff adjustment. Kebijakan itu tentu menimbulkan konsekuensi. Penghentian kebijakan tersebut membuat pemerintah melalui PLN mengeluarkan subsidi Rp 243 triliun, sejak 2017–2021.
Belum lagi ditambah pada 2022 yang sedang berjalan, kompensasi Rp 94 triliun digelontorkan dengan tujuan menjaga daya beli masyarakat. Juga mengendalikan inflasi agar tetap rendah. Total kompensasi yang tidak tepat sasaran itu mencapai Rp 4 triliun.
Rida menuturkan, data dari Badan Kebijakan Fiskal menunjukkan bahwa penyesuaian tarif listrik untuk golongan pelanggan R2, R3, dan pemerintah pada 1 Juli ini berdampak kecil terhadap inflasi. Yakni, sekitar 0,019 persen. Dia berharap dampak yang kecil terhadap inflasi tersebut turut menjaga daya beli masyarakat.
”Ke depan, apabila sektor bisnis dan industri menengah dan besar telah pulih, dimungkinkan tarif tenaga listrik dapat kembali mengalami perubahan naik ataupun turun melihat perkembangan kurs, ICP, inflasi, dan HPB. Selain itu, efisiensi yang terus dilakukan PLN dapat menjadi pemicu turunnya tarif tenaga listrik,” jelas Rida.
Head of Center Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra PG Talattov menyatakan, kenaikan tarif listrik itu terlambat. Seharusnya kenaikan dilakukan ketika harga komoditas energi meningkat. Misalnya, minyak mentah dan batu bara.
Sebab, PLN sebetulnya sudah diberi mandat oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 3 Tahun 2020. Aturan tersebut memperbolehkan PLN melakukan penyesuaian tarif bila terjadi perubahan terhadap empat variabel. Yakni, nilai tukar US dolar terhadap rupiah, Indonesia crude price, inflasi, dan harga patokan batu bara.
”Nyatanya, sejak 2017 sampai 2021, tidak pernah dilakukan penambahan tarif ke pelanggan PLN nonsubsidi. Baru tahun ini,” ujar Abra saat dihubungi Jawa Pos tadi malam.
Meski demikian, kenaikan tarif listrik tersebut tidak akan meringankan beban fiskal pemerintah secara signifikan. Sebab, dua kategori pelanggan itu hanya memiliki potensi penghematan kompensasi senilai Rp 1,5 triliun.
Sementara itu, total kompensasi yang dikeluarkan pemerintah mulai 2017–2021 mencapai Rp 94,2 triliun. “Ini sangat kecil. Jumlah yang terkena kenaikan biaya hanya 2,5 persen dari total pelanggan PLN,” imbuhnya.
Namun, lanjut Abra, paling tidak keputusan pemerintah itu menjadi sinyal bahwa memang sudah waktunya melakukan rasionalisasi terhadap tarif dasar listrik nonsubsidi. Sebab, golongan rumah tangga mampu menikmati sekitar 32 persen dari total dana kompensasi 2021. Lalu, yang paling banyak adalah industri besar dengan 49,7 persen. (dee/agf/han/c19/cak/jpg/kri/k16)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: