Perjalanan Hidup Lamri, Direktur Poltekkes Kaltim (1)
Sulitnya akses bukan menjadi aral untuk menikmati pendidikan. Sebagaimana perjalanan Lamri, anak nelayan Danau Melintang yang kini menjadi Direktur Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Kaltim. Mendayung melintasi danau mesti dilakoninya demi mengejar masa depan.
LUKMAN MAULANA, Samarinda
Terlahir dari keluarga nelayan di kawasan Danau Melintang, Kutai Kartanegara (Kukar), kehidupan Lamri saat kanak-kanak penuh dengan keterbatasan. Ketiadaan beras kala itu membuat Lamri bersama delapan saudaranya terbiasa mengonsumsi ikan hasil tangkapan sang ayah. Oleh sang ibu, ikan diolah sedemikian rupa menjadi rabuk untuk makanan sehari-hari.
“Sulit untuk makan nasi, jarang orang menjual beras. Maka ayah saya bilang kalau kepada kami untuk makan banyak makan ikan. Nah, pada saat itu di danau memang luar biasa jumlah ikannya,” kenang Lamri kepada Metro Samarinda.
Ketiadaan beras bukan lantas membuat orang tua Lamri pasrah. Mereka berinisiatif menanam padi sendiri pada lahan-lahan yang belum ditanami dengan cara berpindah-pindah. Lamri kecil pun turut dalam kegiatan bertani yang membawanya dari satu tempat ke tempat lainnya. Kegigihan orang tua inilah yang lantas terpatri dalam benak Lamri untuk menggantungkan cita-citanya.
“Ayah dan ibu mendidik kami dengan penuh keikhlasan. Apa yang mereka lakukan pada anak-anaknya sangat luar biasa. Ayah berpesan kalau saya ingin jadi orang, saya bisa menjadi apa yang saya inginkan. Asal dasarnya keimanan, kejujuran, dan cerdas,” ungkapnya.
Dari situ Lamri memantapkan diri untuk menempuh pendidikan sebaik mungkin. Namun bukan langkah mudah baginya untuk bisa mengenyam bangku pendidikan. Karena belum ada sekolah dasar di desa tempat tinggalnya, Muara Enggelam. Dari situ Lamri melewati perjalanan panjang agar bisa menuntut ilmu di sekolah dasar terdekat di kecamatan Muara Muntai.
“Saya sekolah di SDN 04 Kampung Kayu Datu, berbatasan Muara Muntai Ilir. Untuk pergi dari rumah menuju sekolah harus mendayung perahu yang memakan waktu empat sampai lima jam,” kisah Lamri.
Pekerjaan orang tua yang berpindah-pindah untuk bertani membuat Lamri beberapa kali tak bisa datang ke sekolah. Memang orang tuanya berpesan agar Lamri bersekolah dengan baik. Namun dia juga menyadari orang tuanya masih membutuhkan bantuannya. Beruntung guru Lamri memahami kondisi tersebut. Malahan, para guru yang mendatangi Lamri dan kawan-kawannya agar tetap bisa belajar.
“Di sekolah, satu kelas bisa terdiri dari empat sampai lima anak saja yang hidupnya berpindah-pindah karena mengikuti orang tua. Buku pelajarannya bergantian. Tidak seperti sekolah sekarang,” tuturnya.
Selepas SD, Lamri melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Muara Muntai. Di sinilah dia mulai banyak aktif dalam kegiatan berorganisasi. Yaitu di Pramuka dan OSIS. Bahkan Lamri didaulat kawan-kawannya untuk menjadi ketua OSIS. Dari situlah kegiatan organisasi mewarnai masa remajanya.
Keaktifan di organisasi nyatanya tak melupakan Lamri dalam membantu orang tua. Dia sering pulang ke kampungnya untuk membantu mencari ikan. Perlahan dia mulai belajar menjadi seorang nelayan. Sehingga beberapa kali pula Lamri tidak masuk sekolah. Namun bukan lantas membuatnya melupakan pelajaran sekolah. Di rumah dia tetap belajar sembari membantu orang tua.
“Guru-guru berpesan agar tetap belajar, tetap membawa buku. Mereka mengecek materi-materi yang saya pelajari,” ujar Lamri.
Saat masa SMP itu Lamri sudah mulai berternak dan juga bertani di kampungnya. Dia memelihara lusinan ayam serta membajak sawah di halaman belakang rumah. Kegiatan ini dilakukannya sejak fajar menyingsing selepas salat Subuh. Berhadapan dengan gama tikus pun sudah menjadi kesehariannya kala itu.
“Karena banyak tikus, jadi di batas-batas sawah itu dipasang akar nipah. Sehingga tikus tidak berani masuk, jadi aman,” beber anak keenam dari sembilan bersaudara ini.
Lulus dari SMP di tahun 1976, Lamri bertekad menuntut ilmu ke Samarinda. Panen padi dan ayam ternaknya lantas dijual untuk bekal merantau ke ibukota. Setibanya di Samarinda, Lamri mengikuti tes di Sekolah Pengatur Rawat (SPR) di Selili. Dari sekian ratus orang yang mendaftar, Lamri termasuk dalam 160 anak yang diterima.
Di waktu yang hampir bersamaan, Lamri juga mengikuti seleksi di Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Sebagaimana di SPR, Lamri juga berhasil lulus diterima di SPG. Hal ini memunculkan dilema dalam diri Lamri untuk memilih. Baik sekolah di SPR maupun di SPG, keduanya sama-sama merupakan amanat dari orang tuanya.
“Pesan orang tua waktu saya berangkat memang dua itu. Saya diharapkan sekolah untuk jadi mantri atau jadi guru. Karena di SPR ada beasiswa yang bisa digunakan untuk biaya hidup di Samarinda, saya putuskan untuk bersekolah di sana,” jelas Lamri.
Masa-masa pendidikan di SPR itu menjadi masa-masa penuh kerja keras bagi Lamri. Karena di masa itu, pendidikan sangat bergantung pada kekampuan diri masing-masing siswa. Pemberian teori langsung diikuti dengan praktik langsung di rumah sakit. Rutinitas Lamri pun dipenuhi kegiatan berjaga di rumah sakit.
“Jaga malam, jaga pagi, sore, terus begitu. Beda dengan sekolah saat ini yang memberikan teori terlebih dulu baru masuk ke praktik. Jadi dulu timbul dalam diri kami rasa ikut memiliki rumah sakit, karena praktik penuh di sana,” terangnya.
Bukan hanya melakukan tindakan perawatan dan keperluan medis lainnya, Lamri juga menjalankan peran-peran lain di rumah sakit. Di antaranya menjadi membersihkan ruangan, membawakan makanan, membagikan obat, dan menyuntik pasien sesuai kebutuhan. Semua itu dilakoninya sejak pukul 06.00 Wita.
“Dulu pegawainya tidak banyak. Dokternya juga cuma beberapa. Baru pada tahun-tahun berikutnya ada tambahan dokter-dokter baru di rumah sakit,” kata Lamri.
Selama empat tahun Lamri menempuh pendidikan SPR dengan menetap di asrama. Di sekolah keperawatan ini, Lamri juga tercatat sebagai aktivis. Dia dipercaya menjadi ketua OSIS dan juga ketua Ikatan Keluarga Organisasi Siswa (Ikosis) se-Samarinda. Dari masa pendidikannya di SPR tersebut Lamri mengaku mendapat banyak ilmu yang berguna dalam kariernya.
“Semestinya masa pendidikannya tiga tahun. Namun saat itu ada perpanjangan sehingga menjadi empat tahun. Alhamdulillah perpanjangan itu menjadikan kami terampil, di antaranya dalam menyuntik dan mengobati pasien,” urainya.
Dalam masa pendidikannya itu, Lamri banyak menyerap ilmu dari para dokter spesialis di rumah sakit. Di antaranya spesialis penyakit dalam, spesialis anak, hingga spesialis gigi. Sehingga bukan hanya ilmu keperawatan, Lamri juga menguasai ilmu kedokteran yang bersifat tindakan dan pengobatan.
“Misalnya pembedahan, kami yang baru lulus waktu itu ikut membedah. Mulai dari yang tidak menggunakan bius hingga yang menggunakan bius. Untuk yang menggunakan bius, kami diminta membedah yang minor-minor,” tandas pria kelahiran Muara Muntai, 17 November 1958 ini. (bersambung)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: