bontangpost.id – Wacana merelokasi warga yang bermukim dekat PLTU Teluk Kadere mendapat sorotan dari Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang.
Rupang menjelaskan, kata relokasi itu sekadar eufemisme dari tindakan pemerintah yang mencoba mengusir warganya sendiri. Padahal, dari lokasi itulah hak hidup warga berasal. Di sana mereka bermukim. Dan tepat dekat permukiman, ada laut. Tempat warga memperoleh sumber pendapatan sehari-hari dengan menjadi nelayan, dan petani rumput laut.
“Hak-hak warga dirampas. Artinya keberadaan PLTU itu memang penuh konflik,” tegasnya.
Menurutnya, pembangunan PLTU sejak awal memang tak pernah melibatkan partisipasi warga. Harusnya ada dialog awal yang dilakukan. Antara pemerintah, warga dan pengelola PLTU.
“Warga tidak diakui hak vetonya. Harusnya sebelum dibangun, harus ada proses dialog dikedepankan,” tegas Rupang.
Diketahui, terdapat tiga RT dan satu sekolah dasar (SD) yang bermukim dengan jarak 600 meter di belakang areal PLTU. Sedikitnya 30 kepala keluarga (KK) di Lok Tunggul diusulkan untuk direlokasi. Itu dilakukan untuk meminimalisasi dampak dari beroperasinya PLTU Teluk Kadere. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post