Zehan Nurhadzar mendirikan Lattente setelah tak menemukan kopi enak kala pertama singgah di Buenos Aires. Berikut laporan wartawan Jawa Pos JUNEKA S. MUFID yang menemui perempuan kelahiran Bogor itu di ibu kota Argentina tersebut.
Cappuccino saya tinggal setengah saat Zehan Nurhadzar datang menyapa. Mengenakan blazer hitam dan rok putih bermotif, dengan rambut yang pirang tergerai, dia meminta dua barista perempuan menyiapkan seduhan. ”Kopi dari Guatemala ya,” katanya kepada dua barista itu dalam bahasa Spanyol.
Sore itu, awal Desember lalu, Lattente, kafe yang dia miliki bersama Daniel Cifuentes, seorang kawan warga Argentina, sedang ramai. Belasan pelanggan tengah asyik mengopi di kafe yang berada di dekat pusat perbelanjaan Distrito Arcos, Buenos Aires, Argentina, tersebut.
”Kalau beberapa kali dengar assalamualaikum, jangan kaget. Ibuku baru dari sini, jadilah mereka (para barista Lattente, Red) belajar bahasa-bahasa,” kata Zehan, lantas tertawa.
Adalah Antonius, staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Buenos Aires, yang merekomendasikan Lattente. Sebuah specialty coffee shop yang sudah punya nama beken di Argentina.
Di Google, dalam pengecekan awal Desember lalu, Lattente mendapat nilai 4,5/5 dari 689 orang yang memberikan ulasan. Selain karena kopi yang disajikan, sosok Zehan, perempuan kelahiran Bogor, Jawa Barat, 14 Mei 1986, itu, yang menjadi dasar rekomendasi Anton, sapaan Antonius.
”Kopi Lattente punya Mbak Zehan memiliki banyak pilihan kopi terbaik saat ini,” kata Anton kepada saya di sela-sela meliput G20 Leader Summit yang berlangsung 30 November hingga 1 Desember lalu.
***
Semua bermula ketika Zehan liburan kuliah di kawasan Amerika Latin delapan tahun lalu. Di Argentina, mahasiswi Jurusan Periklanan Voronezh State University, Rusia, itu ikut mengerjakan proyek perusahaan milik kakak Daniel Cifuentes.
Setahun pertama tinggal di Argentina, sebagai penggemar kopi sekaligus mendalami peracikannya selama di Rusia, Zehan kecewa. Sebab, dia tak menemukan racikan kopi yang dibuat dengan sungguh-sungguh. ”Kopinya nggak enak di Argentina. Ini jadi opportunity yang bagus,” katanya.
Zehan yakin Lattente jadi pelopor pertama specialty coffee shop di Argentina. Saat ini ada sekitar 50 kafe serupa. Dari sisi sejarah perkembangannya, dulu kopi hanya dinikmati begitu saja tanpa teknik yang memadai. Pada fase berikutnya, kopi hadir di waralaba global dengan penyeduhan yang hanya mengandalkan tampilan.
Tapi, belakangan muncul specialty coffee shop yang begitu memperhatikan detail menghadirkan kopi. Pemilihan yang cermat, mulai panen biji kopi, pemanggangan, penggilingan, hingga perebusan serta penyajian. Teknik tinggi disertai peralatan canggih akhirnya bisa menghadirkan kopi bercita rasa tinggi.
”Tahun 1990 atau 2000-an itu muncul gelombang ketiga kopi. Orang-orang datang ke perkebunan. Mereka bisa mengakses mana kopi yang baik dan buruk,” ujar Zehan.
Selagi kami berbincang, sejumlah pembeli hilir mudik. Membeli untuk dibawa pulang. Tampak dua pasang muda-mudi sedang mengobrol di salah satu meja. Entah apa yang mereka bincangkan dalam bahasa Spanyol. Tapi, mereka tertawa-tawa sambil sesekali memandangi cangkir kopi putih yang tinggal setengah isinya.
Interior Lattente tidak terlalu luas. Tapi, penataan di dalam membuat seolah berada di rumah sendiri. Dua barista perempuan melayani pelanggan dengan senyum ramah di belakang mesin peracik kopi itu. Menawarkan aneka racikan kopi. Mulai espresso, americano, macchiato, cappuccino, flat white, flat almendras, hingga latte. Saya memesan cappuccino.
