Perhelatan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kaltim 2018 tinggal hitungan hari. Para kandidat mulai bertebaran mencari simpati. Siapa pemimpin Bumi Etam berikutnya masih teka-teki. Akankah golput dan politik uang kembali mewarnai?
Golongan putih (golput) dan money politic, keduanya seakan menjadi momok di setiap penyelenggaraan pemilu. Entah itu pemilu kepala daerah (pilkada), pemilu legislatif (pileg), maupun pemilu presiden (pilpres). Paling dekat di tahun ini, masyarakat Indonesia menyongsong pilkada yang digelar serentak di berbagai daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Kaltim menjadi satu dari 171 daerah yang bakal menentukan pemimpin teranyarnya di tahun ini, dengan masa jabatan gubernur saat ini Awang Faroek Ishak yang tinggal hitungan bulan. Menjadi sebuah tantangan, mengingat berkaca dari pengalaman pilkada-pilkada sebelumnya, angka golput di Kaltim masih terbilang tinggi.
Dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kaltim, diketahui dalam Pilgub Kaltim periode sebelumnya yaitu Pilgub 2013, angka golput mencapai 44,52 persen di seluruh Kaltim. Atau ada sebanyak 1,25 juta warga dengan hak pilih yang tidak menggunakan hak pilihnya.
Sempat mengalami penurunan dalam Pemilu 2014, dengan rincian 31,85 persen pada pileg dan 37,37 persen pada pilpres, angka golput ini kembali meningkat di pilkada serentak 2015. Dari sembilan daerah yang menyelenggarakan pilkada, didapati angka golput sebanyak 43,03 persen (selengkapnya lihat grafis).
Sementara untuk di Bontang, pada Pemilihan Wali Kota (Pilwali) 2015 lalu, mencatatkan angka golput sebanyak 34,82 persen. Atau sebanyak 43.210 orang dari 124.105 pemilih yang terdaftar, tidak menggunakan hak pilihnya.
Dengan demikian, angka partisipasi masyarakat di Bontang mencapai 65,18 persen. Angka ini terbilang lebih baik bila dibandingkan kabupaten/kota di Kaltim. Bahkan lebih baik bila dibandingkan ibu kota Kaltim, Samarinda yang tidak sampai menyentuh 50 persen yaitu 49,76 persen. Partisipasi tertinggi tercatat ada di Bontang Selatan dengan 67,55 persen (selengkapnya lihat grafis).
Guru besar Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Prof Adam Idris dalam sosialisasi pilgub beberapa waktu lalu mengatakan, yang dimaksud golput yaitu suatu tindakan untuk tidak menggunakan hak suaranya dengan berbagai faktor. Biasanya ada tiga cara golput yang dilakukan yaitu memberikan suara kosong, memberikan suara yang tidak valid, dan tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
“Memberikan suara kosong yaitu tidak mengisi sama sekali. Memberikan suara yang tidak valid yaitu menusuk lebih dari satu gambar kandidat atau menusuk bagian putih atau di luar area gambar,” jelasnya.
Dia menjabarkan, setidaknya ada empat penyebab seseorang menjadi golput. Pertama yaitu kurangnya kepercayaan kepada kandidat. Kedua, pemerintah tidak menepati janji-janji politiknya. Ketiga, kurangnya informasi atau ketidaktahuan tentang kegiatan pemilu. Keempat, adanya upaya pihak-pihak tertentu untuk menghalangi atau membuat seseorang tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
Sebagaimana penyebabnya, golput juga dapat dikategorikan ke dalam empat kategori. Yaitu golput teknis yaitu mereka yang tidak memberikan suara sebab kendala teknis semisal ketiduran atau salah mencoblos. Kedua golput politis, adalah mereka yang merasa tidak memiliki pilihan dari kandidat yang tersedia.
Kategori ketiga yaitu golput teknis politis, meliputi mereka yang tidak terdaftar karena kesalahan sendiri atau pihak lain, dalam hal ini penyelenggara pemilu. Serta kategori keempat yaitu golput ideologis, merupakan mereka yang memilih golput karena tidak percaya pada mekanisme demokrasi.
Kata Adam, jumlah angka golput sebenarnya tidak mengurangi legitimasi atau keabsahan dari pejabat pemerintahan maupun wakil rakyat yang dipilih. Tetapi, akan lebih baik bila angka partisipasi masyarakat semakin tinggi. Pasalnya dengan semakin tingginya partisipasi masyarakat, menandakan tingkat kepercayaan yang semakin besar kepada pemerintah.
Istilah golput sendiri, sebut Adam, merupakan peninggalan era orde baru. Kala itu ada sejumlah anggota DPR/MPR yang tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan diangkat berdasarkan keputusan presiden. “Makanya mereka ketika memberikan suaranya, mencoblos di luar gambar partai. Yaitu di kertas yang berwarna putih. Sehingga kemudian disebut golongan putih atau tidak memihak,” jelas Adam.
Di masa era reformasi saat ini yang telah mengadopsi model pemilihan secara langsung, semestinya praktik golput sudah tidak relevan lagi. Sehingga harapannya, masyarakat yang masih golput bisa bersama-sama menyukseskan pemilu dengan memberikan hak suaranya. Dosen FISIP Unmul ini menambahkan, warga yang golput sejatinya tidak memiliki keterwakilan suara di pemerintahan.
“Bila pelaku golput mendapat masalah, mau mengadu ke mana? Kan tidak memiliki keterwakilan,” sebut Adam.
Dia berujar, tingginya angka golput merupakan sebuah tantangan yang mesti dihadapi dalam pemilu di Indonesia ke depan. Bukan saja oleh para penyelenggara pemilu, melainkan juga tantangan bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Khususnya bagaimana agar tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah bisa meningkat.
“Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat menyebabkan angka golput semakin tinggi,” simpulnya.
PESIMISTIS BERUJUNG APATIS
Beragam sebab golput yang diungkapkan Prof Adam terbukti benar adanya. Alasan-alasan tersebut diungkapkan beberapa warga yang ditemui Bontang Post. Seorang warga berinisial RZ mengatakan, memilih golput lantaran merasa bosan dengan janji-janji manis yang diungkapkan oleh pasangan calon (paslon) pada pemilu-pemilu sebelumnya.
“Dulu saya pernah dijanjikan ini dan itu. Tapi kenyataannya ketika dia jadi (terpilih, Red.) janji-janji itu tidak ditepati. Padahal saat kampanye, saya ini orang yang ikut mempromosikan calon tersebut ke masyarakat. Sekarang saya malas sudah dengan yang namanya politik,” ujar RZ.
Hal berbeda diungkapkan ibu rumah tangga berinisial SN yang merasa tidak ada perubahan yang berarti dalam kehidupannya sekalipun sudah memberikan suara. Ibu dua anak ini menilai, datang ke TPS saat pemungutan suara hanya membuang-buang waktu.
“Paling kalau mereka terpilih juga tidak ingat sama kami rakyat kecil. Jadi buat apa dipilih. Mending saya di rumah saja memasak dan menjaga anak,” beber SN.
Selain karena sikap pesimistis, alasan ideologis juga membuat seseorang menolak memberikan suaranya dalam pemilu. Ali salah satunya, warga Bontang ini mantap memutuskan untuk tidak memberikan suaranya dalam setiap bentuk pemilu yang digelar. Baik pileg, pilpres, maupun pilkada, termasuk pilgub yang akan datang.
Ali berujar, dia tidak mencoblos lantaran menurutnya sistem demokrasi yang ada saat ini bertentangan dengan keyakinan agama yang dia pahami. “Agama saya tidak hanya mewajibkan memilih pemimpin yang seiman. Tapi dalam kepemimpinannya juga harus memakai cara-cara sesuai agama,” kilah Ali.
POLITIK UANG DINANTI
Bersama dengan golput, tantangan lain yang dihadapi menjelang pilgub Kaltim adalah money politic atau politik uang. Tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah, lantas semakin diperparah dengan oknum-oknum politik yang menghalalkan segala cara demi meraup suara. Bukannya mendidik, malahan menjejali pola pikir masyarakat dengan menjadikan uang sebagai patokan dalam memilih.
Dari survei yang dilakukan Pusat Studi Otonomi Daerah dan Desa Fakultas Hukum (FH) Unmul Samarinda, didapati 60 persen masyarakat Kaltim masih mengharapkan adanya politik uang, khususnya dalam momen pilgub. Survei ini dilakukan selama dua bulan di 2017 silam, dengan instrumen kuesioner pada seribu responden di empat kabupaten/kota di Kaltim yang menjadi sampel.
“Kami melakukan survei masyarakat secara umum yang telah memiliki hak pilih. Di dalamnya termasuk pemilih pemula,” kata Najidah, akademisi FH Unmul yang mengawal survei ini.
Dalam survei yang melibatkan para mahasiswa kuliah kerja nyata (KKN) ini, sejumlah pertanyaan diajukan kepada responden, termasuk alasan menerima uang. Rata-rata menjawab tidak menolak uang yang diberikan karena dianggap sebagai rezeki. Di satu sisi, meski sudah menerima uang, bukan lantas menjadi sebab responden untuk memberikan suaranya kepada kandidat tertentu.
“Sebanyak 90 persen responden menyatakan pilgub ini penting, namun menurut mereka siapapun yang menang tidak terlalu penting. Mereka memberikan suara bukan karena telah diberi sejumlah uang. Kebanyakan mau menerima uang karena hanya memanfaatkan momen pilgub,” jelasnya.
Dari hasil survei ini, dapat diketahui bahwa masyarakat berada dalam kondisi yang dibuat tergantung dengan politik uang. Politik uang yang sejatinya tabu, kini dianggap sebagai sesuatu yang sudah umum bahkan cenderung dinantikan kehadirannya. Sehingga menjadi tugas berat dalam menggugah kepasifan masyarakat untuk bisa memberikan hak pilih tanpa iming-iming materi sesaat.
Sosialisasi, disebut Najidah, menjadi sangat penting untuk mencegah praktik sesat ini terulang. Termasuk di dalamnya penyampaian informasi sanksi yang bisa diterima pelaku politik uang, baik pemberi maupun penerima. Ketakutan akan adanya pidana yang bisa menjerat nyatanya telah disadari oleh masyarakat.
“Dalam kuesioner pertanyaan alasan menolak politik uang ada dua pilihan, yaitu takut hukum dan takut Tuhan (dosa, Red.). Mayoritas menjawab takut hukum, tidak ada yang menjawab takut Tuhan,” bebernya.
Para penerima politik uang pun diketahui lebih memilih diam dan tak melaporkan adanya praktik haram tersebut. Mereka enggan melaporkan karena sudah terlebih dulu menganggap proses pelaporannya bakal ribet dan berbelit.
“Kesadaran masyarakat masih harus terus dibangun. Karena politik uang ini berkorelasi erat dengan partisipasi masyakarat,” terang Najidah.
TERIMA UANGNYA, LUPAKAN ORANGNYA
Hasil survei yang dilakukan Pusat Studi Otonomi Daerah dan Desa FH Unmul setali tiga uang dengan hasil penelusuran Bontang Post. Dari beberapa pelaku praktik politik uang yang ditemui media ini, sebagian besar menerima pemberian berunsur politik uang, namun bukan menjadi jaminan dalam memilih calon atau kandidat tertentu.
“Kalau ada yang memberi (uang) yang diterima saja. Tapi belum tentu saya memilih dia (calon yang memberi, Red.),” kata DM, salah seorang warga Bontang.
DM sejatinya mengetahui bila penerima politik uang bisa dikenakan pidana. Namun begitu, dia menganggap pemberian tersebut sebagai rezeki yang sayang bila dilewatkan. Pun begitu, dia tidak merasa khawatir karena menganggap tidak ada perjanjian antara dia dengan pemberi untuk memilih calon tertentu.
“Kalau saya menerima (uang) bukan berarti saya akan memilih yang menerima. Saya tidak akan golput, saya akan tetap memilih yang saya anggap sesuai bagi diri saya,” jelasnya.
Menurut DM, praktik politik uang jamak terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya. Sementara untuk pilgub, sejauh ini dia belum mengetahuinya. Namun biasanya di hari-hari terakhir masa kampanye atau menjelang hari pemungutan suara, praktik terlarang ini marak terjadi yang populer dengan sebutan “serangan fajar”.
Di satu sisi, DM mengaku peduli terhadap pilgub. Dia berharap gubernur terpilih nantinya benar-benar gubernur yang mampu mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat Kaltim, khususnya Bontang. “Saya ingin gubernur baru bisa membangun jalan tol Samarinda-Bontang. Masa dari dulu jalannya seperti itu terus,” sebut DM.
Adanya “serangan fajar” diamini MD, warga Bontang lainnya. Dalam pemilu sebelumnya, dia mengaku mendapat amplop berisi uang dari kandidat tertentu pada detik-detik terakhir menjelang pemungutan suara. Namun begitu, amplop yang dia terima bukan lantas mengubah pendiriannya. Pasalnya dari jauh-jauh hari, MD sudah memiliki figur yang dianggap layak dia pilih.
“Saya tiba-tiba dikasih uang, ya saya terima. Tapi saya tidak pilih dia (yang memberi, Red.). Saya sudah punya calon yang saya pilih. Saat memberikan itu kan tidak ada keharusan untuk memilih dia,” kisah MD.
Meski menerima uang, MD menyadari apa yang dilakukannya itu salah. Dia pun mengetahui bila yang dilakukannya merupakan pelanggaran yang berkonsekuensi hukum. Namun begitu sebagai orang kecil, dia tidak punya pilihan lain. Menurut dia, bagi orang-orang yang mampu seharusnya tidak lagi menerima politik uang. “Kalau kita ini orang kecil bisa apa?” tuturnya pasrah.
Logika seperti ini ditolak keras Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Bontang. Ketua Panwaslu Bontang Agus Susanto menyebut, sekalipun tidak memberikan pilihan akibat politik uang, tetap saja menerima uang yang ditujukan untuk itu. “Ya jangan terima uangnya, jangan juga pilih orangnya,” tegas Agus. (luk/bbg)
PARTISIPASI MASYARAKAT KALTIM DARI PEMILU KE PEMILU
PEMILU JUMLAH PEMILIH MENGGUNAKAN HAK PILIH TIDAK MEMILIH/GOLPUT
Pilgub 2008 (putaran 1) 2.273.769 jiwa 1.523.319 jiwa (67 persen) 750.450 jiwa (33 persen)
Pilgub 2008 (putaran 2) 2.244.927 jiwa 1.320.893 jiwa (58,84 persen) 924.034 jiwa (41,16 persen)
Pileg 2009 2.356.996 jiwa 1.553.292 jiwa (65,90 persen) 803.704 jiwa (34,10 persen)
Pilpres 2009 2.474.351 jiwa 1.652.264 jiwa (66,78 persen) 822.087 jiwa (33,22 persen)
Pilgub 2013 2.811.866 jiwa 1.559.924 jiwa (55,48 persen) 1.251.942 jiwa (44,52 persen)
Pileg 2014 2.986.996 jiwa 2.035.721 jiwa (68,15 persen) 951.275 jiwa (31,85 persen)
Pilpres 2014 3.023.226 jiwa 1.893.443 jiwa (62,63 persen) 1.129.783 jiwa (37,37 persen)
Pilkada Serentak 2015* 2.440.160 jiwa 1.390.082 jiwa (56,97 persen) 1.050.078 jiwa (43,03 persen)
Keterangan *: Penajam Paser Utara tidak menggelar pilkada di 2015
Sumber: KPU Kaltim
PARTISIPASI MASYARAKAT BONTANG DALAM PILWALI 2015
KECAMATAN JUMLAH PEMILIH MENGGUNAKAN HAK PILIH TIDAK MEMILIH/GOLPUT
Bontang Utara 54.900 jiwa 35.732 jiwa (65,09 persen) 19.168 jiwa (34,91 persen)
Bontang Selatan 47.935 jiwa 32.380 jiwa (67,55 persen) 15.555 jiwa (32,45 persen)
Bontang Barat 21.270 jiwa 12.783 jiwa (60,10 persen) 8.487 jiwa (39,9 persen)
TOTAL 124.105 jiwa 80.895 jiwa (65,18 persen) 43.210 jiwa (34,82 persen)
Sumber: KPU Bontang
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: