Kehadiran perusahaan pembiayaan alias leasing banyak membantu masyarakat mendapatkan barang yang diinginkan dengan mudah. Pembayarannya bisa dicicil. Baik yang sifatnya konsumtif maupun produktif. Namun, mengambil barang secara kredit di leasing kerap menimbulkan pengalaman tidak menyenangkan. Ini terjadi ketika debitur menunggak, gagal bayar, hingga dianggap wanprestasi oleh pihak perusahaan. Berujung sita kendaraan.
Kasus terbanyak yang sering disorot adalah perilaku debt collector. Yang dianggap semena-mena dan cenderung menarik paksa kendaraan bahkan saat berada di jalan. Seperti yang dialami Joni, bukan nama sebenarnya.
Warga Balikpapan itu punya pengalaman tidak menyenangkan sekaligus memalukan saat harus berurusan dengan debt collector. Kejadian ini sudah lama. Pada 2016 lalu.
Saat itu dia sedang bermotor. Membonceng pacarnya. Saat melintasi Jalan Beller (Jalan Mayor Pol Zainal Arifin), Balikpapan Selatan, empat orang dengan dua sepeda motor memepetnya. “Saya disuruh minggir. Saya pikir mau dibegal,” ungkap pria 30 tahun itu, Kamis (10/12).
Dua pria turun dari motor. Lalu menunjukkan kertas-kertas yang disebut berkas penarikan kendaraan dari sebuah perusahaan leasing. Menyatakan motor matik yang dikendarainya sudah menunggak selama enam bulan. “Saya enggak paham. Itu bukan motor saya,” ujarnya.
Motor itu milik iparnya. Hanya dipinjam Joni untuk mengajak kekasihnya keliling kota. Karena motornya sendiri masih di Samarinda. “Saya bingung. Saya telepon ipar tak diangkat. Pacar sudah melototin saya,” kata dia.
Karena tak ingin ribut, Joni meminta para debt collector untuk mengawalnya pulang. Permintaan itu dituruti. Sampai di rumah, iparnya tidak ada. Karena tak mau repot, dia pun menyilakan motor matik “ditarik”.
“Saya minta kontak mereka (debt collector). Sama perusahaan leasing buat diberikan ke ipar,” sebutnya.
Saat bertemu iparnya, Joni baru mengetahui, motor yang dibeli murah itu memang masuk dalam daftar “incaran”. Iparnya tahu, tapi tetap nekat membeli karena harganya murah. “Sejak itu saya enggak mau beli barang kredit. Malu kalau enggak sanggup bayar, hahaha,” tawanya.
Lalu ada Agus—bukan nama sebenarnya, warga Samarinda. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, dia nekat membeli mobil dengan cara dicicil melalui sebuah perusahaan leasing. Kemudian menggunakan mobil tersebut untuk bekerja sebagai sopir taksi online.
Awalnya, pendapatan Agus lancar dan cicilan bisa dibayar tepat waktu. Namun, ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia, pendapatannya merosot tajam. Dia khawatir tak sanggup membayar sisa angsuran.
“Jangankan buat cicilan, buat makan saja susah banget waktu itu. Padahal saya harus tambah modal segala beli masker sama hand sanitizer juga. Sama sering-sering minum vitamin,” kisah lelaki 29 tahun itu.
Dia pun sempat berpikir untuk beralih profesi ke ojek online. Dia menawarkan take over mobilnya. Namun, sudah beriklan ke berbagai media sosial, tak ada juga yang minat untuk men-take over mobil milik Agus.
“Maksud saya, kalau di-take over, saya ada modal beli motor baru. Soalnya kalau jadi ojek online masih bisa orang pesan makanan atau belikan obat. Kalau taksi harus angkut penumpang,” ujarnya.
Sebelum ditarik, Agus yang sudah menunggak hampir dua bulan, berkonsultasi ke kantor pembiayaan yang memberikan kredit kepadanya. Ternyata, kantor yang memberikan kredit Agus, menawarkan keringanan cicilan.
“Dilonggarkan cicilan saya. Untung sejak Agustus perlahan meningkat pendapatan saya. Ada rezeki juga,” kisahnya.
Kaltim Post pun mencoba menyambangi sejumlah perusahaan leasing di Balikpapan. Namun, beberapa perusahaan pembiayaan tersebut tutup. Rata-rata mereka yang tutup adalah perusahaan yang berkantor di ruko kecil.
Awak media lantas mendatangi Astra Credit Companies (ACC), salah satu perusahaan leasing mobil terbesar di Indonesia. Di Balikpapan, ACC memiliki perwakilan dengan lokasi kantor di kawasan Jalan MT Haryono, Balikpapan Selatan.
Awak media ini bertemu AR Management Head atau Collection Head ACC Balikpapan Yeferson Dolompaha. Di lantai tiga gedung ACC Balikpapan, Yeferson sempat mengoreksi sebutan debt collector yang disematkan kepada dirinya dan 15 orang bawahannya.
“Mohon maaf kalau kami bilangnya bukan debt collector. Itu dilarang,” ujar Yeferson.
Yeferson menegaskan, pihaknya memegang Sertifikasi Profesi Penagihan Pembiayaan Indonesia (SPPI). Artinya tim yang turun ke lapangan untuk melaksanakan penyitaan kendaraan telah memiliki kewenangan sebagai petugas eksekusi benda jaminan fidusia.
“Jadi, yang menentukan layak atau tidak, ya, sertifikat itu. Dan sertifikasi ini harus di-update setiap tahun. Kalau ada yang mau bergabung dengan ACC tapi tidak punya sertifikat ini atau kedaluwarsa, kami tidak terima,” bebernya.
Dia menyebut, dalam setiap penarikan kendaraan dari debitur dilandasi prosedur yang sudah sesuai Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia). Perusahaan akan mengeluarkan surat peringatan (SP). Dari SP 1 hingga SP 3. Hingga debitur dianggap wanprestasi.
“Dan metode penarikannya pun kami sangat soft. Tidak berhentikan di jalan. Pasti penyelesaiannya di rumah customer,” akunya.
Dijelaskannya, meski ada surat kuasa, petugas eksekusi benda jaminan fidusia tidak bisa serta-merta melakukan penarikan paksa. Pun ketika debitur memberikan kunci kendaraan, namun enggan tanda tangan surat penarikan, petugas dilarang mengambil kendaraan tersebut. “Ini yang kami sebut sebagai adu argumen. Kami perlu pihak ketiga,” ucapnya
Saat ini pihaknya lebih banyak berkoordinasi dengan kepolisian sebagai pihak ketiga. Cara ini ditempuh ketika melihat adanya potensi “adu argumen” yang dilakukan oleh pihak penunggak kepada petugas yang mewakili perusahaan leasing. Dan biasanya tidak memiliki titik temu.
“Ibaratnya mau tarik paksa enggak bisa juga. Kan ada putusan MK (Mahkamah Konstitusi) soal penarikan ini. Yowes kami koordinasi dengan kepolisian,” ucapnya.
Dari sisi penagihan, Yeferson menyebut, non-performing loan (NPL) alias pinjaman macet pada Januari hingga Februari 2020 sangat rendah. Artinya tingkat kepatuhan membayar angsuran sangat lancar. Namun pada pertengahan Maret, muncul tanda-tanda NPL naik. “Kalau tidak salah saat itu Presiden Joko Widodo ultimaltum soal coronavirus,” ujarnya.
Tak lama setelah pidato presiden, keluar Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Counter Cylical dampak pandemi Covid-19.
Di dalamnya mengatur perpanjangan jangka waktu kredit, pengurangan tunggakan pokok dan pengurangan tunggakan bunga debitur perusahaan leasing dengan aset besar.
Dengan kondisi di awal pandemi, Yeferson pun melihat adanya potensi “kebanjiran” debitur yang datang ke kantor ACC Balikpapan. Sementara muncul kebijakan pemerintah untuk tidak melakukan kerumunan. “Kami minta customer kami pulang, nanti akan dikunjungi,” sebutnya.
Adanya aturan dari OJK membuat ACC Balikpapan melakukan restrukturisasi. Yang dilakukan oleh tim Yeferson adalah menyosialisasikan kebijakan perusahaan leasing berdasarkan aturan OJK kepada debitur yang kesulitan membayar cicilan mobil akibat terdampak Covid-19.
“Sejak April itu terjadi perubahan pola kerja kami. Dari awalnya penagihan menjadi sosialisasi customer,” sebutnya.
Hal ini masih berlangsung hingga kini. Namun, kata dia, kondisi debitur perlahan mulai membaik. Artinya, dengan berbagai stimulus yang diberikan pemerintah mampu mendongkrak ekonomi masyarakat.
“Bersyukurnya, alhamdulillah, di Juni sudah banyak customer yang mau bayar normal meski kami tawarkan restrukturisasi. Kemungkinan karena mereka masih punya saving,” jelasnya.
Dari datanya, kendaraan debitur yang dianggap wanprestasi dan akhirnya ditarik rerata 15 mobil per bulan. Itu sebelum pandemi. Tetapi selama pandemi sangat minim. Bahkan sejak April hingga Agustus, pihaknya sama sekali tidak melakukan penarikan.
“Oktober hanya dua tarikan. November nol. Turunnya signifikan. Kami juga menyesuaikan prosedur hukum yang berubah ketika pandemi ini. Dan kami harus patuh hukum,” jelasnya. (***/dwi/k16)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post