BONTANG – Ada 110 pasal di UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sayang, tidak satu pun yang menyinggung posisi Bontang dan belasan daerah pengolah minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. Tak sepeser pun rupiah dari pengolahan migas yang mengucur untuk pembangunan kota. Melihat hal ini, Wali Kota Bontang Neni Moerniaeni gelisah. Dirinya mengibaratkan, daerah yang “memasak” justru menjadi daerah yang “kelaparan”.
Atas kegelisahan ini, Kota Bontang menginisiasi Rapat Koordinasi Daerah Pengolah Minyak dan Gas Bumi se-Indonesia, di Hotel Oasis Amir, Jakarta, Selasa (22/10/2019).
Di hadapan 12 perwakilan daerah pengolah migas yang hadir dan anggota DPR RI Rudi Mas’ud, Neni menyampaikan, pertemuan tersebut menjadi momen yang sangat luar biasa, karena dalam beberapa tahun terakhir Forum Daerah Pengolah migas ini sebagai sebuah organisasi seperti mati tidak hidup pun tak mau.
“Saya berharap pertemuan kita pada hari ini (Selasa, Red.), merupakan wujud pengejawantahan bahwa organisasi ini masih hidup dan masih bisa dipergunakan sebagai alat perjuangan bersama untuk menciptakan agar daerah pengolah migas ini dapat menjadi lebih sejahtera dan lebih adil dalam konteks NKRI,” ujarnya.
Dilanjutkan Neni, UU 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, hingga kini masih belum masuk sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Undang-undang ini, lanjut Neni perlu direvisi karena sudah tidak sesuai dengan daerah pengolah migas; Kota Bontang, Kota Balikpapan, Prabumulih, Blora, Cilacap, Langkat, Dumai, Lhoksemawe, Palembang, Indramayu.
“Karena selama 74 tahun Indonesia merdeka, sampai pada hari ini, daerah pengolah migas nol rupiah dan nol persen. Sementara eksternalities negatif yang terjadi sangat besar pengaruhnya, seperti contoh yang terjadi dengan tumpahan minyak Pertamina di teluk Balikpapan dan Penajam Paser Utara,” ujarnya.
“Saya sangat berharap pertemuan pada hari ini akan mampu melahirkan konsep-konsep yang akan menjadi kajian utama daerah pengolah migas dalam memperjuangkan revisi UU 33 Tahun 2004 baik di Kementerian Keuangan maupun di legislatif,” sambungnya.
Dalam pertemuan tersebut, pihaknya akan meminta pembagian sebesar 4,5 persen kepada Pemerintah Pusat. Hasil ini diambil dari kajian akademis dari Universitas Mulawarman dan ahli dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). “Mudah-mudahan daerah pengolah insyaallah bisa gol,” ucapnya.
Pertemuan tersebut akan berlanjut, dengan melakukan koordinasi dengan Kementerian Keuangan yang dijadwalkan pada 28 Oktober mendatang dengan ditemani oleh DPR RI dan DPD RI. Mereka juga akan menemui Presiden Jokowi.
“Misalkan minyak 84,5 persen, 4,5 persen yang diminta, kita minta langsung APBN, jadi tidak mengganggu pembagian ke daerah lain,” paparnya.
Sementara itu Anggota DPR RI Rudi Mas’ud yang turut hadir dalam Rakor ini, mengapresiasi sekaligus mendukung terbentuknya forum dalam membahas perimbangan keuangan pusat dan daerah.
“Forum ini tentunya harus didasari dahulu dengan legitimasi yang baik. Artinya, strukturnya harus dibuat khusus daerah, agar nanti menjadi forum pengelola dan penghasil migas. Supaya kita punya legitimasi untuk menyuarakannya,” jelasnya.
Dirinya berpesan, kepala-kepala daerah penghasil dan pengolah migas harus bersatu menyuarakan hal ini. Karena kata dia, hal ini sesuai dengan UUD 1945 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“DPRD dan DPD juga harus bisa menyuarakan supaya dana bagi hasil sesuai ekspektasi. Seluruh forum harus bersepakat dengan angka bagi hasilnya. Kalau saya sesuai presentasi narasumber, cocok di angka 4,5 persen. Menurut saya angka ini wajar jika dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan. Kalau bisa suara kita jangan hanya sampai di Menteri Keuangan saja, sampai Presiden seharusnya,” ujarnya.
Mewakili daerah pengolah migas, Wakil Bupati (Wabup) Kabupaten Sorong, Suka Harjono menyampaikan, pengaruh UU 33 Tahun 2004 terhadap daerah pengolah migas sangat tidak relevan.
“Karena sebagai daeran pengolah itu sangat luar biasa dampak degradasi lingkungan kesehatan dan lain sebagainya. Ini jadi momentum bersama mendorong pusat melakukan perlakuan yang adil bagi kami,” terangnya.
Selama ini lanjutnya, Pemerintah Kabupaten Sorong bersama daerah pengolah lainnya telah berjuang untuk menuntut pembagian yang ideal dari Pemerintah Pusat. “Sudah lama kita perjuangkan bersama teman-teman daerah pengolah, menutut agar daerah pengolah migas ini mendapat bagian yang layak,” katanya.
“Kita berharap melalui panel ini ada hasil yang bisa kita bawa ke DPR RI agar daerah pengolah migas bisa mendapatkan dana bagi hasil yang sesuai haknya,” tukasnya. (hms9/Zaenul)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: