JAKARTA– Harapan terbitnya Perppu KPK dipastikan kandas. Presiden Joko Widodo memastikan tidak akan mengeluarkan perppu tersebut.
Jokowi beralasan, pihaknya menghormati proses judicial review (JR) yang diajukan beberapa kelompok masyarakat di Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menilai, tidak sopan jika dirinya mengeluarkan perppu di saat MK sedang menjalankan tugasnya.
”Kita harus menghargai proses-proses seperti itu. Jangan ada orang yang masih berproses uji materi, kemudian langsung ditimpa dengan keputusan lain,” ujarnya di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/11/2019).
Dengan tidak keluarnya perppu, maka UU KPK hasil revisi yang dinilai melemahkan KPK itu tetap berlaku. Untuk itu, presiden segera membentuk Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Jokowi mengaku mulai menjaring masukan untuk mencari sosok yang duduk di Dewas. Dia menargetkan nama-nama Dewas bisa diperoleh pada Desember mendatang. Dengan demikian, pelantikan bisa dilakukan bersamaan dengan pengambilan sumpah pimpinan KPK periode 2019-2023.
“Hal ini sudah tercantum di peraturan peralihan. Pasal 69a,” imbuhnya.
Jokowi mengatakan, Dewas KPK ditunjuk langsung oleh presiden dan tidak melalui pansel. Dia membantah jika pemilihannya berpotensi konflik kepentingan. ”Percayalah, yang terpilih nanti adalah beliau-beliau yang memiliki kredibilitas baik,” imbuhnya.
Keputusan Presiden tidak mengeluarkan Perppu membuat masyarakat sipil kecewa. Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti salah satunya. Tokoh muda yang sempat diundang Jokowi untuk dimintai pandangan terkait Perppu KPK itu menyampaikan, pernyataan presiden sebelumnya sempat membuka harapan untuk menyelamatkan KPK dari UU baru yang melemahkan lembaga antirasuah itu.
”Tentu sekarang sangat kecewa,” kata dia kepada Jawa Pos (induk Bontangpost.id).
Bivitri menyebutkan, para tokoh yang diundang presiden memang sempat pesimistis Perppu KPK bakal terbit. Namun, mereka tetap menunggu dengan harapan besar. ”Jadi, kami mengkalkulasi mungkin presiden nunggu pelantikan,” imbuhnya.
Sampai pelantikan selesai, Perppu KPK tidak kunjung terbit. Mereka pun kembali menunggu sampai kabinet selesai dibentuk. ”Ternyata setelah bentuk kabinet juga tidak ada,” lanjutnya.
Karena itu, beberapa hari lalu mereka mengambil sikap. Rencanaya, sikap tersebut bakal disampaikan besok (3/11). Belum sampai besok, lanjutnya, presiden sudah membuat pernyataan lebih dulu. Menurut Bivitri, tokoh-tokoh yang diundang presiden juga merasa kecewa.
”Karena keberpihakannya bukan kepada rakyat. Tetapi kepada pihak yang tidak mau ada pemberantasan korupsi di Indonesia,” terangnya.
Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar juga menyayangkan sikap presiden. Dia menilai keputusan presiden sudah menunjukkan seberapa besar komitmen terhadap pemberantasan korupsi.
”Maka sejarah akan mencatat pada zaman Presiden Jokowi ini pemberantasan korupsi dilemahkan,” kata dia. Walau masih ada judicial review, dia pesimistis gugatan yang diajukan akan mengubah keadaan.
Sementara itu, sampai kemarin belum ada penindakan terkait kasus baru yang dilakukan KPK sejak undang-undang hasil revisi berlaku. Termasuk operasi tangkap tangan (OTT) yang gencar dilakukan KPK sebelum UU baru diundangkan. Menurut pegawai di kedeputian penindakan KPK, kondisi itu merupakan dampak rancunya UU baru.
“Pimpinan saja ragu (memulai penyidikan baru) apalagi kita (pegawai di bagian penindakan),” kata seorang pegawai Deputi Penindakan KPK yang enggan namanya dipublikasikan. Sama dengan pegawai penindakan yang lain, sumber tersebut juga mengaku hanya melakukan serangkaian kegiatan pemeriksaan saksi. “Kalau geledah belum berani,” ungkapnya.
Pegawai tersebut mengatakan, kondisi KPK saat ini diselimuti ketidakpastian dengan adanya UU baru. Pun, adanya dewan pengawas (dewas) ke depan dinilai belum memberikan jawaban apakah KPK tetap longgar dan bebas menindak semua perkara korupsi. “Karena dewas ini kewenangannya justru melebihi pimpinan,” paparnya.
Dalam UU KPK yang baru, ketentuan soal dewas diatur di Bab VA. Dalam aturan itu, dewas memiliki beberapa fungsi. Diantaranya memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan. Ketentuan itu yang berpotensi menjadi polemik ketika KPK di bawah kendali dewas dan pimpinan. (far/syn/tyo/deb/prokal)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: