Simbol kedukaan umat Kristiani digunakan saat ibadah memperingati kematian Tuhan Yesus. Seluruh jemaat menggunakan pakaian berwarna hitam. Namun, terdapat suatu pembelajaran karakter saat peristiwa itu. Meliputi empat tokoh yakni Yesus, Pilatus, Prajurit, serta keduabelas murid yang digambarkan dalam momen penyaliban.
ADIEL KUNDHARA, BONTANG
Lonceng telah dipukul dan berbunyi tiga kali. Itulah waktu di mana umat Kristiani Gereja Toraja Jemaat Imanuel Bontang (GT-JIB) bersiap-siap memasuki jalannya ibadah. Ibadah kali ini tidak seperti biasanya, seluruh umat tampak menggunakan pakaian dominasi warna hitam.
Begitu pula dengan majelis gereja, yang membedakan ialah stola ungu yang dipakainya. Warna ungu berdasarkan paparan Badan Pengurus Sinode Gereja Toraja melambangkan kebijaksanaan, keseimbangan, sikap berhati-hati, dan mawas diri. Tak hanya itu, ungu juga merupakan simbol pertobatan. Maka kala saat ada kedukaan maupun pra-paskah, warna stola inilah yang dipilih.
Beberapa pujian dilantunkan oleh jemaat secara khidmat. Urutan liturgi pun juga diikuti dari awal hingga akhir. Bahkan beberapa organisasi intra gerejawi (OIG) juga membagikan pesan melalui senandung lagu yang telah dipersiapkan mereka.
Memasuki pemberitaan firman, Gembala Sidang GT-JIB Pendeta Christina Lebang membuka dengan paparan bagaimana cara menghormati orang. Apalagi ketika orang itu memiliki hubungan kedekatan dan sudah tak bernyawa.
“Kita sampai berutang untuk menyiapkan sesuatunya,” kata Pendeta Christina Lebang.
Digambarkannya, di dalam adat Toraja, bilamana ada satu anggota yang meninggal dunia maka pihak keluarga akan menyembelih kerbau maupun babi. Situasi itulah tak sedikit orang hingga melakukan pinjaman. Penekanannya, bagaimana jikalau hal itu terjadi pada Tuhan Yesus. Bentuk pengorbanan yang diberikan apakah lebih tinggi atau di bawahnya.
“Kematian Tuhan Yesus apakah membawa kita semakin dekat kepada-Nya?” tanyanya.
Lantas, ia memaparkan empat karakter yang berbeda saat peristiwa penyaliban. Pertama, sosok Yesus itu sendiri. Christina menyebut tatkala itu Yesus mengalami penderitaan baik secara fisik maupun mental secara luar biasa.
Ketika harus menanggung beban salib di pundaknya, tak sedikit ejekan, ludahan, maupun siksaan didapatkannya dalam perjalanan. Puncaknya saat di Bukit Tengkorak, paku maupun mahkota duri yang tertancap di kepalanya membuat darah bercucuran.
“Wajah Yesus pun sudah tak berbentuk lagi akibat luka yang ada,” terang Christina.
Bukan itu saja, ketika kayu salib itu telah berdiri tegak, Yesus mencoba memperkenalkan figur ibunya kepada murid dan pengikutnya. Ini tertuang dalam nats Alkitab Yohanes 19 ayat 26 dan 27.
“Ini memperlihatkan perlunya kedekatan dalam sebuah keluarga, ini merupakan bentuk keteladanan yang bisa dipetik,” ucapnya.
Figur kedua ialah Pontius Pilatus, Christina menyebut sebagai raja ia memiliki sikap tegas. Bahkan Pilatus turut andil dalam memperkenalkan Yesus dengan memasang tulisan di atas salib yakni “Yesus orang Nazaret, Raja orang Yahudi”.
Sayangnya, ia memiliki sikap yang tidak konsisten terhadap kebenaran. Pilatus lebih memilih menyelamatkan diri agar jabatan yang disandang tidak goyah.
