Stigma kepada pasien Covid-19 masih tinggi. Alih-alih mendapat dukungan, mereka justru dikucilkan. Keluarga juga terkena imbas. Ketika harus menjalani karantina, mereka seperti diasingkan. Tak heran jika pasien dan keluarga menutup rapat diri.
23 Maret 2020 sore Arniwati deg deg an. Pasalnya, Wali Kota Bontang Neni Moerniaeni memberikan keterangan pers bahwa ada satu pasien positif Covid-19. Pasien pertama di Bontang.
Dan apa yang dikhawatirkan pun terjadi. Identitas Arniwati bocor. Entah siapa yang menyebarkan. Sehari sebelum diumumkan, kantor KPU Bontang dilakukan disinfektan. Dinas Kesehatan Kaltim dalam keterangannya menyebut, pasien berasal dari klaster KPU.
Foto Arniwati berseliweran di sosial media. Diunggah di grup Facebook. Dikomentari ratusan netizen. Puluhan kali dibagikan ulang. Yang membuat Arniwati semakin mengelus dada, keterangan di unggahan itu salah. Mulai nama, umur, sampai disebut memiliki anak. “Saya tidak punya anak. Belum menikah,” ujarnya.
Sebagian media online dalam pemberitaannya juga menuliskan inisial pasien, A. Beberapa mengutip dari postingan di sosial media tersebut. Yang lain mengandalkan kedekatan dengan sumber internal.
Inisial A tersebut nyatanya membuat Arniwati bingung. Pasalnya, saat itu rekan kerjanya yang juga komisioner KPU Bontang Antoni Lamini juga masuk dalam kategori orang dalam pemantauan (ODP) dan dirawat bersama. Apalagi Arniwati sempat diperbolehkan pulang karena Hb sudah normal.
“Saya sempat tidak percaya, karena informasi di medsos itu hoaks. Tapi yang menguatkan (kalau dia positif) adalah disebutkan pasien itu perempuan,” ujarnya menambahkan.
Dikucilkan
Bocornya data pribadi itu membuat Arniwati tak nyaman. Dia bahkan menjauhi sosial media. Trauma. Juga tidak ingin membaca berita tentang Covid-19.
Dari sang kakak dia mengetahui bahwa beberapa tetangga sempat mengucilkan dan berusaha menjauhi dia. Tapi Arniwati mengaku paham dengan situasi tersebut. “Saya tidak marah,” ujarnya.
Antoni Lamini juga mengalami nasib serupa. Datanya bocor dan ia dituding positif Covid-19. Dia buru-buru memberi klarifikasi melalui Facebook. Bahwa dia negatif Covid-19 hasil dari tes swab. “Saya tidak tahu bocor dari mana. Yang jelas harusnya data pasien itu dilindungi,” ujarnya.
Meski sudah klarifikasi, Antoni dan keluarga mendapat teror. Ia dituding membawa virus mematikan tersebut ke Bontang. Antoni sampai menjelaskan melalui grup WhatsApp agar tidak ada lagi yang merisaknya. “Kalau tidak, saya akan laporkan ke polisi,” ujarnya menegaskan.
Tak hanya terror di sosial media, statusnya sebagai ODP akan diumumkan di masjid. Dengan alasan supaya warga sekitar lebih waspada. “Saya pertanyakan itu, saya telepon, maksudnya apa, kenapa sampai mau diumumkan begitu. Saya juga pengurus masjid. Jadi saya jelaskan ke yang lain seperti apa situasinya. Akhirnya tidak jadi diumumkan,” terangnya.
Kasus berbeda dialami Agus. Istrinya terpapar Covid-19. Itu diketahui setelah perusahaan mengadakan screening untuk seluruh karyawan. Dia harus menjalani karantina mandiri. Bersama bayinya yang masih tiga bulan. Di tempat yang disiapkan perusahaan.
Ramai-Ramai Membantah
Dinas Kesehatan (Dinkes) Bontang membantah bahwa pihaknya yang membocorkan data pribadi pasien Covid-19. Kadinkes Bontang dr Bahauddin mengatakan, data yang mereka sampaikan hanya jenis kelamin dan usia pasien. Walau dalam setiap rilis yang diterima awak media juga tertera pekerjaan mereka. “Kalau ada selain itu, berarti bukan dari kami,” katanya berdalih.
Menurutnya, tak sembarang petugas bisa mengakses data pasien Covid-19 di Kota Taman. Ada petugas khusus. “Hanya satu orang yang bisa mengakses data-data pasien,” ujarnya.
Sementara, RSUD Taman Husada yang menjadi rumah sakit rujukan Covid-19 mengaku memiliki cara agar identitas pasien tidak bocor. Mereka melakukan penjemputan saat dini hari. Namun tetap dengan ambulance khusus dan memakai APD lengkap.
“Di atas jam 12 (malam). Tapi kalau sifatnya urgent dan harus segera dijemput, ya saat itu juga,” kata Direktur RSUD Taman Husada, dr I Gusti Made Suardika.
Made mengaku identitas pasien sangat dirahasiakan. Mereka tidak akan membuka tanpa seizin pasien. Tidak sembarang petugas yang bisa memegang rekam medik mereka. “Kami tidak ingin ada data yang bocor,” tuturnya.
Menurut dia, RSUD hanya memegang data pasien yang mereka rawat. Untuk keseluruhan data dipegang oleh Dinkes. RSUD juga tidak akan mengeluarkan statement kepada media terkait pasien. Seluruhnya diserahkan ke Dinkes dan wali kota Bontang. “Jadi sumbernya satu pintu. Kami tidak berkomentar,” tegasnya.
Perlindungan Data Pribadi
Kasus Arniwati dan Antoni Lamini menunjukkan rentannya data pribadi disalahgunakan dan disebarkan secara sembarangan oleh banyak orang. Dampak dari bocornya data pribadi tersebut tak hanya dirasakan oleh yang bersangkutan namun juga terhadap keluarga dan handai taulan.
Semua yang dialami Arniwati, Antoni dan keluarganya mulai dari stigma, diskrimasi, dijauhi dan dikucilkan berawal dari data pribadi mereka yang bocor dan disalahgunakan. Hal ini terjadi karena sampai saat ini belum ada regulasi yang mengatur soal perlindungan data pribadi.
Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah, hukum positif Indonesia memang mengatur larangan untuk membuka data pasien dan penyakitnya. Kerahasian tersebut diatur dalam Pasal 48 UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran. Juga termaktub dalam Pasal 17 huruf h angka 2 UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Tertulis bahwa riwayat kesehatan pasien itu adalah informasi yang dikecualikan alias tidak boleh dikonsumsi publik.
Namun, aturan itu dalam kondisi normal. Kalau dalam keadaan darurat, data itu bisa dibuka atas nama kepentingan publik dan upaya pencegahan Covid-19 agar tidak semakin meluas. Untuk itu perlu regulasi khusus yang mengatur soal perlindungan data pribadi. Ini dilakukan agar kasus-kasus seperti yang dialami Arniwati dan Antoni tak terulang lagi. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post