Ada rak panjang tiga tingkat menempel di dinding paling selatan yang berisi jajaran buku berbagai genre. Di antaranya A Sport and a Pastime oleh James Salter dan Paradigms: The Business of Discovering thr Future oleh Joel Arthur Barker.
Di rak itu juga nyempil buku Coffee United Brewing for Harmony yang diterbitkan Kementerian Pariwisata melalui label Wonderful Indonesia. Rak itu juga menyimpan banyak pernak-pernik suvenir Lattente. Dari kaus hingga buku kecil.
***
Sore kian beranjak saat satu seduhan kopi Kolombia datang. Diseduh dengan metode dari Jepang, Hario Vi sesenta atau V60. Zehan menuangkan sedikit pada gelas dan meminta saya mencicipi.
Tanpa gula. Rasanya agak asam. Tidak terasa seperti kopi tubruk. ”Lebih kayak teh, terbuka rasanya,” kata Zehan membantu menerangkan rasanya.
Berikutnya menyusul kopi asal Guatemala. Dan kemudian kopi Toraja. Yang dari Guatemala aromanya lebih seperti buah dengan rasa yang tak terlalu asam. Sedangkan yang dari Toraja terasa agak berbau tanah dan sedikit pahit.
Kopi dari Indonesia, meski sudah banyak yang mendunia, tak selalu tersedia di Lattente. Kecuali saat ada staf KBRI atau teman Zehan yang membawakan.
Zehan mengaku sebenarnya ingin lebih sering menghadirkan kopi dari tanah air. Tapi, untuk saat ini biaya impor kopi Indonesia ke Argentina masih sangat mahal jika dibandingkan dengan mengimpor dari Kolombia dan Guatemala. Tapi, pernah pula Zehan membawa kopi luwak yang dijual per cangkirnya USD 40.
Kopi memang passion Zehan. Dia sanggup menjelaskan dengan detail perihal kopi dan bagaimana ia dibuat dengan semua kerja keras petani dan teknik yang konsisten. Kopi bukan sekadar kopi. Tapi punya cerita yang begitu kompleks dan panjang.
Penjelasan semacam itu kadang membuat orang tak nyaman. Terutama di masa-masa awal Lattente buka pada 2011. Apalagi, harganya juga tergolong mahal. Jadilah tak sedikit tamu yang tak datang lagi. Tapi, lebih banyak yang terkesima dan kembali. ”Dua puluh persen tak kembali, 80 persen jadi pelanggan setia. Orang ke sini karena mereka ingin minum good coffee,” kata Zehan.
Lattente bisa menghabiskan 30 kilogram sepekan atau 340 gelas sehari. Dan sejak September 2017 mereka menggiling kopi untuk diedarkan ke specialty coffee shop lain. Ada juga barista yang dulu dilatih Zehan yang membuka kafe sendiri.
***
Dari luar, Lattente agak mencolok dengan dinding bercat hitam. Kafe itu diimpit dua toko lain. Sebuah pohon besar menaungi kafe tersebut.
Jalur pedestrian yang tak terlalu lebar memungkinkan pejalan kaki yang lewat depan Lattente bisa langsung menengok ke dalam kafe berdinding kaca lebar transparan itu. Barista yang menyeduh kopi dan pelanggan yang sedang bercengkerama bisa terlihat dari luar. Seolah mengundang mereka yang berlalu-lalang untuk mampir sejenak.
Lattente, nama itu dipilih karena permainan kata yang enak diucapkan. Dulu mereka selain menjual kopi juga teh. Latte n Te alias latte dan teh. Tapi, dalam bahasa Spanyol juga bisa dimaknai detak jantung.
Bagi Zehan, Lattente memang sudah menjadi detak jantung sendiri. Yang memberikan kehidupan baru di negeri orang. Dia sendiri tetap berkewarganegaraan Indonesia.
Seusai kuliah di Rusia, Zehan memang dihadapkan pada pilihan kembali ke Jakarta atau tinggal di Argentina. Dia pun memilih Argentina karena empat musimnya. Juga keberagaman latar belakang warganya. ”Saya tidak suka Jakarta,” kata Zehan. (*/c9/ttg/jpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: