Oleh: Ufqil Mubin (Wartawan Metro Samarinda)
WAJAHNYA sudah dipenuhi keriput. Tubuhnya sudah meringkik kecil karena termakan usia. Langkahnya tidak lagi sekuat dahulu, kala dia masih muda. Rambutnya sudah dipenuhi uban. Suaranya serak. Walau sudah uzur, ia tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang ayah, mencari nafkah dan membimbing anak-anaknya.
Orang tuanya memberinya nama Mar’i. Laki-laki yang sudah berumur 60 tahun. Sebagaimana kebanyakan penduduk di RT 12 Kelurahan Sei Pinang Luar Kecamatan Samarinda Kota, Mar’i adalah pendatang yang sudah hidup puluhan tahun di bantaran Sungai Karang Mumus. Dia berasal dari Kalimantan Selatan. Beruntung, ia mendapatkan sepetak tanah yang berdekatan dengan jalan raya, sehingga bisa membangun rumah.
Di tanah di atas bantaran sungai Karang Mumus itu, Mar’i membangun rumah. Rumah yang berdinding kayu dan beralas tanah itu sudah reot. Mungkin karena sudah berdiri puluhan tahun silam. Sebagian besar dinding rumah banyak yang bolong. Kayu penutup dinding kebanyakan termakan rayap. Di bagian atap, banyak pula yang sudah bolong. Praktis, setiap kali hujan turun, rintik-rintik hujan menembus seisi rumah.
Mar’i bersama istri dan ketiga anak perempuanya hidup di rumah itu. Rumah ini dilengkapi dengan tiga kamar. Antara lain untuk dapur, ruang utama yang kadang dipakai untuk tidur, dan kios kecil di kamar depan rumah.
Berkat kegigihannya mengumpulkan uang, di depan rumahnya dibuat kios kecil dan depot air minum. Kios yang berukuran 5×6 m2 ini terbilang sempit, hanya ada satu lorong kecil untuk melayani pembeli. Lantainya masih tanah liat, belum dipasang keramik. Barang-barang dagangan seperti pepsodent, mie, rokok, plastik, tepung terigu, dan lain-lain disimpan tidak beraturan. Rak yang ditaruh di ujung kanan kios sudah nampak tua. Sisa-sisa terigu berhamburan.
Setiap hari, Mar’i menjaga kiosnya dan melayani pembeli air minum. Depot air minum yang didirikan beberapa tahun lalu ini sepi pembeli. Pendapatannya setiap hari hanya cukup untuk makan.
Ia memiliki tiga orang anak, antara lain Idah (35), Nurul (30), dan Siah (20). Idah dan Siah pernah mengenyam pendidikan sampai aliyah di sebuah pondok pesantren di Samarinda. Namun belum sempat tamat, mereka berdua diketahui mengidap penyakit stres. Pihak pesantren kemudian mengeluarkan mereka, karena kian hari penyakit mereka tidak tertangani. Karena tak menambung murid yang mengidap penyakit demikian, pihak sekolah kemudian dikembalikan mereka ke orang tuanya.
Setiap hari Idah dan Siah berbicara sendiri. Sesekali, Siah berteriak kencang. Jika tidak diberi obat, ia tidak mau tidur. Bermacam-macam obat diberikan orang tuanya. Mulai dari obat yang berasal dari dokter, sampai ramuan herbal, namun sayang mereka berdua tidak kunjung sembuh.
“Keluarga pernah membawa Idah dan Siah ke rumah sakit jiwa Samarinda. Baru masuk dua hari, dokter menyuruh bapak menjemput mereka. Bilang dokter, rumah sakit tidak mampu mengurus mereka,” kisah Arda (58), sepupu satu Mar’i.
Dengan terpaksa, Mar’i menjemput kedua anaknya. Mereka dirawat di rumah. Bertahun-tahun, Idah dan Siah dirawat dengan penun kasih sayang oleh Mar’i dan Sriwati. Setiap hari, beban semakin bertambah karena mereka harus membeli obat dari rumah sakit.
“Tiap bulan harus nebus obat Rp 200 ribu. Salah satu syarat untuk dapat obat, Siah harus dibawa ke rumah sakit. Jika tidak, dokter tidak mau memberi obat,” kata Arda.
Sesekali Mar’i berusaha memberikan obat tradisional. Walaupun obat herbal, tetap saja membutuhkan biaya. Karena kantong semakin menipis, kebutuhan hidup semakin menggunung, ditambah Mar’i harus menebus obat setiap bulan di rumah sakit, pengobatan dihentikan.
Saban malam habis maghrib, Siah harus diberi obat penenang. Jika tidak, dia tidak akan tidur. Tengah malam ia akan bangun. Dia membaca buku dan menulis. “Idah dan Siah itu bisa membaca dan menulis, karena pernah sekolah sampai aliyah. Bahkan pintar mengaji Alquran,” bebernya.
Oleh karena itu, Idah dan Siah tidak pernah mengganggu orang lain. Mereka terbilang ramah, masih bisa diajak berbicara, bahkan sesekali mereka disuruh Arda dan Mar’i membersihkan rumah.
Ada satu hal yang unik dari Siah. Setiap hari dia meminta uang kepada ayahnya. Uang yang diminta nominalnya harus Rp 2 ribu rupiah. “Kalau dikasih Rp 1.000 atau Rp 5 ribu, dia tidak mau. Setiap hari dia meminta uang sampai sepuluh kali. Uang itu digunakan untuk membeli es dan makanan ringan,” tambah Arda.
Mar’i harus menafkahi enam orang: tiga orang anak, istri, dua orang cucu. Beruntung, dia masih memiliki anak perempuan yang bisa berjualan untuk membantu meringankan beban ekonominya.
Nurul, anaknya yang kedua, setiap hari berjualan di pasar. Dia sudah menikah, memiliki anak kembar. Nurul menikah dengan laki-laki idamannya beberapa tahun yang lalu. Namun setelah dikaruniai dua orang anak, suaminya meninggal dunia.
Tahun lalu, beban mengurus anak tidak terlalu berat. Karena istri Mar’i, Sriwati masih menemaninya. Membantunya mengurus anak-anak dan melayani pembeli di kios kecil di depan rumanya. Namun, beban bertambah kala Sriwati meninggal dunia di pertengahan tahun 2017. Dia meninggalkan dunia yang fana di usia 55 tahun.
“Setelah Sriwati meninggal dunia, saya menikah dengan Mar’i. Suami saya juga sudah meninggal dunia. Kami menikah tiga bulan yang lalu. Salah satu alasan pernikahan ini, supaya saya bisa membantu meringankan beban Mar’i,” tambah Arda.
Arda mengisahkan, dia sengaja datang dari Martapura Kalimantan Selatan, untuk menikah dan mengurus anak-anak Mar’i. Pernikahan ini membawa banyak kemudahan bagi Mar’i karena anak-anak bisa diurus Arda.
“Tapi tetap saja saya tidak bisa membantu keuangan, karena sudah tua. Hanya bisa memasak dan menjaga kios. Harapannya, dengan kondisi begini, pemerintah bisa membantu kami,” harap Arda. (bersambung)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: