bontangpost.id – Indonesia CERAH dan MarkData merilis hasil survei pemangku kepentingan (stakeholders) tentang kebijakan transisi energi berkeadilan di Indonesia. Survei ini mengambil sampel dari pemangku kepentingan yang berasal dari berbagai latar belakang seperti ASN, pengusaha dan pegawai swasta, serta pekerja dan masyarakat sipil lainnya yang ada di tiga wilayah yang memiliki ketergantungan besar terhadap energi fosil, khususnya batu bara, yaitu Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat.
CEO MarkData, Faisal Arief Kamil mengatakan, survei ini dilaksanakan pada tanggal 10-20 Desember 2023 dengan metode purposive sampling dan metode wawancara tatap muka secara langsung dari sebanyak 123 responden. Temuan utama dari survei ini adalah mayoritas dari responden menyatakan mendukung pelaksanaan transisi energi berkeadilan (87,0%).
“Alasannya, karena mayoritas pemangku kepentingan atau responden telah memahami pentingnya mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan perubahan iklim (72,0%) dan melihat adanya potensi manfaat ekonomi seperti penciptaan lapangan kerja baru (50,5%),” kata Faisal.
Sedangkan pemangku kepentingan yang cenderung tidak mendukung pelaksanaan transisi energi berkeadilan, menurut Faisal, adalah sebesar 13% dengan alasan yang beragam, di antaranya karena manfaat transisi energi tidak didistribusikan secara merata (71,4%), potensi hilangnya pekerjaan di sektor energi minyak bumi, gas, dan batu bara (57,1%), adanya masalah atau tantangan lain yang dianggap lebih mendesak (55,6%), dan rasa tidak percaya pada komitmen pemerintah dan sektor swasta (42,9%).
Saat ditanyakan mengenai pendapatnya mengenai pelaksanaan transisi energi berkeadilan di Indonesia, responden dari Kalimantan Timur (25%) adalah provinsi yang memiliki tingkat kekhawatiran lebih tinggi terhadap pelaksanaan transisi energi berkeadilan bila dibandingkan dengan dua daerah lainnya, yaitu Jawa Barat (9,3%), dan Sumatera Selatan (5%).
Agung Budiono, Direktur Eksekutif Indonesia CERAH mengatakan, responden yang berasal dari stakeholders di Kalimantan Timur melihat kebijakan transisi energi berkeadilan sebagai sebuah hal yang mengkhawatirkan.
Alasannya karena, isu mendesak lain, distribusi manfaat yang tidak merata, kehilangan pekerjaan di sektor energi, dan skeptisisme terhadap komitmen pemerintah dan swasta. Selain itu, memang karena secara ekonomi Kalimantan Timur memiliki ketergantungan yang kuat atas ekonomi sumber daya alamnya dari batu bara.
Agung menambahkan kekhawatiran atas pelaksanaan kebijakan transisi energi berkeadilan perlu diantisipasi dengan adanya kebijakan yang jelas baik dari level pemerintah daerah dan nasional.
“Penting bagi daerah untuk menyusun peta jalan yang komprehensif dan pelibatan pemangku kepentingan secara luas untuk menyusun strategi agar Kalimantan Timur dapat mempersiapkan dirinya dari ketergantungan ekonomi batu bara,” tuturnya.
Selain itu, dalam pertanyaan terbuka yang diajukan, para pemangku kepentingan secara umum memahami konsep “transisi energi berkeadilan” sebagai peralihan BBM ke energi listrik (27,9%), peralihan energi fosil ke energi terbarukan (26,2%), dan perubahan energi menjadi energi bersih atau ramah lingkungan (22,1%).
“Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran para pihak sudah lebih baik dibandingkan dengan survei CERAH periode sebelumnya yang lebih banyak mengetahui hanya soal penggunaan kendaraan listrik,” jelas Agung.
Intan Fatma Dewi, Project Assistant Indonesia CERAH menambahkan, adapun faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam mendukung atau tidak mendukung kebijakan transisi energi utamanya bergantung pada seberapa besar pemahaman mereka terhadap kebijakan melalui penyuluhan/sosialisasi dan kemampuannya dalam mengakses teknologi yang hemat energi.
Bagi pemangku kepentingan yang menjadikan isu transisi energi berkeadilan sebagai prioritas (85,3%) diantaranya adalah karena bahan bakar fosil yang semakin menipis (39,0%), kebutuhan akan energi yang semakin tinggi (30,5%), serta diperlukannya energi terbarukan yang ramah lingkungan (16,2%). Sementara bagi mereka yang tidak menjadikan isu transisi energi berkeadilan prioritas (14,6%) karena menganggap terdapat isu lain yang menjadi prioritas, seperti pendidikan, korupsi, kemiskinan, dan kesehatan.
Subsidi kendaraan listrik (91,1%) menjadi program kebijakan transisi energi berkeadilan yang paling populer diketahui oleh pemangku kepentingan dibandingkan dengan pemasangan PLTS (67,5%), dan pemberhentian/pemensiunan PLTU batu bara (35,8%).
Selain itu, menghemat biaya (45,0%) adalah alasan yang paling disebut oleh para pemangku kepentingan sebagai program yang paling efektif dalam transisi energi berkeadilan oleh responden di Sumatera Selatan. Sedangkan mengurangi polusi udara (39,5%) adalah alasan paling efektif yang banyak disebut oleh responden di Jawa Barat.
“Adapun responden melihat adanya kesempatan yang didapat dari kebijakan transisi energi seperti subsidi kendaraan listrik, pemasangan PLTS, dan pemberhentian PLTU batu bara, adalah pembukaan lapangan kerja baru serta mendorong inovasi dan peluang investasi pada sumber energi terbarukan,” tutur Intan.
Mayoritas stakeholders yaitu sebanyak 91,9% tertarik untuk berpartisipasi dalam mendukung pelaksanaan transisi energi berkeadilan. Sebagian responden juga menyatakan (59,3%) program-program tersebut akan berdampak pada perubahan pandangan terhadap pemerintah, jika melaksanakan program-program transisi energi berkeadilan.
“Transisi energi berkeadilan menjadi kebijakan yang cukup didukung sekaligus krusial merubah persepsi mereka terhadap pemerintah,” tutup Intan. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post