BALIKPAPAN-Objek vital nasional (obvitnas) di Sangasanga, Kutai Kartanegara menjadi ancaman serius bagi kelangsungan produksi minyak dan gas (migas) PT Pertamina EP Asset 5 Field Sangasanga. Penambang ilegal disebut tak pernah kendur mengeruk batu bara dari perut bumi. Fatalnya, aktivitas mereka berada di jaringan sumur produksi BUMN tersebut.
Kepala Urusan Operasi, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (SKK) Migas Kalimantan Sulawesi (Kalsul) Roy Widhiarta menyebut, keberadaan tambang ilegal itu sangat berpotensi memutus jaringan pipa migas karena digaruk alat berat. Selain itu, bisa menyebabkan terjadinya blowout (semburan minyak tak terkendali).
Terlebih, dalam kasus penambangan ilegal tersebut bukan kali pertama. Roy menjelaskan, dalam kasus sebelumnya, penindakan terkendala izin pertambangan yang masih berlaku. Sehingga ketika dilaporkan ke pihak kepolisian, sulit dilakukan penindakan. “Tapi kasus yang terbaru ini ternyata ‘kan diidentifikasi banyak yang ilegal atau tak berizin,” ujarnya.
Pada Agustus tahun lalu, penambangan ilegal tersebut terungkap. Rumah karyawan Pertamina Sangasanga di Hilltop (housing), Kelurahan Sangasanga Dalam rusak akibat tambang ilegal tersebut.
Keberadaannya juga mengancam sumur minyak (kepala). Namun, setelah Wakapolda Kaltim saat itu dijabat Brigjen Pol Hendrawan datang ke lokasi tersebut, 30 Agustus 2016, penambangan ilegal sempat berhenti. Meski akhirnya mereka bisa curi-curi melakukan penambangan. Pada awal tahun ini, penambangan ilegal kembali dilakukan.
SKK Migas sendiri memang domainnya bukan pada penindakan. “Kami hanya bisa melakukan laporan keberatan ke Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim (dulu Distamben) yang menjadi pengawas di industri pertambangan. Kami juga melapor kepada pihak kepolisian, tinggal nanti tindak lanjutnya seperti apa. Hingga kini kami masih melakukan koordinasi,” tambahnya.
Roy melanjutkan, Senin (9/1) mendatang, SKK Migas berencana melakukan audiensi dengan Polda Kaltim. Ini untuk mencari arahan langkah apa yang perlu dilakukan. SKK Migas juga ingin tahu apa yang menjadi kendala. Apakah karena dasar hukum atau aturan tertentu.
Dia meyakini Polda Kaltim dalam melakukan penindakan juga harus ada dasar adanya pelanggaran terhadap aturan dan ketentuan tertentu. “Tapi, sejauh mana ketentuan itu diatur, baik mekanisme penataan maupun konsekuensi hukumnya. Itu yang juga masih kami telaah,” lanjutnya.
Dari sisi kepolisian, pihaknya saat ini belum berniat untuk melapor ke Mabes Polri. Namun, SKK Migas akan melapor ke Ditjen Minerba Kementerian ESDM. Walaupun dari sisi kewenangan adalah provinsi, dalam hal ini Dinas ESDM.
Untuk saat ini, yang bisa dilakukan SKK Migas adalah melakukan proteksi di lahan objek vital tersebut. Namun, di lapangan memang ada kendala. Seperti intimidasi dari sejumlah oknum yang mengatasnamakan masyarakat kepada para satpam Pertamina. Makanya, pengamanan di lapangan juga harus berhati-hati.
Sejauh ini, ketika ada masyarakat yang ingin masuk ke areal yang benar-benar krusial, Pertamina hanya bisa melarang. “Harapannya, terus terang kami minta Pertamina tegas jangan sampai ada yang masuk ke areal yang mengganggu keselamatan,” pesannya.
Terkait nilai kerugian akibat penambangan batu bara ilegal tersebut, menurutnya belum ada perhitungan pasti. Termasuk berapa luasan lahan yang sudah dirambah penambang ilegal, masih dalam tahap identifikasi. “Minggu lalu sudah ada pertemuan di Dinas ESDM, tapi kelihatannya juga masih banyak kendala untuk langkah-langkah ke depan. Makanya kami juga masih menunggu langkah konkret dari Dinas ESDM,” jelasnya.
Sementara itu, Polda Kaltim terus melakukan penyelidikan atas kasus penambangan ilegal di Sangasanga. “Kasus terus berjalan. Proses penyelidikan juga masih progres,” tegas Kepala Bidang Humas Polda Kaltim Kombes Pol Ade Yaya Suryana. “Penyidik sedang menghimpun alat bukti dokumen,” sambungnya.
Ia juga membenarkan bahwa Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak telah melaporkan penambangan ilegal di Sangasanga tersebut. “Laporannya jadi satu di Polres Kukar, sebab lokasi kejadiannya di sana,” kata mantan Kapolres Paser itu.
Ade memastikan, kasus akan terus berjalan. Tinggal dilakukan penyelidikan, alat bukti serta gelar perkara. Alat bukti itu bisa berupa seputar perizinan, lahan, izin usaha pertambangan (IUP), dan lainnya.
“Ketika ada unsur pidana, bisa dinaikkan ke penyidikan,” ungkapnya. Disinggung mengenai proses terkesan lama, bahkan aktivitas menggali terus dilakukan.
Menurutnya, penyidik belum menyimpulkan siapa yang melanggar atas kasus tersebut. Padahal peristiwa itu sebenarnya sudah diinformasikan ke kepolisian setempat dan Polda pada September 2016 ke Polres Kukar.
Selain sudah diinformasikan melalui surat resmi, pihak Pertamina juga telah membuat laporan polisi terkait penambangan di lahan mereka dan berimbas pengerusakan aset negara. Namun, belum satu pun resmi ditetapkan tersangka.
Diketahui, Sangasanga memang dikenal memiliki banyak kandungan emas hitam dengan kalori tinggi sehingga menjadi sasaran penambang ilegal. Bahkan para penambang nekat menggali di kawasan zona merah yang membahayakan, yakni di aset PT Pertamina Asset 5 Field Sangasanga.
Hingga kini, PT Pertamina EP menginventarisasi kerugian aktivitas penambangan ilegal itu sudah mencapai kisaran Rp 1 miliar. Pertama, kerusakan yang terjadi di antaranya bangunan rumah di Hilltop (housing), Kelurahan Sangasanga Dalam. Penambangan ilegal di area tersebut juga mengancam sumur minyak (kepala). Belum lagi, keberadaan void (lubang tambang) di area konsesi CV Benny Putra yang belum direklamasi rawan jebol.
Kedua, jalan utama Sangasanga yang rusak semakin parah. Jalan cor-coran tersebut sudah banyak berlubang. Drainase di kanan dan kiri jalan pun penuh dengan sedimentasi. Kerusakan lain ada di stasiun pengumpul minyak. Beton bundwall (pembatas) roboh akibat pergerakan tanah yang tidak stabil karena di sekitarnya dilakukan pengerukan ilegal.
“Kami belum inventarisasi semua. Kemungkinan kerugian PT Pertamina EP lebih besar,” tegas Assistant Manager Legal & Relation, PT Pertamina EP Asset 5 Field Sangasanga, Dika Agus Sarjono.
Dika mengatakan, dari 23 pemilik kuasa pertambangan dengan perjanjian penggunaan lahan bersama (PPLB) dengan PT Pertamina EP, enam di antaranya merusak aset perusahaan negara itu. Dari enam pemilik kuasa tersebut lima di antaranya izinnya sudah berakhir.
“Upaya kami (PT Pertamina EP) di lapangan sudah maksimal dengan mencabut PPLB. IUP-nya (Izin Usaha Pertambangan) pun sudah jelas mati tapi tetap menambang. Ancaman illegal mining jelas, berdasar UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara hukuman penjara minimal 10 tahun,” ucap dia. (rsh/rom/k15)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post