bontangpost.id – Glorifikasi yang dilakukan sejumlah media massa terhadap pelaku kekerasan seksual anak di bawah umur, Saipul Jamil, menuai banyak kritik tajam.
Sejumlah pihak menilai, glorifikasi ini amat tidak sensitif terhadap korban. Selain itu, ini berpotensi membuat tindakan kekerasan seksual justru dinormalisasi.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DPPKB) Bontang Bakhtiar Mabe mengatakan, yang mesti dipahami publik, kekerasan seksual terhadap anak termasuk kejahatan berat. Mestinya itu tidak ditoleransi. Sebab sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, anak mestinya dilindungi.
“Orangtua yang harusnya melindungi anak, justru dia yang merusak. Tindakan itu akan merusak mental anak,” tegas Bakhtiar Mabe kepada bontangpost.id, Rabu (8/9/2021) siang.
Dengan dasar itu, media massa tidak selaiknya melakukan glorifikasi terhadap pelaku kejahatan seksual. Siapapun pelakunya. Baik warga biasa, ataupun seorang figur publik.
Bakhtiar dengan tegas menyatakan penyesalannya. Dengan pengaruh besar yang dimilki, media mestinya memposisikan diri bersama korban. Terlebih korbannya adalah anak di bawah umur.
Selain itu, media mestinya memberikan efek jera. Bukannya seperti memberi karpet merah bagi pelaku, dengan membiarkan ia tampil lagi di hadapan publik. Serta diperlakukan bak pahlawan. Ini sangat berbahaya, dan berpotensi ditiru.
“Jangan-jangan karena begitu perlakuannya, bisa saja dia melakukan lagi (kekerasan seksual). Mestinya jangan dikasih panggung, nanti malah dicontoh. Itu buruk sekali,” tegasnya.
Lebih jauh dia mengatakan, dengan menyaksikan pelaku diglorifikasi seperti ini, tentu bakal melukai hati korban. Media tak perlu memberi ruang, memberi panggung, bagi pelaku kekerasan seksual. Pelaku kejahatan seksual lainnya sudah selaiknya diberi efek jera.
“Masa orang yang sudah melakukan tindakan seburuk itu, malah dikasih ruang, dikasih panggung. Mestinya tidak seperti itu,” tegas Mabe.
Sorotan juga datang dari sejumlah jurnalis dan pegiat media massa. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda Nofiyatul Chalimah mengatakan, memang tak ada salahnya jika seseorang minta maaf atau memaafkan. Tapi, tidak memaafkan juga hak korban. Sebab trauma yang ditimbulkan tentu membekas.
Kemunculan kembali pelaku ke ruang publik, membuat seakan ia memiliki power. Nahasnya, keluar penjara pun ia disambut bak pahlawan. Bahkan hingga pengalungan bunga.
“Padahal dia adalah pelaku pelecehan seksual. Rasanya agak susah mencari di mana letak rasa sesal,” tegas Nofiyatul.
Menurut perempuan yang akrab disapa Nofi ini, tugas jurnalis dan media tidak untuk mengglorofikasi pelaku. Media punya kekuatan. Pelaku bisa mendapat ketenaran dan uang kembali dengan media. Sementara bagi korban yang menyaksikan pelaku di media massa, ini bisa membuat luka lama muncul kembali. Korban bisa semakin dihantui trauma karena menyaksikan orang yang melakukan pelecehan, melenggang santai sembari tertawa di televisi.
“Ini juga bisa jadi refleksi baru buat kita di media. Bahwa di masa depan, pelaku pelecehan seperti itu bisa saja tanpa rasa malu atau raut sesal dengan percaya diri mau tampil di media lagi,” kesalnya.
Pendapat tak jauh berbeda diutarakan Ketua Asosiasi Media Online Bontang (Asmob) Herdi Jaffar. Menurutnya, glorifikasi media terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak jelas menohok akal sehat. Karena perilaku yang menempatkan anak-anak sebagai korban seharusnya tidak dapat ditolerir.
Akibat dari penyambutan berlebihan itu memberi kesan kejahatan pelaku adalah hal biasa. Tentu saja hal itu tidak baik untuk korban dan masyarakat secara keseluruhan.
“Fenomena yang terjadi sekarang menjadi bukti bahwa masih banyak media yang terjebak pada pemberitaan sensasional. Hal ini tentu sangat kami sayangkan,” kata Herdi kepada bontangpost.id, Rabu (8/9/2021) pagi.
Lebih jauh Herdi mengatakan, mestinya media dapat memberikan tayangan mendidik, mencerdaskan, serta menginspirasi. Informasi yang disajikan seharusnya memberi pesan-pesan pencegahan terhadap korban kekerasan terhadap anak.
“Bukannya malah memberi panggung bagi pelaku pelecahan seksual. Kalau terus seperti ini, bisa-bisa kita malah menormalisasi para pelaku kekerasan seksual,” kerasnya.
Sementara, Sekretaris Forum Jurnalis Bontang (FJB) Andi Yudi Zakaria mengimbau agar media di daerah tak turut membesar-besarkan, bahkan terkesan merayakan atau mengglorifikasi pembebasan pelaku pencabulan. Terlebih pelakunya adalah seorang pesohor atau public figure.
“Kami berharap media memahami sensitivitas dan etika kepatutan publik. Glorifikasi kebebasan tentu berimbas memperdalam trauma pada korban,” ujarnya.
Lebih jauh dia mengatakan, pers atau lembaga penyiaran harus lebih hati-hati saat mempublikasikan muatan perbuatan melawan hukum, terlebih yang beririsan langsung dengan adab dan norma. Apalagi pada kasus-kasus yang korbannya anak di bawah umur.
Ia juga mengingatkan, pers harus mengarah ramah anak. Undang-undang perlindungan anak secara tegas menyebut perlindungan anak merupakan kewajiban semua pihak, baik negara, pemerintah, orang tua, termasuk media.
“Glorifikasi pesohor pelaku cabul, jelas mengganggu semangat pemberitaan edukatif yang sejalan dengan tumbuh kembang anak,” sesalnya.
Tanggapan Psikolog
Sementara Direktur Lembaga Psikologi Insan Cita Laela Siddiqah, mengatakan, dirinya sendiri tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang pelaku pencabulan terhadap anak dielu-elukan, diglorifikasi di media.
Yang harus dipahami publik, sebutnya, ini bukan perkara pelaku telah menjalani masa hukumannya. Atau soal bisa tidaknya pelaku dimaafkan. Untuk kasus ini, ada dimensi lain yang lebih penting untuk disoroti, yakni ‘siapa dia’. Alias, apa jenis kejahatan atau kesalahan yang dilakukan pelaku.
“Masyarakat kita kurang melihat di situ. Akhirnya masyarakat justru ikut dalam euforia menyambut pelaku,” sebutnya.
Dalam kasus-kasus pencabulan seperti ini, masyarakat memang harus menempatkan diri atau berempati kepada korban. Pelaku bisa dengan mudah melupakan tindakannya. Tapi trauma korban masih membekas. Bahkan dapat mempengaruhi mereka hingga jangka waktu panjang bila tak mendapat dukungan dan penanganan yang baik.
“Semoga ini bisa jadi pembelajaran berarti, supaya semua bisa lebih peka. Pemangku kebijakan juga bisa mencegah supaya hal seperti ini tak terulang kembali,” ujar wanita berkecamata ini.
Bila korban tidak tertangani dengan baik atau pengalaman traumatisnya masih kuat, ini dapat menggangu korban hingga ia beranjak dewasa.
Seperti mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain, dalam lingkungan sosial susah berkembang, tumbuh menjadi pribadi yang merasa tidak tidak aman atau insecure. Selalu rendah diri, sehingga potensi dalam diri tak bisa berkembang dengan baik.
“Gimana sih orang yang merasa tidak aman. Ke mana-mana takut, mau melakukan sesuatu juga takut. Sehingga tidak bisa menjalankan fungsi-fungsi hidupnya dengan baik,” urainya.
Dampak lainnya, korban juga bisa kesulitan ketika berinteraksi dengan orang lain. Misalnya, mengeneralisasi bahwa semua orang tidak baik. Walhasil korban membentuk suatu respon tidak adaptif hingga menghadirkan perilaku salah atau keliru, atau justru melanggar aturan, dan norma dalam masyarakat.
“Dia (korban) ingin menyelamatkan diri sendiri tapi dengan cara yang salah. Bisa juga karena pengalaman traumatisnya, dia mungkin menyimpan dendam, bisa jadi dia berpotensi menjadi pelaku (kekerasan seksual),” terangnya.
Adapun untuk menilai seberapa jauh dampak traumatis yang dialami korban, para profesional terlebih dahulu melakukan asesmen. Dari sana, penanganan trauma healing dilakukan. Namun paling penting dari itu semua ialah, penguatan sistem pendukung korban, keluarga, orang-orang terdekat, hingga lingkungan sekitar korban. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post