“Manusia kerap seperti Pilatus memiliki sikap tegas dalam hal teknis, tetapi ada sikap keras kepala atau plin-plan dalam hal prinsip,” katanya.
Berikutnya, terdapat karakter yang diperankan oleh para prajurit. Christina memaparkan orang Yahudi biasanya memakai 5 potong perlengkapan yaitu sepatu, ikat kepala, ikat pinggang, baju, dan jubah. Sementara, terdapat empat prajurit memperoleh satu-persatu perlengkapan itu.
Sisanya jubah dijadikan bahan undian. Prajurit mempertontonkan sikap serakah, judi, dan keinginan untuk memiliki kekuasaan dengan cara yang tidak benar.
Christina mengungkapkan beberapa waktu lagi jemaat akan diperhadapkan dengan pemilihan kepala daerah. Ia memberikan peringatan kepada jemaat agar tidak memiliki sifat layaknya prajurit.
“Seringkali ada tawaran saat pilkada, tetapi jemaat harus berani menolak kalau caranya itu tidak benar,” sebutnya.
Sosok terakhir ialah murid dan perempuan yang mengikuti Yesus. Menurutnya dari jumlah 12 murid hanya satu orang yang memiliki sikap kesetiaan yakni Yohanes. Petrus saat itu melakukan penyangkalan, begitu pula dengan Yudas justru menjual Yesus. Sementara 9 murid lainnya tidak diketahui keberadaanya saat waktu penyaliban.
Bukan Yohanes saja, pengikut Yesus seperti Maria Magdalena dan Maria isteri Klopas juga turut berada di Bukit Tengkorak. Hal ini menggambarkan pertaruhan hidup, karena mungkin saja prajurit mengetahui keberadaan mereka dan dibunuh. Yohanes mendapat mandat sebagai anak setia, pemelihara, dan bertanggungjawab dalam keluarga.
“Merupakan kemunafikan ketika dengan mudah berkata dan mengajarkan kasih sementara keluarga sendiri ditelantarkan,” tutur Christina.
Pendeta Christina mengatakan, sebagai umat Kristiani selayaknya tetap menjaga kedekatan dengan Kristus. Seringkali rintangan menghadang dan terkesan pahit. Akan tetapi bersama Yesus bakal ada kekuatan untuk menghadapi hambatan tersebut.
Momen Jumat Agung ini juga dirangkaikan dengan perjamuan kudus. Meja perjamuan telah dipersiapkan oleh majelis gereja dengan bentuk salib. Jemaat yang telah mendapatkan pelayanan sidi diperbolehkan untuk berada di area tersebut. Mengambil potongan roti dan cawan anggur.
Roti diibaratkan yaitu tubuh Kristus. Tubuh yang telah terkoyakan di atas kayu salib. Sementara anggur merupakan lambang darah. Darah perjanjian yang tertumpah untuk menebus dosa manusia.
“Hendaknya kita terima sebagai tanda dan materai dari kasih dan kesetiaan-Nya,” ujarnya.
Tampak satu persatu dari barisan kursi terdepan memasuki meja perjamuan. Posisi doa langsung dilakukan oleh masing-masing jemaat. Kendati diiringi dengan dentingan piano yang memainkan melodi dari suatu pujian.
Ketika piring roti itu berjalan, tidak langsung langsung mengambil diri sendiri tetapi diberikannya kepada orang di samping terlebih dahulu. “Ini bentuk saling melayani, namanya melayani tentunya bukan untuk diri sendiri tetapi kepada sesame di dalam persekutuan,” kata Christina.
Setelah perjamuan selesai, jemaat mendengungkan doa syafaat yang dipimpin oleh gembala sidang. Materi doa berupa kondisi jemaat, program gereja, serta untuk keamanan bangsa Indonesia.
Sesudah menerima doa berkat, jemaat tampak keluar dengan saling berjabat tangan. Di pintu depan gereja telah berdiri gembala sidang dan majelis yang mengambil bagian pelayanan. Sembari mengucapkan selamat memperingati Jumat Agung, mereka juga memberikan sapaan erat. (***)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: