Nurul Mandayani, Bocah 3 Tahun Berjuang Melawan Sakit
Di usianya yang masih belia, Nurul Mandayani harus merasakan sakit tak terperi. Bocah ini hidup dengan usus yang terburai ke luar dari perut.
Herdi Jaffar, SANGATTA
Nurul sedang duduk di beranda rumahnya sore itu. Bocah ini menatap ke lokasi bermain TK Al Munawarrah, tak jauh dari rumahnya, di RT 11 Desa Swarga Bara, Sangatta Utara. Sejumlah anak antre bermain perosotan. Senyum riang merekah dari anak-anak itu. Mata Nurul tak lepas mengawasi teman-teman sebayanya.
“Ma, mau main. Ma, mau main,” pinta Nurul kepada sang ibu yang duduk di sebelahnya. Mencoba memaksa, Nurul tak henti-hentinya mengarahkan telunjuk ke tempat bermain itu.
Ibunya Nurul, Sartika menatap teduh mata anaknya. Dia tak tega untuk tidak mengabulkan permintaan itu. Sang ibu lalu memakaikan Nurul sepatu. Kemudian mengajak anak itu berjalan ke arah tempat bermain. Namun pemandangan berikutnya sangat mengharukan, Nurul hanya mampu melangkahkan kaki dua hingga tiga kali. Itupun dengan membungkuk dan tertatih. Sartika yang melihat anaknya berjuang hanya untuk sekadar melangkah tak tahan membendung air mata.
“Mengapa kami diuji seperti ini,” ujar Sartika terbata sembari memeluk buah hatinya.
Taman bermain di TK itu sejatinya tempat rutin Nurul bermain saban hari. Bocah itu selalu riang bermain di sana. Namun suatu sore di Oktober 2016, dia mengeluh sakit perut setelah pulang bermain. Besoknya, dia dilarikan ke RSUD Kudungga. Setelah diperiksa, ternyata Nurul mengidap gejala usus buntu. Nurul menjalani perawatan selama empat hari. Kemudian diperbolehkan pulang. Namun sehari setelahnya, penyakit Nurul kembali kambuh. Bahkan kondisinya kritis dan harus dirujuk ke RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
“Anak saya saat itu kritis, lambungnya sudah pendarahan, sampai mutah darah, BAB juga berdarah. Saat itu dia diperkirakan hanya bisa bertahan hidup selama lima hari,” kisah Sartika ditemui di rumahnya, Rabu (22/3) kemarin.
Di ruangan Paediatric Intensive Care Unit (PICU) tempat Nurul menjalani perawatan, ada 10 bocah lain yang juga sedang dirawat. Termasuk bocah korban bom molotov di depan gereja Oikumene, Samarinda 13 November 2016 lalu. Namun, keseluruhan bocah di ruangan itu semuanya meninggal dunia, kecuali Nurul.
“Saya bersyukur karena anak saya ini kuat. Semua yang satu ruangan dan bersamaan menjalani proses perawatan itu meninggal,” ungkap suami dari Hamdi Ismail ini.
Nurul harus menjalani perawatan selama kurang lebih empat bulan. Selama itu, dia sudah dioperasi sebanyak dua kali. Namun belakangan Sartika dan suami tahu bahwa usus anaknya ke luar dari perut karena proses operasi. Kondisi ini membuat keduanya shock. Dia mengaku sudah menanyakan kondisi perut anak pertamanya itu kepada pihak rumah sakit. Namun penjelasan yang mereka terima tak membuat puas.
“Saya sudah coba tanyakan. Tapi jawabannya hanya itu-itu saja,” aku Sartika.
Setelah menjalani perawatan, kondisi fisik Nurul memang membaik. Hanya saja, luka bekas operasi yang membuat ususnya terburai ke luar dari perut belum sembuh. Kendati demikian, dia diperbolehkan menjalani rawat jalan. Dokter juga menyarankan agar bocah yang masih berusia tiga tahun itu kembali menjalani operasi.
“Harusnya operasi itu empat kali. Tapi saya trauma, anak saya bisa mati kalau terus dioperasi. Makanya saya tanda tangan surat penolakan waktu itu,” tuturnya.
Saat ini Sartika harus menjadi ‘dokter’ bagi anaknya. Dua hari sekali luka bekas operasi harus dibersihkan. Sangatta Post sempat menyaksikan proses itu. Nampak dari perut sebelah kanan Nurul terdapat usus yang teruarai ke luar. Di bagian kanan ada bercak-bercak nanah. Di belakang Nurul terdapat luka lecet hampir di semua bagian.
“Karena BAB jarang ke luar dari bawah. Keluarnya lewat perut, makanya harus terus dibersihkan,” katanya.
Biaya untuk mengganti perban juga sangat mahal. Apalagi untuk ukuran keluarga Sartika. Karena suaminya hanyalah seorang buruh bangunan. Saat ini mereka tinggal dengan mengontrak sebuah rumah kayu berukuran sekira 3×4 meter.
“Satu hari itu bisa mencapai Rp 500 ribu untuk mengganti perban dan menjaga agar perut anak saya tetap steril,” ungkapnya.
Perlengkapan dan obat yang diperlukan untuk perawatan sang anak juga jarang tersedia di Sangatta. Biasanya harus dibeli di Samarinda.
“Ada obatnya yang berjenis seperti lem itu harganya Rp 500 ribu, biasanya empat sampai lima hari sudah habis. Terus harga jaring untuk menutup luka itu Rp 250 ribu,” terangnya.
Setelah dipasang jaring dan diolesi obat, perut Nurul dibalut dengan pembalut sejenis diapers di seluruh perut. Sebagai perekat, Sartika hanya menggunakan lakban coklat yang biasanya digunakan untuk perekat barang.
“Memang ada perban khusus itu, tapi harganya juga mahal mungkin sekitar Rp 250 ribu. Makanya saya ganti pakai lakban,” terang dia.
Namun dia masih bersyukur, karena uluran tangan dari masyarakat kerap dia terima untuk membantu biaya perawatan anaknya. Apalagi, melihat Nurul yang sangat tegar dan terus berjuang juga menjadi suplemen penyemangat baginya.
“Harapan saya bisa melihat Nurul kembali bermain bersama teman-temannya,”ujarnya menyeka air mata. (*)
Pertama pasang perban, terus dibersihkan pakai alkohol, dipasang jaring menutup luka. Kemudian di kasi plester,
menggunakan air hangat dan membersihkan lewat perban.
“