SAMARINDA – Puluhan warga Kelurahan Sangasanga Dalam, Kecamatan Sangasanga, Kutai Kartanegara (Kukar), Senin (25/7) kemarin berbondong-bondong mendatangi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim. Massa meminta Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tersebut menghentikan operasi pertambangan batu bara CV Sangasanga Perkasa (SSP).
Koordinator warga, Muhammad Zainuri menuturkan, tuntutan tersebut muncul setelah bertahun-tahun pihaknya merasakan imbas negatif dari penambangan yang dilakukan CV SSP. Salah satu akibat yang kerap dirasakan warga yakni banjir.
“Kami merasakan banjir itu sejak 2014. Sebelumnya daerah kami itu sumber air. Kalau daerah lain sedang kemarau, mereka ambil air ke daerah kami. Itu terjadi sebelum 2014,” ungkap Zainuri.
Disebutkan, sebelum tambang masuk, masyarakat setempat memiliki embung yang digunakan sebagai sumber air. Belakangan setelah kehadiran tambang, muncul dampak buruk yang merusak sumber air tersebut.
“Sekarang sumber air tanah sudah sulit dicari. Orang-orang sudah enggak bisa dapat air dari tanah. Bahkan untuk memasak sekalipun, harus beli air,” bebernya.
Dampak tersebut terjadi karena pemukiman warga lebih tinggi dari danau yang dijadikan embung. Sehingga embung yang kerap digunakan 86 kepala keluarga (KK) di kelurahan itu tidak lagi dapat menghasilkan air bersih.
Sementara itu, terdapat 500 KK yang merasakan dapat banjir. Sebab banjir juga menimpa warga di Kelurahan Sari Jaya. Berdasarkan temuan warga, banjir terjadi disebabkan pendangkalan sungai. Pasalnya setiap kali lahan ditambang, ketika hujan turun terdapat material pasir yang dibawa air.
“Karena bukit yang ditambang perusahaan itu adalah pasir. Lahannya berbentuk pasir. Kalau ditambang, pasir akan turun. Begitu juga ketika ditambang, areal itu akan rusak. Kalau ditambang terus, akan memperparah lingkungan kami,” kata Zainuri.
Lahan seluas 42,52 hektare yang ditambang CV SSP, lanjut dia, sudah pernah ditambang. Karenanya tidak termasuk kuasa pertambangan baru. “Jadi yang ditambang itu tinggal di pinggir kampung saja. Harusnya mereka mereklamasi lahan. Bukan menambangnya. Karena sudah pernah disampaikan, cadangan batu bara mereka sudah habis,” ungkapnya.
Sejatinya pada 2014 izin usaha pertambangan (IUP) perusahaan di lokasi yang tidak jauh dari permukiman warga tersebut sudah tidak lagi aktif. Namun tanpa sepengetahuan warga, pemiliknya kembali melakukan penambangan.
“Izin pertambangan mereka kembali hidup tanpa persetujuan warga. Kemarin sudah pernah sosialisasi ke warga tetapi ditolak. Sekarang mereka kembali menambang,” terangnya.
Atas dasar itu, warga juga menuntut ganti rugi pada pemilih usaha pertambangan tersebut. “Kami mendesak pemerintah mendorong CV SSP memberikan ganti rugi pada warga yang terkena dampak,” imbuh Zainuri.
Sementara itu Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang menilai, tuntutan warga tersebut sudah tepat. Pasalnya, perusahaan menambang tanpa memenuhi ketentuan yang berlaku. Terlebih Perjanjian Pemanfaatan Lahan Bersama (PPLB) CV SSP belum mendapat persetujuan PT Pertamina.
“CV SSP telah memiliki PPLB. Tetapi belum diakui PT Pertamina. Karena itu mereka masih menggunakan PPLB yang lama,” ucap Rupang.
Atas polemik tersebut, media ini telah berulang kali mencoba untuk menghubungi pemilik CV SSP. Tujuannya untuk mendapatkan jawaban atas tuntutan warga tersebut. Namun hingga berita ini diturunkan, sambungan teleponnya belum juga dijawab. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post