Hasil pemeriksaan sampel daging hiu dan air dari penangkaran masih harus ditunggu tiga pekan lagi. Ada perbedaan jumlah yang tewas antara versi si pemilik dan Balai Taman Nasional (BTN) Karimunjawa.
FEMY NOVIYANTI, Jepara, TAUFIQURRAHMAN, Jakarta
DARI Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, perjalanan itu dimulai. Untuk menemui hiu, di kepulauan yang ”kremun-kremun” nun di sana.
Tjoen Ming otomatis harus mempersiapkan bekal sebaik-baiknya. Sebab, perjalanan tersebut butuh belasan hari. Maklum, yang digunakan perahu layar.
Perjalanan penuh perjuangan itu harus dia lakukan dua pekan sekali. ”Dulu susah (transportasi, Red), tidak seperti sekarang ini,” kata Tjoen Ming kepada Jawa Pos Radar Kudus.
Begitulah pria asal Semarang tersebut mengawali perjuangannya menangkar hiu di Pulau Menjangan Besar, Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah, akhir 1960-an. Sampai membesar hingga akhirnya menjadi salah satu daya tarik wisata ke kepulauan yang berada di wilayah Jepara itu.
Tapi, kini penangkaran yang dia kelola dengan ”berdarah-darah” tersebut menghadapi problem besar. Puluhan ekor hiu karang hitam (Carcharhinus melanopterus) dan hiu karang putih (Triaenodon obesus) yang ditangkar mati misterius.
Hingga kemarin (20/3) penyebab kematian mendadak hiu-hiu itu masih misterius. Masih harus menunggu hasil uji laboratorium di Jogjakarta sekitar 21 hari atau tiga pekan lagi. ”Sampel daging hiu dan air baru saya kirim ke laboratorium kurang dari sepekan. Jadi, masih harus menunggu (hasilnya),” kata Tjoen Ming kemarin.
Kematian mendadak hiu-hiu itu terjadi pada Kamis (7/3) lalu. Sekitar pukul 04.00. Saat salah seorang penjaga di kolam penangkaran hiu Pulau Menjangan Besar bangun hendak ke kamar kecil.
Melihat hiu-hiu menggelepar, penjaga tersebut langsung membangunkan penjaga lainnya. Tak lama kemudian hiu-hiu itu sudah mati. Ikan-ikan kecil dan terumbu karang di dua kolam tersebut juga ikut mati. ”Sekitar pukul 05.00, penjaga melaporkan kejadian itu kepada saya melalui telepon,” kata Tjoen Ming yang ketika kejadian itu tidak berada di tempat.
Tjoen Ming melanjutkan, semua hiu dari dua kolam penangkaran mati. Jumlahnya, versi si pemilik, mencapai 100 ekor. Tapi, tim BTN Karimunjawa yang mengecek ke lokasi mengatakan, jumlah hiu yang tewas 40 hingga 50 ekor.
Hiu-hiu yang mati itu, jelas Tjoen Ming, indukan semua. Usianya kira-kira 40 tahun. ”Kalau hiu yang anakan selalu saya pindah dan tempatkan di kolam terpisah di bagian belakang. Supaya tidak berebut makanan. Hiu anakan semuanya masih hidup,” ungkapnya.
Tjoen Ming sudah melaporkan kasus tersebut ke polisi. Sedangkan untuk uji laboratorium, pihaknya telah mengirim sampel berupa 4 potong daging hiu, 2 botol air dalam kolam, serta 2 botol air luar kolam. Sementara itu, hiu dan ikan lainnya yang mati sudah dimusnahkan dengan cara dibakar.
Berenang bersama hiu di penangkaran selama ini menjadi salah satu ikon turisme Karimunjawa. Mengutip tourkarimunjawa.net, daya tarik tersebut juga biasanya ditawarkan sebagai paket wisata ke kepulauan yang terdiri atas 27 pulau itu.
Karimunjawa memang destinasi wisata andalan Jepara dan Jawa Tengah. Data di Tourist Information Center Jepara menyebutkan, pada 2017 ada lebih dari 77 ribu wisatawan yang berkunjung ke sana. Sekitar 7.800 di antaranya merupakan turis mancanegara.
Dari Dermaga Kartini, Jepara, Karimunjawa bisa dijangkau dalam lima jam jika menggunakan kapal barang. Sedangkan dengan kapal ekspres waktu tempuhnya lebih pendek, dua jam saja. Per hari ada satu sampai dua kali pelayaran dari Jepara ke Karimunjawa.
Menurut legenda setempat, adalah Sunan Muria (salah seorang di antara sembilan wali penyebar agama Islam di Jawa alias Wali Sanga) yang pertama menemukan Karimunjawa. Dia menyebutnya sebagai pulau yang ”kremun-kremun” (sayup-sayup) terlihat dari puncak Gunung Muria.
Kepala BTN Karimunjawa Agus Prabowo menyatakan, kolam milik Tjoen Ming untuk penangkaran hiu tersebut pada mulanya keramba. Yang ditujukan untuk budi daya ikan jenis kerapu, badong, dan lainnya.
”Pemilik juga memelihara beberapa ekor hiu. Seiring dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang datang ke Karimunjawa, keramba tersebut menjadi destinasi dan atraksi wisata,” kata pria 83 tahun itu kepada Jawa Pos Radar Kudus.
Tjoen Ming menduga hiu-hiu tersebut mati karena diracun. Tapi, untuk pastinya, pihaknya tentu masih harus menunggu hasil lab. Menurut BTN Karimunjawa, saat pertama sampai di lokasi untuk mengecek, pihaknya tidak menjumpai hiu mati. Sebaliknya, ada sepuluh ekor hiu yang hidup di kolam berjaring.
Pihak BTN Karimunjawa kemudian menggali keterangan lebih lanjut dari penjaga kolam penangkaran. ”Jumlah hiu yang dijumpai mati di dasar kolam ada 40 hingga 45 dan dua ekor masih bisa diselamatkan dengan memindahkan ke keramba lain,” ujar Agus.
Sementara itu, Bycatch and Shark Conservation Coordinator WWF Indonesia Dwi Ariyoga Gautama mengungkapkan, jenis hiu karang memang tidak termasuk hewan laut yang dilindungi. Dari 120-an jenis hiu, baru sembilan jenis yang dinyatakan dilindungi. ”Selama ini memang belum ada aturan yang spesifik soal pemanfaatan satwa akuatik untuk keperluan pariwisata. Menurut saya, itu perlu diatur lebih lanjut,” tuturnya.
Yoga berpendapat bahwa pariwisata bahari yang memanfaatkan kehadiran hiu karang lebih baik dilakukan di alam bebas daripada di penangkaran. Memang hiu karang sendiri adalah jenis hewan yang hidup lebih dekat ke perairan dangkal.
Kalaupun hendak ditangkarkan, seharusnya hiu diberi area bergerak yang lebih luas. Pemilik kolam pun harus rajin memonitor tiap-tiap individu hiu dengan melakukan tagging dan monitoring. ”Dengan begitu, bisa dipantau kondisi kesehatan tiap-tiap hiu,” katanya.
Tjoen Ming pun menyarankan dilakukan bedah nekropsi pada perut ikan-ikan hiu itu. ”Jadi, kita bisa tahu mereka habis makan apa,” ujarnya.
Tjoen Ming mulai masuk ke Karimunjawa pada 1962. Awalnya karena diminta mengangkat kapal yang terdampar di terumbu karang Karimunjawa. Sekitar lima tahun kemudian, dia mencoba mengembangkan hiu di Karimunjawa. Dari semula tiga ekor hiu sampai akhirnya mencapai ratusan.
Kematian misterius hiu-hiu itu diperkirakan bakal kian memukul jumlah pengunjung ke penangkaran. Sebelumnya, seperti diakui Tjoen Ming, sejak awal tahun wisata terbilang sepi akibat cuaca yang tidak menentu.
Tjoen Ming kini hanya bisa menunggu apa yang membuat hiu-hiu itu mati mendadak. Belum ada informasi apa pun dari laboratorium di Jogjakarta. Apakah disebabkan penyakit atau diracun. ”Namun, indikasinya memang bukan karena penyakit. Sebab, tidak mungkin serentak mati semua,” katanya. (*/c9/ttg/jp)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post