bontangpost.id – Berdasarkan laporan Neraca Pendidikan Daerah (NPD) 2020 dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), ada 1.470 siswa di Kalimantan Utara yang tidak naik kelas.
Dari jumlah tersebut rinciannya, jenjang SD (1.008 anak), SMP (293 anak), SMA (83 anak) dan SMK ada 86 pelajar. Menurut Kepala Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Kaltara Jarwoko, seyogianya kegagalan belajar dengan tidak naik kelas harus bisa diantisipasi. Berdasarkan faktornya, rata-rata kasus tidak naik kelas karena siswa tidak mencukupi pertemuan jam belajar.
Menurutnya, satuan pendidikan seharusnya tidak melihat secara general faktor itu. Terlebih di Kaltara, ada anak yang harus mengikuti tradisi orangtua turut pergi berkebun.
“Kalau dihitung persentase tatap muka, anak itu (ikut tradisi berkebun) pasti tidak naik kelas. Harusnya bisa dilakukan pendekatan berbeda,” ujar Jarwoko, belum lama ini.
Satuan pendidikan seyogianya tetap memberikan pelayanan dan kemudahan pendidikan seperti yang dijamin undang-undang. Pemerintah Pusat dan daerah wajib memberikan pelayanan dan kemudahan. Serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu, bagi semua warga negara tanpa diskriminasi.
“Itu ada di Pasal 11 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) kita,” imbuhnya.
Siswa yang memiliki karakteristik khusus di sekolah, harus mendapat pelayanan berbeda. Artinya, tidak perlu lagi menjadikan indikator kenaikan kelas dengan penghitungan prosentase kehadiran pembelajaran tatap muka.
“Sekarang belajar kan tidak harus di sekolah. Bisa dengan melakukan tugas atau belajar berfokus aktivitas pertanian. Khusus anak-anak yang ikut berkebun bersama orangtuanya,” ungkapnya.
Satuan pendidikan dilarang menyajikan pembelajaran yang berfokus pada konten materi pelajaran. Mengingat pemerintah pusat tidak lagi menuntut siswa menguasai teknis materi pelajaran. Melainkan materi pelajaran yang diarahkan membantu tumbuh kembang anak.
Ia juga mengatakan, jika kepentingan dalam pendidikan yang harus diutamakan, peserta didik itu sendiri. Sementara guru, sarana prasana sekolah hingga kurikulum hanya bersifat sebagai alat.
“Jadi jangan terbalik, sekarang kan seolah-olah kurikulum dan pelajaran masih jadi tujuan. Akhirnya peserta didik yang tidak memenuhi, dikorbankan. Itu salah, nggak seperti itu,” tutur Jarwoko.
Dalam UU Sisdiknas Pasal 3, tujuan pendidian nasional untuk mengembangkan potensi peserta didik. Jadi, yang tujuan utama itu. Sedangkan yang lain itu alat. Baik guru, kepala sekolah, sekolah, sarana prasarana dan kurikulum. (*/nnf/uno)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: