Pemimpin boleh berganti, tapi pembangunan harus terus berlanjut. Inilah yang menjadi kunci suksesnya pembangunan di Kota Taman. Sejak era Wali Kota pertama, Sofyan Hasdam yang diteruskan Adi Darma, hingga saat ini dijabat Neni Moerniaeni, pembangunan baik fisik maupun sumber daya manusia (SDM) Bontang terus dilakukan. Besar harapan seluruh elemen masyarakat dapat bekerja bersama pemerintah untuk menyukseskan pembangunan, demi tercapainya Bontang yang Juara, Aktif, Global, dan Optimis (Bontang JAGO).
Pembangunan di Bontang memang relatif cepat sejak berubah status menjadi kotamadya pada 1999. Kehadiran dua perusahaan besar di Kota Taman mempercepat pertumbuhan dan perkembangan di kota yang berpenduduk sekitar 163.326 jiwa.
Semakin banyaknya warga pendatang dari berbagai etnis untuk bekerja makin menguatkan identitas Bontang sebagai daerah pendatang, pun menasbihkan diri sebagai miniatur Indonesia.
Namun, apakah Bontang kini sudah mandiri sejak memutuskan menjadi kotamadya? “Sedang menuju ke arah kemandirian,” kata Neni.
Baginya, fakta Bontang sebagai kota industri berbasis gas dan kondensat memang tak bisa ditutupi. Beragamnya industri mulai gas alam cair, pupuk, dan batu bara di Kota Taman menjadi penyumbang keuangan Bontang.
Tapi, Neni menolak jika dikatakan ketergantungan dengan mereka. Penguatan Bontang sebagai Kota Maritim dan berkebudayaan industri yang bertumpu pada kualitas sumber daya manusia serta lingkungan hidup kini jadi perhatiannya. “Sesuai dengan visi misi saya, Bontang sebagai smart city, green city, dan creative city. Muaranya untuk kesejahteraan rakyat,” jelasnya.
Perjalanan menuju kemandirian itu memang masih panjang. Namun, Pemkot Bontang di tangan Neni dan wakilnya, Basri Rase memastikan sudah berjalan di jalan yang tepat. Untuk memastikan hal tersebut, prioritas utama saat mereka memimpin Bontang adalah keterpenuhan listrik dan air. Menurut Neni, jika listrik dan air sudah terpenuhi, maka pembangunan di Bontang akan berjalan. Kedua hal ini pun merupakan hal mendasar yang dibutuhkan warga. “Coba kita lihat data di PLN (Perusahaan Listrik Negara, Red.), rasio elektrifikasi (tingkat perbandingan jumlah penduduk yang menikmati listrik dengan jumlah total penduduk, Red.) di Bontang sudah mencapai lebih dari seratus persen,” ungkap Neni.
Pun sama dengan air. Kata Neni, sudah lebih dari 90 persen penduduk Bontang memiliki akses air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sisanya, merupakan rumah ataupun perumahan yang baru terbangun. “Bahkan di daerah pesisir akan diterapkan desalinasi (proses pengolahan air laut menjadi air tawar, red.),” tambahnya.
Setelah listrik dan air terpenuhi, investor pun akan berduyun-duyun menyambangi Kota Taman, memberikan investasinya untuk kemajuan Bontang. Neni sudah meminta komitmen dari PLN jika ada investor ingin membangun di Bontang. Perusahaan listrik itupun menyanggupinya. Neni tak ragu mengundang investor datang ke Kota Taman, karena ketersediaan listrik dan air jadi jaminan untuk investor. “Contohnya pembangunan mal. Indikator sebuah daerah maju itu kan salah satunya ada mal yang berdiri,” ujarnya.
Proses perizinan yang dipermudah, diyakini Neni akan mempercepat investor masuk ditengah kondisi daerah yang mengalami defisit anggaran. Proyek seperti NPK Cluster dan kilang minyak menjadi harga mati. Serapan tenaga kerjanya pun diyakini besar, sekitar 7.500 hingga 10 ribu orang akan terserap. “Pembangunan di Bontang kan bisa menimbulkan multiplier effect. Tingkat pengangguran bisa menurun, ekonomi warga juga bisa bergeliat,” kata Neni.
Agar serapan sebesar itu sebagian besar diisi oleh putra daerah Bontang, berbagai pelatihan pun coba digelar. Pun di jenjang perguruan tinggi, kehadiran Sekolah Tinggi Teknologi (Stitek) Bontang dan berbagai perguruan tinggi lain diharap membuka jurusan yang sesuai dengan karakteristik Bontang, sebagai kota industri berbasis gas dan kondensat. “Jangan sampai menjadi penonton di daerah sendiri. Para sarjana ataupun warga Bontang yang sudah bekerja saya harap juga mau menyumbangkan ilmunya untuk kemajuan kota,” pesannya.
Ia tak menampik, semakin pesatnya industri di Kota Taman dapat menimbulkan degradasi lingkungan di kemudian hari. Pembangunan sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) jadi tolok ukur utama, agar pembangunan di Bontang tetap tertata. Pembangunan yang berawasan lingkungan terus digenjot. Ini sudah dibuktikan saat Bontang berhasil meraih Nirwasita Tantra Award 2017 dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (Kemen LHK). Penghargaan ini diberikan kepada kepala daerah yang dinilai bisa merumuskan dan menerapkan kebijakan, serta program kerja berbasis pembangunan yang berkelanjutan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup di daerahnya masing-masing.
Neni berharap, masyarakat membantu pemerintah mewujudkan apa yang dicita-citakan pemerintah. “Bontang sudah 18 tahun, semoga semakin maju,” ucapnya.
Sementara Wakil Wali Kota Basri Rase yang sudah tinggal di Bontang sejak 1996 merasakan perbedaan yang luar biasa dari sisi pembangunan. Sekata dengan Neni, menurutnya, Bontang tidak selamanya akan tergantung dari industri pupuk dan gas yang ada saat ini.
Perlu alternatif industri baru agar mengantisipasi era Bontang pasca gas. “Pengembangan ekowisata, industri di sektor maritim, perikanan, dan kelautan jadi sasaran,” ujar Basri.
Apalagi, di tengah badai defisit yang menerjang di seluruh daerah di Indonesia juga berimbas kepada Kota Taman. Sinergi program dengan pemerintah pusat jadi salah satu jalan. Menggiatkan pembangunan harus terus dilakukan, dari industri hulu sampai hilir. “Saya berharap Bontang menjadi kota maju, mewujudkan Bontang sebagai kota jasa dan industri yang besar,” pungkas Basri. (zul)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: