TERLAHIR sebagai keturunan minoritas bukanlah pilihan. Tapi sudah menjadi kehendak Tuhan. Karena manusia tidak bisa memilih terlahir dari rahim yang mana.
Itu yang dirasakan warga keturunan Tionghoa di Kota Taman. Menjadi kaum minoritas adalah tantangan yang telah tersaji sejak lahir. Perbedaan perlakuan, sentimen sosial, seakan akrab menemani dari bangun pagi hingga memejamkan mata di peraduan. Namun toh tidak mengurangi kecintaan mereka sebagai bagian dari keberagaman.
“Kami lahir kan tidak bisa memilih,” ungkap Sonny Lesmana, tokoh keturunan Tionghoa Bontang.
Menurutnya, apapun latar belakang keturunan yang dimiliki, tetap harus diperlakukan dengan cara yang sama. Karena sebagai warga yang lahir dan besar di Indonesia, sudah sepatutnya memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Komisaris Utama PT Black Bear Resources Indonesia ini menuturkan, sebagai keturunan, perlakuan diskriminatif pernah dialaminya semasa muda. Kala itu keinginannya untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi negeri tidak bisa terwujud. Alasannya, karena dia berasal dari etnis Tionghoa. Dari situlah dia mencoba bertahan dengan menjadi pengusaha.
“Kenapa kami banyak yang jadi pengusaha di Indonesia? Karena ruang kami untuk bekerja di pemerintahan tidak ada. Sehingga mau tak mau yang berdagang, menjadi pengusaha,” ujar pria yang bernama lahir Lie Kang Siong.
Namun dia mengamini bila memang ada warga keturunan dengan sifatnya sebagaimana yang selama ini disangkakan masyarakat. Salah satunya yang begitu mengejar harta sehingga menjadi pelit. Namun menurut Sonny, bukan berarti hal tersebut bisa disamaratakan dengan keturunan Tionghoa. Dia sendiri mengaku benci melihat orang yang begitu berorientasi pada harta.
“Kalau saya orangnya tidak begitu. Saya suka memberi bila diperlukan. Karena saya yakini pemberian saya jadi pahala tersendiri bagi saya,” tambahnya.
Untuk di Bontang, Sonny menyebut mendapat perlakuan yang sama sebagaimana warga lainnya. Tidak ada pembedaan, terbukti dia bisa menjalankan perusahaannya dengan baik. Bahkan melalui usahanya, dia bisa ikut membangun dan memberdayakan masyarakat Bontang. Ini menjadi bukti bahwa warga keturunan juga terlibat dalam pembangunan negeri.
“Di Bontang ini luar biasa masyarakatnya. Warga keturunan diterima dengan baik. Kami merasakan kenyamanan di sini. Tinggal bagaimana kita menempatkan diri di masyarakat,” sebut Sonny.
Menjadi seorang keturunan Tionghoa juga bukan merupakan pilihan Kurniawan Santoso. Baginya, seseorang terlahir dalam salah satu ras, etnis, dan agama ke dunia, sudah menjadi bagian rencana Tuhan. Bagi pria yang akrab dipanggil Koko ini, terlahir sebagai etnis Tionghoa di Indonesia memang menjadi tantangan tersendiri bagi dirinya
Menurutnya, isu-isu terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) selalu menjadi “barang dagangan” yang laku dijual di negeri ini. “Apalagi, pengaruh saat masa Orde Baru (Orba) masih kental terasa,” kata pria yang akrab disapa Koko ini.
Beberapa pengaruh Orba seperti dilarangnya etnis Tionghoa masuk ke dalam pemerintahan, menjadi pegawai negeri, tentara, polisi, dan lain-lain masih dirasakannya hingga kini. Meski beberapa di antaranya sudah berani masuk ke jalur politik dan pemerintahan, namun dampak di masa orba itulah yang membuat orang keturunan Tionghoa banyak yang memilih berprofesi menjadi pedagang ataupun pengusaha.
“Itulah mengapa kami (orang Tionghoa, Red.) lebih banyak dicap sebagai pengusaha, walaupun faktanya tidak semua demikian,” ujar pria yang bernama lahir Yang Xiang Fa.
Pun dengan berbagai pemberitaan dan informasi miring terkait mereka, Koko menyikapinya secara bijak. Dia pun mengambil contoh kasus Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Baginya, jika Ahok memang terbukti bersalah, maka harus dihukum. Namun jika tak terbukti bersalah, maka harus dibebaskan. Koko menilai, setiap orang itu tidak dapat hanya dinilai dari luarnya saja, namun juga dari dalamnya.
“Karena baru ini ada pemimpin di Jakarta yang sampai mengumrahkan penjaga masjid, gaji pasukan kebersihan sesuai UMR (Upah Minimum Regional), membangunkan masjid, dan lain-lain. Ahok ini meski kontroversial, tapi pembangunan di daerah yang dipimpinnya memang maju. Tapi kalau sudah berurusan dengan hukum, ya silakan ditindaklanjuti. Karena kami pun tak munafik, ada Tionghoa yang baik, ada juga yang yang tidak baik,” ucap Koko.
Terlebih, kasus yang menimpa Ahok ini serasa membangkitkan kembali isu SARA yang sudah lama terkubur. Tak hanya itu, belakangan terakhir isu bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan masuknya banyak tenaga kerja asing asal Tiongkok semakin santer terdengar. Hal itu tak dimungkiri oleh Koko. Memang, partai komunis salah satunya di Negeri Tirai Bambu tersebut. Namun, hal tersebut tidak mengubah fakta jika dirinya adalah orang Indonesia yang menjunjung Pancasila.
“Karena itulah kami lebih banyak menjauhi urusan politik, lebih banyak berdagang, berusaha, dan memilih aktivitas sosial,” jelas pria kelahiran Jember, 14 Desember 1982 silam ini.
Namun untuk di Bontang, Koko merasa beruntung. Sebab, kestabilan politik, keamanan, dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) masih terjaga hingga kini. Sejak 13 tahun tinggal di Bontang, Koko tidak merasakan adanya diskriminasi. Meskipun, diakuinya masih kekurangan tempat ibadah karena terkendala aturan kuota dan minimnya jumlah penganut agama Budha, namun itu bukanlah masalah bagi Koko.
“Kami bisa tetap berinteraksi dengan baik, berbuat baik dengan sesama kita. Bahkan saat saya donor darah kepada yang membutuhkan pun darah saya aman, karena saya juga vegetarian,” ungkap pemilik Golden Cell ini.
Adanya stigma dan sentimen negatif mengenai warga keturunan disesalkan warga keturunan Tionghoa lainnya, Yeffrey Gunawan. Dia mengaku sedih saat membaca dan mendengar hal tersebut di berbagai media, termasuk di jejaring sosial. Katanya, penyebutan warga keturunan dengan istilah Tiongkok terdengar kasar.
“Tapi tidak saya ladeni secara berlebihan. Karena yang melakukan seperti itu hanya sebagian oknum,” ungkap Yeffrey.
Pria yang akrab dipanggil Asen ini ingin agar warga keturunan Tionghoa bisa disamakan dengan warga Indonesia lainnya. Walaupun adanya perbedaan dan sentimen negatif yang diterimanya, Yeffrey tetap bangga terlahir sebagai warga keturunan Tionghoa.
“Tidak seharusnya ada perbedaan perlakuan. Sebab kami adalah warga Indonesia juga yang sekarang tinggal di Indonesia,” jelas ketua Pengcab Federasi Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI) Bontang ini.
Sebagaimana etnis lainnya, keberadaan warga keturunan Tionghoa di Bontang juga memiliki wadah paguyuban. Yaitu Paguyuban Keluarga Tionghoa (Paket) Bontang yang berdiri sejak 1997. Terbentuknya Paket tak lepas dari sosok ketuanya saat ini, Goenadi.
Pria kelahiran Melak, 12 Mei 1957 itu menceritakan, dirinya pertama kali menjejakkan kaki di Bontang tahun 1979. Namun kala itu masih sebatas pulang pergi Bontang-Samarinda. Barulah di tahun 1982, pria yang besar di Kota Tepian Samarinda itu memutuskan untuk menetap di Bontang.
Setelah 15 tahun tinggal di Bontang, dia dan beberapa warga keturunan Tionghoa di Bontang memutuskan untuk membentuk paguyuban. Tujuannya, menjadi wadah berkumpul bagi warga keturunan etnis Tionghoa di Kota Taman. Beberapa nama tercatat pernah mengetuai paguyuban ini. Mulai dari Aseng, Goenadi, dan Sonny Lesmana.
Setahun setelah berdiri,tepatnya tahun 1998, Indonesia dilanda krisis moneter yang membuat keadaan ekonomi negera terjun bebas. Sebagai bentuk kepedulian, saat itu Paket melakukan bakti sosial dengan cara menjual sembako murah kepada masyarakat Bontang hingga ke wilayah Muara Badak. “Namun setelah itu tidak ada lagi kegiatan di masyarakat yang kami lakukan,” tambahnya.
Kendati tidak ada kegiatan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, namun Goenadi menyebut, keberadaan Paket sering dilibatkan dalam acara-acara Pemkot Bontang. Sehingga warga keturunan etnis Tionghoa pun bisa dikenal oleh para tokoh masyarakat maupun pejabat pemerintahan.
“Walau saat ini aktivitas kami masih vakum karena masa peralihan ke ketua yang baru, namun kami berharap kegiatan-kegiatan Paket bisa terus berjalan lancar dan bisa bersinergi dengan pemerintah,” tukasnya.
Sebagai bagian warga keturunan, Goenadi ikut merasakan perlakuan yang kurang mengenakkan. Yaitu ketika dia masih tinggal di Samarinda. Perlakuan yang terkesan diskriminatif disebutnya sudah terjadi sejak pemerintahan Orba. Mulai dari mendapat perlakukan kasar, hingga adanya kebijakan warga Tionghoa tidak boleh menjadi karyawan ataupun pegawai negeri.
Sehingga satu-satunya jalan yang ditempuh adalah dengan menjadi pengusaha. “Mau bagaimana lagi? Tidak ada pilihan lain,” jelasnya.
Goenardi juga pernah merasakan tidak bisa bersekolah di sekolah umum. Sehingga dia tidak punya pilihan selain masuk di sekolah katolik. Padahal ketika itu dia masih beragama Konghucu. Awal-awal di Bontang pun, perlakuan dikucilkan masyarakat pernah dirasakannya. Hanya saja, seiring berjalannya waktu, toleransi di masyarakat sudah mulai tumbuh.
“Kalau sekarang ini perlakukan di masyarakat Bontang sudah lebih baik dan kondusif daripada yang dulu,” pungkasnya.
BERSAMA-SAMA BANGUN BONTANG
MESKI termasuk warga minoritas di Bontang, namun Pemkot Bontang memperlakukan warga keturunan Tionghoa sama seperti warga Indonesia lainnya. Wali Kota Bontang Neni Moerniaeni menyatakan bahwa mereka mendapat perlakuan yang sama seperti Warga Negara Indonesia lainnya. Bahkan Wali Kota Bontang Neni Moerniaeni mengharapkan perayaan Tahun Baru Imlek tahun 2017 ini lebih meriah dari sebelumnya.
“Seperti perayaan Imlek tahun ini, harus lebih meriah dari sebelumnya. Kepada seluruh warga keturunan Tionghoa di Bontang, Pemkot mengucapkan Gong Xi Fa Cai. Selamat Tahun Baru Imlek 2568,” jelas Neni melalui pesan singkat What’s App, Jumat (27/1) kemarin.
Dia mengatakan, dengan beragam budaya, suku, adat, serta etnis di Bontang, semua warga Bontang harus tetap harmonis. Bahkan, Neni menawarkan Stadion Bessai Berinta (Langlang) untuk digunakan sebagai tempat merayakan Tahun Baru Imlek pada hari ini. “Stadion Langlang bisa digunakan untuk perayaan Imlek, mau selama sepekan pun tidak masalah,” ujarnya.
Perlakuan yang sama terhadap warga keturunan Tionghoa juga ditegaskan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Bontang. Kepala Kesbangpol Bontang Sony Suwito Adicahyono menyatakan, semua warga negara memiliki hak yang sama. Termasuk masyarakat keturunan Tionghoa. “Haknya sama, jadi perlakuannya juga sama,” sebut Sony.
Sementara itu, Ketua Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Bontang Sektiono mengungkap, kiprah warga keturunan Tionghoa dalam pembangunan ekonomi di Bontang terbilang cukup baik. Hal ini terlihat dari warga Tionghoa yang aktif bergerak di berbagai bidang ekonomi. Bahkan sampai ada yang memiliki sebuah pabrik.
“Pembaurannya cukup baik dan ketua peguyubannya menjadi salah satu wakil ketua FPK,” kata dia.
Sektiono juga menegaskan bahwa tidak ada perbedaan warga dalam menerima keberadaan etnis Tionghoa. Dia menyebut warga keturunan Tionghoa bisa membuat cukup baik dan terbilang supel dalam bergaul. “Tidak ada yang membatasi kiprah mereka sebagai warga. Untuk menjadi pegawai negeri misalnya, sepertinya mereka dan kita tahu bahwa basicly mereka itu memang bukan di situ,” tandasnya.
DUKUNG KEBIJAKAN PEMERINTAH
Fakta membuktikan, warga keturunan Tionghoa di Bontang bukan sekadar menumpang. Bahkan, mereka ikut membangun Kota Bontang dalam berbagai bidang, khususnya bidang ekonomi. Sonny Lesmana misalnya, melalui perusahaan bahan peledak miliknya, bisa membuka lapangan pekerjaan bagi warga asli Bontang.
“Saya prioritaskan memang 100 persen pegawai saya itu asli kelahiran Bontang. Saya ingin membuktikan bahwa putra Bontang juga bisa berbuat untuk daerahnya,” kata Sonny yang tinggal di Bontang sejak 1974.
Bukan itu saja, Sonny baru-baru ini juga tengah mengembangkan sebuah kawasan wisata keluarga di kilometer 3. Diharapkan, tempat wisata keluarga yang dibangunnya nanti bisa ikut menghidupkan sektor pariwisata yang ada di Bontang.
Sementara pemilik Golden Cell, Kurniawan Santoso atau yang akrab dipanggil Koko menyebut, dia mendukung penuh kebijakan pemerintah, terutama terkait investasi yang masuk di Kota Taman. Menurutnya, Bontang saat ini membutuhkan investor agar perekonomian daerah semakin membaik.
Kabar akan adanya investor minyak sawit yang akan membangun pabrik di Bontang sendiri menurutnya akan menggairahkan kembali sektor-sektor ekonomi yang lesu akibat efek defisit anggaran.
“Karena ini sangat berpengaruh sekali, omzet usaha pun ikut menurun. Sudah saatnya sama-sama bergandeng tangan, gaet investor masuk ke Bontang, agar perekonomian bisa kembali pulih,” ucap Koko.
Apalagi di Tahun Ayam Api menurut perhitungan kalender Imlek, menurut Koko pas dengan keadaan ekonomi saat ini. Sifat ayam, lanjutnya adalah bangun lebih pagi kemudian mencari dan mematuk makanan tiap harinya. Meskipun porsinya minim, namun selalu ada yang didapatkan setiap hari.
“Sama seperti keadaan saat ini, prinsipnya bekerja lebih keras lagi. Cari berbagai peluang, meskipun tiap hari adanya sedikit, paling tidak cukup untuk menyambung hidup,” jelas Koko.
Karenanya, di Tahun Baru Imlek 2568 Koko berharap perekonomian Bontang semakin membaik. Persoalan yang menyerempet ke isu SARA juga diharapkan bisa berkurang. Hal ini demi stabilnya kondisi daerah dan bangsa ini. Tahun ini pula, Koko mengaku akan memperbanyak kegiatan-kegiatan sosial kepada masyarakat yang membutuhkan.
“Karena kalau urusan saling membantu satu sama lain, orang tidak akan bertanya terlebih dulu, darimana asalmu atau apa agamamu,” ujar Koko. (bbg/ver/mga/luk/zul)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post