SAMARINDA – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim belum berani mematok angka yang cukup tinggi untuk pertumbuhan ekonomi di tahun 2019. Pasalnya, kondisi ekonomi yang masih fluktuatif dan belum stabilnya harga jual batu bara menjadi alasan pemerintah lebih berhati-hati mematok target di tahun depan.
Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Sekretariat Provinsi (Setprov) Kaltim, M Sa’bani mengatakan, pertumbuhan ekonomi Kaltim di tahun 2019, kemungkinan besar masih dipengaruhi oleh kegiatan pertambangan batu bara dan migas.
“Batu bara ini kelihatan menggeliat naik, berprospek baik. Sehingga para investor yang tadinya diam, mulai bergerak lagi. Perkiraan kami berdasarkan hasil evaluasi, pertumbuhan ekonomi naik. Tetapi tidak setinggi nasional,” kata dia, Kamis (20/12) kemarin.
Di tahun 2018, pertumbuhan ekonomi Kaltim hanya dapat menyentuh di angka 2,4 persen. Lambannya pertumbuhan ekonomi tersebut, di antaranya karena masif fluktuatifnya ekonomi nasional dan belum stabilnya harga jual batu bara di Kaltim.
“Di tahun depan kami perkirakan tumbuh sekitar 3,5 persen. Karena masih banyak faktor ekonomi yang belum mendukung yang bisa mendorong lebih banyak pertumbuhan ekonomi seperti yang sudah-sudah,” kata dia.
Ketergantungan pada bahan bakar mineral atau energi fosil, diakui Sa’bani, masih menjadi salah satu penyebab lambatnya pertumbuhan ekonomi. Selain itu, ada banyak industri yang masih tertahan. Ada juga yang masih kekurangan bahan baku.
Tak pelak, kondisi tersebut berdampak pada pertumbuhan ekonomi Kaltim yang relatif melambat. Walau begitu, menurutnya, geliat ekonomi selama setahun terakhir cenderung bergerak naik.
“Kalau ada shifting nanti terjadi, lima tahun ke depan, mungkin pada proporsi sharing kontribusi kepada PDRB (produk domestik regional bruto, Red.) itu lebih relatif seimbang, maka ekonomi akan lebih membaik lagi,” tuturnya.
Kata dia, untuk pengelolaan dan peningkatan energi terbarukan, Kaltim ditarget untuk dapat menghasilkan biodiesel. Akan tetapi hal itu belum banyak dilakukan, karena Kaltim masih memanfaatkan biodiesel untuk crude palm oil (CPO).
“Perkembangan ekonomi di tahun depan, memang masih nampak pada sektor batu bara dan migas. Sawit masih gonjang-ganjing karena penolakan ekspor oleh Eropa (yang) kadang-kadang terjadi,” imbuhnya.
Adapun industri di Kaltim, baru sebatas mengelola CPO. Belum ada yang mampu menghasilkan turunan lain dari produksi tersebut. “CPO itu masih lebih banyak di ekspor (ke luar negeri, Red.) dan sebagian dikapalkan ke Pulau Jawa,” ujarnya.
Sementara pascaberoperasinya Bandara APT Pranoto Samarinda, menurut Sa’bani, masih banyak membangkitkan sektor jasa. Namun dari sisi lain, dengan adanya investasi baru, termasuk investasi pemerintah, maka sektor kontruksi diperkirakan akan naik.
“Sektor konstruksi bisa tumbuh sampai 9 persen. Tetapi sharing mungkin 0,2 dari pertumbuhan ekonomi. Masih sangat rendah. Pertambangan batu bara, sharing pertumbuhan kontribusi PDRB masih 46 persen. Produksinya masih besar di situ. Dari posisi untuk sharing-nya,” tuturnya.
Sedangkan di sektor perkebunan sawit atau pertanian secara umum, sudah memberikan sharing antara 7 sampai 8 persen dari pembentukan struktur PDRB. Pertumbuhannya dinilai cukup tinggi. Begitupun dengan sharing pertumbuhan ekonominya pun dirasa relatif bagus.
“Industri pengolahan yang ada gangguan dari penurunan produksi LNG (liquefied natural gas, Red,) bisa menurun. Tetapi kalau LNG sudah selesai perbaikannya, maka dia akan naik lagi,” tandasnya. (drh)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: