bontangpost.id – Wacana penggabungan mata pelajaran (mapel) pendidikan agama dan budi pekerja dengan pendidikan Pancasila oleh Kemendikbud menuai protes. Banyak kalangan menolak rencana tersebut. Khususnya dari kalangan guru pendidikan agama Islam (PAI).
Wacana merger dua mapel itu terungkap dalam bocoran slide atau paparan focus group discussion (FGD) yang digelar oleh Kemendikbud. Slide tersebut beredar luas di masyarakat. Menurut sejumlah informasi, FGD tersebut diselenggarakan sekitar dua pekan yang lalu. Di dalam slide tersebut tersaji dengan jelas perbandingan nama-nama mapel di Kurikulum 2013 (K13) dengan kurikulum baru. Kurikulum baru itu tentunya masih dalam tahap kajian di Kemendikbud.
Ketua Umum Asosiasi Guru PAI Indonesia (AGPAII) Manhan Marbawi menuturkan sudah mendengar kabar dua mapel tersebut. Namun dia memastikan organisasinya tidak ikut serta dalam kegiatan FGD yang digelar Kemendikbud. Untuk itu dia berharap Kemendikbud bersedia membuka pintu bagi AGPAII untuk klarifikasi.
’’Kami ingin tabayyun. Yang dimaksud Kemendikbud seperti apa,’’ katanya (18/6/2020).
Dia menegaskan pada prinsipnya tidak setuju ada peleburan mapel agama atau PAI dengan pendidikan Pancasila. Dia menjelaskan dampak dari peleburan itu bisa mengakibatkan guru-guru PAI maupun PKN menganggur. Dampak lainnya bisa kehilangan kesempatan mendapatkan tunjangan profesi guru (TPG). Dia mengatakan di seluruh Indonesia guru PAI mencapai 238 ribu orang.
Menurut Marbawi jika penggabungan dua mapel itu jadi dilaksanakan, pasti ada yang dikorbankan atau mengalah.
’’Kalau yang dominan PAI atau agama, nanti guru pendidikan Pancasilanya akan hilang,’’ katanya.
Begitupun sebaliknya jika dari merger itu yang dominan adalah pendidikan Pancasila, maka guru pendidikan agama akan hilang.
Kalaupun rencana perubahan kurikulum itu ditujukan untuk menyederhanakan mapel di tengah wabah Covid-19, mekanisnya tidak harus dengan melebur mapel. Dia mengusulkan pemerintah bisa melakukan pengurangan materi yang diajarkan. Marbawi mencontohkan dalam satu tahun pelajaran, materi PAI ada 13 materi. Di tengah pandemi ini cukup diambil enam sampai delapan materi saja dalam satu tahun. Sehingga dalam satu semester cukup mempelajari dua sampai empat materi pelajaran.
’’Diambil materi yang prioritas,’’ tuturnya.
Anggota Komisi X (membidangi pendidikan) DPR Zainuddin Maliki mengatakan, rencana penggabungan pelajaran agama dengan PKN merupakan ide yang tidak kontekstual dan ahistoris.
“Artinya pemikiran seperti itu tidak memiliki akar budaya, akar kehidupan bangsa Indonesia yang religius,” terang dia.
Menurut dia, jika pendidikan agama digabung dengan PKN, maka jam pelajaran untuk agama akan berkurang dan sangat singkat. Hal itu tidak mencerminkan akar budaya bangsa.
Zainuddin mengatakan, para founding fathers merumuskan Pancasila dan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama, hal itu berangkat dari peta dan akar budaya bangsa Indonesia yang religius. Memang, kata dia, ada negara-negara barat yang menjadikan agama bukan sebagai mata pelajaran.
“Tetapi itu kan akar budayanya berbeda dengan yang dimiliki bangsa Indonesia,” ungkap dia.
Bahkan, lanjut legislator asal Dapil Jatim X itu, Inggris saja mengajarkan pelajaran agama mulai SD sampai perguruan tinggi. Agama yang diajarkan pun sangat beragam, karena jumlah siswanya cukup banyak dan berasal dari pemeluk agama yang berbeda-beda.
Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya itu mengatakan, sebenarnya UU Sisdiknas juga mempunyai konsep yang sama. Yaitu, setiap siswa diajarkan sesuai dengan agamanya masing-masing. Misalnya, kata dia, jika ada siswa Katolik yang sekolah di Madrasah, maka dia harus dijarkan agama Katolik, walaupun hanya satu siswa saja. Begitu juga sebaliknya, kata dia, kalau ada siswa Islam sekolah di Sekolah Katolik, maka sekolah itu harus mengajarkan agama Islam untuk siswa tersebut.
Jadi, lanjut Zainuddin, dia meminta agar jangan ada pemikiran dan rencana untuk melebur pelajaran agama dengan PKN. Sebab, peleburan itu tidak berdasar pada budaya bangsa yang religius.
“Kalau ada pemikiran seperti itu, maka ini sama dengan mencerabut pendidikan dari akar budaya bangsa yang religius,” tegasnya.
Kabar penggabungan tersebut langsung dibantah oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan (Balitbangbuk) Kemendikbud Totok Suprayitno. Ia menegaskan, bahwa itu hanya bagian dari dinamika diskusi internal tim kerja kurikulum. Sekadar diskusi awal. Bukan keputusan.
”Laporan terakhir yang saya terima, konstruksi kelompok mapelnya tidak digabung seperti itu. Tapi, tetap berdiri sendiri,” jelasnya.
Totok mengatakan, sebetulnya banyak hal yang dibahas dalam diskusi tersebut. Termasuk soal penyederhanaan kurikulum untuk masa pandemi.
Saat ini, pihaknya sedang merancang penyederhanaan cakupan materi per mata pelajaran. Untuk detilnya akan disampaikan lebih lanjut. Selain itu, disiapkan pula modul-modul belajar untuk memudahkan siswa belajar mandiri.
”Insyaallah awal tahun ajaran baru nanti siap untuk belajar 2-3 bulan pertama. Penyelesaiannya dilakukan bertahap,” papar alumni University of Illionis St. Urbana-Champaign, Amerika Serikat tersebut.
Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen) Hamid Muhammad membenarkan, bahwa dorongan adanya kurikulum “darurat” atau penyederhanaan kurikulum ini memang sudah digaungkan sejak beberapa bulan lalu. Baik dari organisasi guru maupun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Usulan ini muncul ketika pandemi dinilai bakal lama terjadi. Sehingga, akan sangat berdampak pada proses belajar mengajar satuan pendidikan. Namun, kata dia, pada prinsipnya kebebasan atau kelonggaran pengajaran ini sudah diberikan ketika mendikbud meluncurkan program merdeka belajar. Program ini memberikan keleluasaan agar satuan pendidikan dapat melakukan inovasi yang bisa digunakan dalam berbagai keadaan.
Karenanya, saat program belajar dari rumah dilaksanakan diharapkan para guru dapat melakukan pengajaran yang bervariasi sesuai dengan kondisi pandemi dan karakteristik daerah masing-masing.
”Ini yang kita berikan keleluasaan,” tutur Hamid.
Hal ini pun sebetulnya sudah diterapkan oleh sejumlah guru di beberapa daerah. Mereka bersama-sama mengumpulkan materi yang pas untuk daerahnya dalam masa pandemi ini. Sayangnya, hanya 15-20 persen yang bergerak.
”Karena itu kemungkinan pusat kurikulum menyiapkan itu. Opsi penyederhanaan kurikulum dan lainnya,” jelasnya.
Kendati begitu, lanjut dia, nantinya adanya penyederhanaan kurikulum ini tidak lantas menggantikan inisiatif kepala sekolah atau guru yang sudah bergerak dan berinovasi. Mereka tetap diberi kebebasan untuk berkreasi.
Selain itu, pihaknya bersama dengan dinas pendidikan telah menyiapkan sistem pembelajaran dalam skema penerapan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) untuk satu semester ke depan. Sistem ini mencakup pembelajaran dalam jaringan (daring) maupun luar jaringan (luring).
Untuk daring, telekonferensi lewat aplikasi seperti Zoom atau Google Meet jadi pilihan yang disarankan. Agar ada interaksi antara guru dengan murid. Namun, ketika ada hambatan akses jaringan, pulsa, gawai, atau guru belum terlatih dengan pembelajaran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) maka tak perlu dipaksakan daring. Pembelajaran luring dapat dimanfaatkan. Atau yang paling konservatif adalah dengan memanfaatkan buku pegangan siswa dan guru.
“Kalau dulu buku pegangan siswa ini hanya boleh dipakai di sekolah, maka pada saat sekarang itu harus dipinjamkan kepada siswa agar bisa dipelajari di rumah,” katanya.
Kemudian, guru nanti bisa berkoordinasi dengan orang tua murid atau melakukan kunjungan ke rumah atau kelompok belajar kecil.
Selain itu, Hamid juga mengatakan bisa juga digunakan akses televisi bagi daerah yang sudah mendapat jaringan televisi. sehingga program belajar dari rumah menggunakan televisi bisa diteruskan.
”Temanya masih tetap yakni literasi, numerasi, dan pendidikan karakter,” ungkapnya.
Hal senada diungkap Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbud Iwan Syahril. Dia menuturkan, prinsip kontek kurikulum ini adalah living curriculum. Artinya, bukan dokumen mati yang diterapkan begitu saja. Sehingga, kurikulum apapun nanti atau disederhanakan seperti apa maka harus disesuaikan dengan murid dan lokasi di mana dia berada.
”Ada relasi antara kurikulum dengan murid dan sekolah,” tuturnya.
Iwan pun menegaskan kembali, bahwa guru tidak dituntut untuk memenuhi target kurikulum dalam masa pandemic ini. yang jadi tolak ukur justru bagaimana guru bisa berinovasi dan membuat pembelajaran menyenangkan dan diterima oleh siswa. (wan/lum/mia/kpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post