Keberadaan PLTU Teluk Kadere kerap dibanggakan. Diklaim menjadi sumber pendapatan daerah. Juga menyerap tenaga kerja. Namun, bagi warga RT 15 Loktunggul yang hidup berdampingan dengan PLTU, kehadiran pabrik itu tak berarti banyak. Mereka tetap hidup dalam gelap.
bontangpost.id – Keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Teluk Kadere di Bontang Lestari laiknya dua sisi mata uang. Di satu sisi, PLTU menjadi kebanggaan sekaligus keuntungan bagi Bontang. Kebanggaan, lantaran kota kecil ini memiliki PLTU yang sanggup memproduksi energi 2×100 megawatt.
Keuntungan, sebab keberadaan industri baru setali tiga uang dengan terbukanya lapangan pekerjaan yang umumnya diikuti efek domino. Semisal pendapatan daerah bertambah, hingga masyarakat yang memiliki daya beli. Namun di sisi lain, keberadaan PLTU justru membuat masyarakat setempat yang sudah di pinggir, makin termarginalkan. Padahal masyarakat telah bermukim jauh sebelum industri bersinggungan dengan kebun dan rumah-rumah kayu mereka. Degradasi lingkungan pun sulit dielakkan dari keberadaan PLTU.
“Beginilah kondisi kami di Loktunggul. Sudah di pinggir posisinya, makin terisolasi karena dihalang PLTU,” ujar Ketua RT 15 Loktunggul, Ahmad Zainal Abidin, Rabu (11/11/2020).
Pria yang berprofesi sebagai pendidik itu tengah menjelaskan soal tugas matematika kepada dua bocah SD di teras rumahnya yang sederhana ketika disambangi bontangpost.id.
Sangat sulit bagi Abidin menjelaskan sumbangsih PLTU kepada masyarakat setempat. Pasalnya, sejak perusahaan itu berdiri, tak ada perubahan berarti yang terjadi di Loktunggul. Padahal mereka bersinggungan langsung dengan PLTU.
Jalan lingkungan di RT 15 Loktunggul tak di aspal sama sekali. Walhasil, ketika hujan mengguyur, jalan tak ubahnya jalur off road. Becek dan mengganggu mobilitas warga.
Tak berhenti di situ. Jaringan listrik PLN dan jaringan air PDAM Tirta Taman pun tak menjangkau kediaman warga. Di RT 15 setidaknya bermukim 72 kepala keluarga (KK) dengan estimasi 235 penduduk.
Kondisi ini cukup kontras. Mengingat PLTU notabene memproduksi energi, salah satunya untuk keperluan listrik. Kendati listrik tersebut tidak bisa langsung di aliri ke warga. Tapi ke PLN, dan PLN yang meneruskan ke masyarakat.
“Biasanya perusahaan ada CSR ke warga. Kalau ini saya rasa masih sangat kurang,” ujarnya.
Untuk keperluan air, warga mengandalkan satu sumur bor. Itu digunakan secukupnya untuk keperluan makan dan mandi. Sementara untuk sumber aliran listrik, warga memanfaatkan energi surya (solar cell). Tapi ini pun bukan tanpa persoalan. Karena sejak Kamis pekan lalu, solar cell rusak. Beberapa warga yang mampu, memanfaatkan generator set (genset) barang beberapa waktu untuk listrik. Sementara mereka yang tidak sanggup secara finansial, harus rela tanpa listrik. Gelap gulita di rumah.
“Ya mau tidak mau. Terpaksa harus gelap-gelapan,” ungkapnya.
Persoalan warga di Loktunggul makin kompleks tatkala kondisi perekonomian mereka ikutan lesu disinyalir akibat PLTU berdiri. Kata Ahmad Zainal Abidin, mayoritas warga berprofesi sebagai nelayan. Hasil tangkapan laut andalan warga ialah rumput laut. Amat sukar menuai rumput laut belakangan ini, apalagi yang berkualitas. Ikan-ikan pun tak kalah sulitnya dijaring. Ini disinyalir akibat limbah pabrik yang dibuang ke laut.
“Dampak lingkungan dari PLTU ini terasa sekali. Hasil laut masyarakat jadi kurang,” tegasnya.
Lanjutnya, warga setempat pun kesulitan menembus bursa persaingan tenaga kerja di PLTU. Ini tak mengherankan, mengingat kualifikasi yang dibutuhkan perusahaan tidak bisa dipenuhi warga.
“SDM di sini kan kurang. Jadi penyerapan tenaga kerja juga tidak maksimal,” ungkapnya.
Zainal bukannya tidak berusaha membawa aspirasi warga. Baik ke perusahaan, dan pemerintah. Upaya ini baru membuahkan hasil. Katanya, sekira dua pekan lalu pemerintah berjanji akan mengaliri warga dengan PLN. Setelah ini, baru jaringan PDAM yang masuk.
“Kalau listrik baru terjawab di tahun ini. Kalau PDAM sih katanya nyusul. Jadi selesai listrik, lanjut PDAM,” tandasnya.
Jawaban Perusahaan
Sementara itu, salah satu perusahaan yang beroperasi di PLTU, PT Chengda angkat bicara terkait program tanggungjawab kepada masyarakat (CSR). PT Chengda melalui humasnya, Agus mengatakan, pihaknya bukan tidak mau menggelontorkan CSR ke Loktunggul. Tapi perusahaan masih menggodok soal itu. Pasalnya, PT Chengda sendiri baru sekitar setahun beroperasi, jadi cukup aneh ketika perusahaan belum menghasilkan apapun, masyarakat sudah menuntut CSR duluan.
“Bukan tidak ada. Tentu ada. Cuma kami kan baru setahunan beroperasi,” kata Agus ketika dihubungi, Kamis (12/11/2020) siang.
Bentuk kepedulian perusahaan kepada masyarakat Loktunggul terbukti, ketika perusahaan tengah berusaha menyiapkan lampu penerangan di jalan lingkungan. Yang membentang sepanjang RT 15 Loktunggul.
Persoalannya, kata Agus, sempat ada kendala lahan. Ketika perusahaan hendak memasang lampu, ada warga setempat yang menggugat. Kemudian permintaan warga agar perusahaan memperbaiki jaringan solar cell mereka. Yang sebelumnya jadi sumber aliran listrik warga.
“Karena kami produksi listrik pikir warga kami bisa langsung alirkan secara gratis ke rumah-rumah mereka. Tidak bisa seperti itu,” kata Agus.
Belum lagi persoalan antara PT Chengda dan PT PLN, selaku operator penyedia layanan listrik publik. Kata Agus PLN ingin perusahaan menanggulangi semua kebutuhan untuk menyambungkan listrik ke Loktunggul. Padahal mestinya itu jadi tanggungan bersama, bukan sepihak saja.
“Cuma masalah ini kan masyarakat tidak tahu. Sudah mulai dikerjakan kok itu jaringan listriknya oleh perusahaan kami,” tandasnya. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: