Perkembangan teknologi informasi membuat beragam perubahan dalam pola kehidupan manusia. Mulai dari mencari informasi, berbelanja, hingga melakukan kampanye politik. Yang terakhir belakangan sedang marak didapati. Tak heran, tahun politik sebentar lagi.
Pemilu 2019 masih setahun lagi. Akan tetapi partai-partai politik (parpol) peserta pemilu sudah gencar menarik simpati melalui berbagai aksi. Salah satunya dengan mulai berkampanye melalui media sosial (medsos) di ranah siber yang mulai ramai digunakan. Praktis para pegiat medsos pun mulai banyak menerima tawaran pekerjaan mengorbitkan para politisi demi meraih atau mempertahankan posisi.
Salah seorang pegiat medsos, sebut saja HD (32), warga Jakarta yang mencari peruntungannya di Bumi Etam. Latar belakangnya sebagai bagian tim pemenangan salah satu pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur dalam Pemililhan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta seakan jadi daya tarik bagi para politisi untuk merekrutnya sebagai bagian tim pemenangan siber.
Kepada Bontang Post, HD mengaku sudah menggeluti kampanye politik melalui medsos sejak Pemilu 2014 silam. Tepatnya sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) yang mempertemukan Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Kata dia, momen tersebut merupakan awal role model kampanye dunia maya dimulai.
“Profesi ini disebut dengan tim personal branding. Mem-branding seseorang di dunia maya. Apa yang dilakukan? Ya menaikkan citra positif seseorang yang menjadi klien,” HD mulai bertutur.
Sebelum menjadi juru kampanye di medsos, HD terlebih dulu menjalani profesi sebagai kuli tinta. Jaringan yang dimiliki selama berburu berita itulah yang lantas memperkenalkannya pada sisi lain kampanye politik ini. Apalagi HD termasuk orang yang suka bermain sosial media. Waktunya berkomunikasi lebih banyak dihabiskan di dunia maya ketimbang di dunia nyata.
“Setelah itu (Pilpres, Red.) vakum. Tapi kami tetap bermain sosial media. Tujuannya untuk memperbanyak pengikut, untuk kami jadikan investasi perangkat, di kegiatan kampanye berikutnya,” urainya.
Dalam melakukan personal branding, HD mengaku memanfaatkan semua media atau jejaring sosial yang ada. Untuk level nasional, biasanya memainkan semua jenis medsos meliputi facebook, instagram, twitter, youtube, dan web. Tapi jika untuk tingkat lokal seperti gubernur atau wali kota/bupati, menyesuaikan pasar di daerah tersebut terhadap penetrasi potensial netizennya.
“Rata-rata jika lokal, kami hanya mainkan faceboook, instagram, dan twitter. Kalau di luar Pulau Jawa tanpa twitter,” terang HD.
Sementara untuk kampanye di web, materinya diisi konten-konten berita yang ditulis oleh penulis atau wartawan. Namun pemanfaatan web tersebut hanya bila memiliki nilai kontrak yang besar. Apabila nilai kontraknya kecil, biasanya mengandalkan media-media yang sudah lebih dulu ada. “Kami ajak kerja sama dan kami kirim rilis berita,” tambahnya.
HD mengurai, ada beberapa divisi dalam kampanye siber membangun citra politisi. Mulai dari divisi konten kreatif, desain grafis, dan video grafis. Divisi-divisi ini membuat gambar dan video yang menampilkan kegiatan sang bos, sosok politisi yang hendak dinaikkan pamornya. Konten-konten inilah yang lantas diolah oleh parya admin medsosnya.
“Tim medsos ini ada yang nanti memainkan untuk memviralkannya. Menjadikannya trending topic di twitter atau viral di medsos lainnya,” ujar HD.
Untuk menjadikannya viral, admin medsos bersama rekan-rekannya bisa memiliki perangkat-perangkat akun medsos dengan jumlah yang banyak. Inilah yang lantas disebut dengan istilah buzzer. Tim yang bersifat anonim ini merupakan tim pencitraan dengan fokus menaikkan citra positif si bos. Begitu yang seterusnya dilakukan.
“Kami memantau isu-isu strategis yang kira-kira bisa diolah untuk memainkan isu. Yang akhirnya menaikkan citra bos kami. Dalam tiap periode, ini dilaporkan oleh tim khusus si bos, atau presentasi langsung ke bos,” jelas dia.
Jumlah orang dalam tim personal branding ini, sebut HD rata-rata terdiri dari lima sampai sepuluh orang. Untuk di medsos, biasanya menggunakan jaringan relawan atau simpatisan dari si bos tersebut. Tim membuat grup-grup relawan yang menjadi tempat membagikan atau share setiap postingan khususnya yang ditujukan untuk menjadi trending topic.
“Kami share ke grup-grup tersebut. Para relawan dan simpatisan inilah yang membantu kami di dunia maya. Baik memviralkan atau mengonter isu-isu yang menyerang klien kami,” beber HD.
Diakui, dalam perjalanannya kampanye yang dilakukan ada kemungkinan pihak-pihak lain yang menyerang. Misalnya mem-bully atau merundung sang bos. Di sinilah peran tim buzzer yang meladeni serangan-serangan tersebut. Di antaranya dengan membuat meme, baik berupa gambar atau video.
“Hoax itu jalan terakhir, jika tidak ada lagi isu yang bisa dimainkan. Tujuannya tentu naikkan rating, pengikut di sosial media kita,” papar dia.
HD tak memungkiri bila hoax bukan cara yang baik dalam berkampanye. Hal ini sejatinya telah ditegaskan dalam presentasi kerja sama dengan sang bos alias klien dalam menaikan citranya. Branding yang diinginkan tentu sebaik mungkin agar dikenal, disukai, lantas dipilih. Cara-cara baik menyesuaikan dengan karakter sang bos.
“Tentu bos mengintruksikan dengan cara-cara yang baik. Tapi suka tidak suka, ketika kami perang di dunia maya, ngetroll atau disebut berselancar dunia maya, pasti akan ada yang mem-bully. Di sinilah kami akan panas sendiri. Akhirnya kami menyerang,” urai HD.
Serangan kepada pihak-pihak yang kontra ini menurutnya sekadar dilakukan sebagai balasan. Misalnya dengan mencari berita-berita track record atau rekam jejak lawan politik. Dari situ dirapatkan dengan tim untuk merumuskan berita apa yang akan dibuat. Dalam hal ini terdapat aktivis di tim yang rata-rata mengetahui isu-isu politik.
“Di situlah kami kemas sisi negatif lawan politik. Kami sebarkan berita-berita negatifnya. Tujuannya membunuh karakter lawan politik,” sebutnya.
HD menyatakan, hampir semua lawan politik pasti punya rekam jejak negatif. Ketika lawan politik memiliki banyak sisi negatif, maka tim bakal “menggoreng” isu-isu tersebut bergantian. Sementara ketika rekam jejak negatif yang dimiliki jumlahnya sedikit, barulah tim mulai memainkan isu-isu menjurus hoax.
“Kampanye negatif sama hoax beda. Negatif itu kan berita benar tapi menjelekkan seseorang. Kalau hoax itu kan mau jelek ataupun baik beritanya, tetap berita bohong,” terang HD.
Meski disadari hoax tidaklah baik, namun untuk menjatuhkan seseorang atau lawan politik, pihaknya biasa membuat propaganda. Membuat framing dan menggiring opini baik-buruknya. Propaganda yang dimaksud seperti membuat akun-akun yang seakan mendukung lawan politik. Lalu berita hoax baik positif maupun negatif itu disebarluaskan agar viral.
“Ini akan disukai oleh pendukungnya (lawan politik). Tapi kemudian pihak kami menanggapi berita hoax itu dengan mengabarkan berita yang sesungguhnya,” bebernya.
Akibatnya, berita propaganda ini akan menaikkan citra sang bos. Di satu sisi, membunuh karakter lawan politiknya. Setidaknya memunculkan anggapan bahwa lawan politik merupakan penyebar hoax. “Itu contohnya saja,” sambung HD.
Yang menarik, meski terlihat saling bermusuhan dalam “perang siber” antarsesama tim pemenangan, namun HD menyebut hampir tidak ada persinggungan dengan tim lawan di dunia nyata. Pasalnya rata-rata mereka menggunakan akun anonim. Malahan mereka saling mengenal atau setidaknya saling tahu. Bahkan ada juga rekan-rekannya yang bermain “dua kaki” alias juga bekerja untuk klien lainnya.
“Tapi kami kan pragmatis, namanya mencari keuntungan saja. Banyak juga kok teman yang main dua kaki dalam salah satu pilkada atau pemilu. Kalaupun bersinggungan hanya di dunia maya saja,” tuturnya.
Kata HD, sebenarnya tidak perlu memiliki kemampuan khusus untuk menjadi pegiat kampanye siber untuk komoditas politik. Yang terpenting, mesti suka bermain di dunia maya dan melek teknologi. Akan tetapi modal itu saja menurut HD masih kurang. Setidaknya juga harus melek politik. Karena dari sana seseorang bakal tertarik berkampanye politik di dunia maya.
“Kalau teman-teman saya rata-rata memang aktif di dunia maya. Ada yang gamer, warganet, blogger, peretas, youtuber, ada juga penulis, wartawan, dan aktivis. Juga ada yang pintar membuat grafis atau video,” ungkapnya.
Disinggung penghasilan yang diterima dari pekerjaannya ini, HD mengungkap bergantung pada kemampuan kliennya masing-masing. Bagi profesional, personal branding di skala nasional semisal pilpres bayarannya bisa mencapai Rp 1 miliar. Angka ini digelontorkan untuk tim yang dikoordinasikan dengan liason officer (LO) yang dipercaya.
“LO inilah yang dekat dengan orang-orang partai. Kalau level lokal, biasa kami beri harga awal Rp 500 juta. Tapi biasanya setelah ditawar harganya jadi turun Rp 200 juta sampai Rp 300 juta. Tergantung fleksibilitas target tokoh yang kami branding,” papar HD.
Harga tersebut, sambung dia, merupakan proyek yang memiliki masa kontrak misalnya hingga kampanye berakhir. Sementara jika di luar masa kampanye atau masa-masa pemilu, biasanya dibayar bulanan. “Tergantung kemampuan bosnya. Biasanya Rp 3 juta sampai 5 juta per bulan,” lanjutnya.
Lantas bagaimana bila kandidat yang di-branding gagal dalam proses pemilu? HD berucap, sesuai kontrak, sukses atau gagalnya si bos bukan menjadi beban tim untuk disalahkan. Sebab di setiap periode, pihaknya sudah menyampaikan rekam jejak perkembangan di dunia maya. Biasanya, si bos juga tidak menyalahkan tim branding medsos ini.
“Karena kami juga sudah dibayar di depan, biasanya 50 persen. Jika (bos) kalah, ada uang tambahan terima kasihnya walaupun tidak banyak. Tapi kalau berhasil, biasanya kontrak dilanjutkan menjadi pegawai bulanan untuk mem-branding mereka,” jelas HD.
Dipaparkan HD, kampanye melalui medsos terbilang efektif bila diterapkan di Indonesia. Apalagi bila melihat data pengguna medsos di Indonesia yang terbilang besar. Khususnya untuk di kota-kota besar atau metropolitan, kampanye model ini disebutnya sangat efektif.
Bukan sekadar bermanis lidah, HD merujuk pada survei pemilih dengan hasilnya yaitu sebanyak 60 persen pemilih di Indonesia merupakan pemilih gamang atau galau dengan berbagai macam alasannya masing-masing. Untuk bisa mengetuk hati dan mendapatkan simpati para pemilih ini, tidak bisa dengan sekadar memasang spanduk atau mencetak baju-baju kampanye.
“Di sinilah peran kampanye di dunia maya untuk menggaet suara-suara mereka,” tegas dia.
Berkaca dari penyelenggaraan pemilu baik pilkada atau pilpres sebelum-sebelumnya, cukup menunjukkan kampanye di medsos berperan dalam menaikkan citra kandidat. Siapa yang merajai kampanye di dunia maya, terbukti menjadi pemenang dalam pemilu yang digelar. Misalnya kemenangan Jokowi baik dalam Pilkada DKI Jakarta maupun dalam Pilpres 2014.
“Sebelumnya Jokowi merajai medsos. Sama seperti pasangan Anies-Sandi yang merajai kampanye dunia maya saat Pilkada DKI. Dengan buzzer anti Ahoknya, itulah hasilnya (Anis-Sandi menang),” ungkap HD.
Untuk Kaltim pun demikian, menurut HD sudah bisa dibaca siapa yang bakal menjadi pemenang dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2018. Khususnya untuk siapa yang bakal mendapatkan suara terbanyak di kota-kota besar. Konsultan politik, sebut dia, bakal mengincar 60 persen suara pemilih yang menurut survei masih galau dalam menentukan pilihan.
“Karena siapa yang bisa menggaet suara mereka (60 persen pemlih, Red.) sebanyak-banyaknya, dialah pemenangnya. Kalau 40 persen yang sebagian itu kan sudah masuk ke kader, simpatisan, relawan tokoh-tokoh tersebut,” kata dia. “Apalagi yang 60 persen itu juga termasuk di dalamnya pemilih pemula yang belum melek politik. Kira-kira begitu gambarannya,” tambah HD.
Kata HD, biaya untuk kampanye melalui medsos jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan kampanye door to door. Menurut dia, kampanye door to door lekat dengan budaya “wani piro”. Sementara di medsos tidak menggunakan pola 1 suara 1 biaya. Makanya dia menyebut bila kampanye di dunia maya lebih efisien ketimbang di dunia nyata.
“Terus pengikut di dunia maya kan bisa jadi investasi di pertarungan berikutnya. Kalau di dunia nyata harus kita ulang lagi, kasih lagi (kampanye), dan lain sebagainya. Untuk biayanya, saya pikir di medsos itu mahalnya di awal saja. Karena semakin populer orang itu (yang dikampanyekan, Red.), maka akan semakin kecil ongkosnya,” urainya.
Diakui, jasa pegiat kampanye medsos tengah laris manis di momentum pilkada maupun pemilu saat ini. Untuk Pilgub Kaltim 2018, HD mengaku sudah direkrut tim pemenangan salah satu pasangan calon (paslon). Sementara menjelang Pemilu 2019, sudah ada beberapa bakal calon anggota legislatif (caleg) yang memintanya melakukan personal branding.
“Kalau tidak ada momen itu (pilkada/pemilu, Red.), kami biasanya bermain medsos mencari follower, like, atau subscribe. Karena semakin banyak perangkat yang kami miliki, semakin banyak pengikut di akun-akun kami, maka nilai tawar yang kami jual ke calon klien akan lebih tinggi harganya,” beber HD.
Selama mengawal kampanye di medsos, serangkaian suka dan duka telah dirasakan HD. Sukanya jelas, yaitu mendapatkan uang tanpa harus kerja berlelah-lelah atau berpanas-panas di luar seperti orang-orang pada umumnya. Selain itu dia juga memiliki banyak akun yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain, bukan sekadar branding politik.
“Tapi juga bisa untuk branding yang lain-lain. Misalnya perusahaan, online shop, dan lain-lain. Karena memang saya hobi main di dunia maya,” ucapnya.
Sedangkan dukanya yaitu dampak negatif yang dirasakan dalam kepribadiannya. Pasalnya kalau ikut aktif dalam kampanye dunia maya, acap kali dia merasa menjadi seseorang yang berbeda dari karakter asli dirinya.
“Kadang malah suka kebawa-bawa sisi negatifnya, kebenciannya. Itulah yang butuh waktu khusus untuk menormalkan karakter saya seperti sebelumnya,” tandas HD.
Momen politik ini memang banyak diincar bagi para pegiat medsos untuk menawarkan jasa-jasa personal branding layaknya yang dilakukan HD. Data yang dikumpulkan media ini dari tim-tim personal branding kampanye politik, setidaknya ada tiga tahapan personal branding yang dilakukan.
Tahap pertama yaitu pembuatan portal berita berikut materi-materinya yang bersentuhan dengan sosok sang bos. Tahapan ini biasanya dikerjakan selama satu bulan lamanya. Di tahap kedua, yaitu optimasi kampanye dan sosialisasi portal berita terkait berikut isinya. Di tahap ini, mulailah digalakkan penggunaan jejaring social mulai dari facebook, twitter, dan forum.
Tahap ketiga menjadi tahap kerja keras dari tim, karena di tahap ini gencar berpromosi, kampanye, serta aktif di setiap forum dan kolom komentar medsos. Tahapan terakhir ini diikuti dengan evaluasi untuk melihat efektivitas kampanye yang dilakukan. (luk)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: