SAMARINDA–Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itu kiasan yang cocok untuk menggambarkan keadaan yang menimpa Edy Ishak.
Niat hati ingin melakukan peminjaman uang ke salah satu bank negeri di Kota Tepian., namun uang itu tak pernah diterima. Selasa (30/10) kemarin, kasus itu berujung penyitaan dan penggusuran tanah yang terletak di Jalan Pramuka, Kelurahan Gunung Kelua, Kecamatan Samarinda Ulu, Samarinda.
Bukan tanpa perlawanan. Ia bersama keluarga mengadang pihak pemenang lelang dan pengadilan yang menyita lahan tersebut.
Setelah berjuang selama sepuluh tahun, kini ia hanya bisa menatap nanar ketika asetnya disita pihak pengadilan. Bahkan, bangunan kayu di atas tanah tempat salah satu keluarganya tinggal, turut diratakan menggunakan buldoser.
Padahal, tak banyak yang diinginkan Edy beserta keluarga. Dia ingin ada penundaan penyitaan. Pasalnya, kasus tersebut masih bergulir di Kepolisian Daerah (Polda) Kaltim.
“Penyitaan ini dilakukan hanya berdasarkan surat pemenang lelang. Sementara untuk menuntut keadilan atas kasus ini, saya telah melakukan upaya hukum di Polda Kaltim. Perkara ini sedang dalam penyelidikan. Untuk itu, kami meminta agar proses ini dihentikan sementara. Menanti penyelidikan kepolisian,” tegas Edy.
Namun, apa mau dikata. Sebagaimana umumnya masyarakat Indonesia, dia harus tunduk pada hukum. Sebab kasus tersebut telah diputus Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda.
Pelelang serta pengadilan seolah tutup telinga mengenai alasan Edy. Sebab, keputusan pengadilan telah terbit. Pun demikian pihak pelelang telah meminta lahan dan rumah itu segera dieksekusi.
Tak pelak, upaya pengadangan itu hampir berujung bentrok antara Edy dan kepolisian. Edy dibantu Iriansyah dan istri mencoba mempertahankan lahan yang selama bertahun-tahun diperjuangkannya itu.
Tak tahan dengan tingkah pengadilan dan kepolisian yang seolah tak mau tahu dengan ketidakadilan yang menimpa keluarganya, Ian sapaannya, beberapa kali membentak dan memukul aparat.
Emosinya pecah sambil menyebut orang-orang yang berada di hadapannya tak punya hati. Begitupun dengan istrinya. Hanya bisa menangis sambil berteriak menahan kekesalan.
Cercaan terasa kering di tenggorokan. Hanya satu hal yang bisa dikatakan sang istri sambil menahan Ian agar tak memukul aparat tersebut.
“Sudah Yan. Sudah kubilang jangan. Mereka semua sudah gila,” ketusnya diiringi tangis.
Untuk diketahui, kasus ini bergulir sejak sepuluh tahun silam. Tepatnya 16 September 2008. Ketika Edy mengajukan permintaan pinjaman ke salah satu bank yang terletak di Jalan Gajah Mada.
Selang sehari, permintaan pinjaman tersebut disetujui. Tepat pada 18 September 2008, bank mengucurkan uang yang diajukan Edy.
Namun, dana itu tidak diberikan pada Edy. Melainkan pada pengelola PT Adsco Mandiri yang berlokasi di Jakarta, Muhammad Adiansyah.
“Memang awalnya saya mengajukan pinjaman atas nama PT Adsco Mandiri. Cabangnya yang berlokasi di Samarinda. Saya sendiri yang mengelolanya. Tetapi setelah itu, saya tidak pernah menerima uang itu,” ungkapnya.
Dalam perjalanannya, Edy memprotes manajemen bank. Dia juga menyarankan bank untuk meminta angsuran kredit itu pada Adiansyah. Bahkan demi membantu kelancaran kredit bank, laki-laki berkumis itu berkali-kali menemui Adiansyah.
“Dia bilang akan bertanggung jawab. Membayar angsuran bank. Tetapi kredit itu macet. Saya mengejar Adiansyah ini ke Jakarta. Namanya orang licik, dia bilang akan tanggung jawab. Tetapi itu hanya janji,” sesalnya.
Beberapa bulan setelah kredit tak lagi dibayar, Edy didesak pihak BRI untuk membayar angsuran itu. Namun Edy tak bersedia memenuhi desakan tersebut. Pihak bank mengambil langkah berbeda. BRI melakukan pelelangan rumah dan tanah itu lewat Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN).
“Pada tahun 2015, Bank melakukan pelelangan tanpa sepengetahuan saya. Saya didatangi pemenang lelang. Karena merasa keberatan, saya adukan di Polda,” bebernya.
Pada 2017 lalu, pemenang lelang menempuh jalur penyelesaian kasus tersebut di PTUN. Atas perintah pengadilan, eksekusi kembali dilaksanakan. Upaya itu dibatalkan karena Edy berkilah menjadi korban penipuan.
“Rumah dan tanah saya ini dilelang tanpa proses peradilan yang benar. Saya minta pada pengadilan untuk menunda eksekusi. Saya kasih tahu pengadilan, kasus ini sudah dilimpahkan ke kepolisian,” terangnya.
Padahal, pihak BRI pun sudah dipanggil dan melakukan konfirmasi. Pejabat pada saat itu mengatakan, ia memberikan uang tersebut kepada pihak penerima hanya berdasarkan lisan tanpa data-data pendukung.
“Kenapa saya bawa masalah ini ke kepolisian, karena penuh dengan tindak pidana. Pada akhirnya masalah ini juga akan saya bawa ke pengadilan. Saya akan tetap mengejar kasus ini ke Polda sampai kita bisa benar-benar mendudukkan siapa yang bersalah. Yang saya pertanyakan juga, kenapa pihak bank hanya mengejar saya bukannya Adiansyah sebagai pihak yang menerima uang,” pungkasnya. (*/dev)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post