Tiap hari 14 anak dengan HIV/AIDS bertanya kepada ayah pengasuh: kapan sekolah atau apa sekolah masih libur. Beruntung, relawan tiap sore berdatangan menemani para bocah itu belajar dan bermain. Sepekan sekali para guru dari SD lama mereka juga membantu persiapan menghadapi ujian.
SEPTINA FADIA PUTRI, Solo
TAK terasa 45 menit telah berlalu. Belajar bersama untuk 14 anak di Asrama Yayasan Lentera, Solo, itu pun diakhiri.
”Dua hari tidak masuk (sekolah, Red) saja pasti sudah banyak ketinggalan, apalagi ini sudah lebih dari satu minggu. Banyak materi yang mereka lewatkan,” jelas Siti Nurjanah, salah seorang guru yang turut membimbing 14 anak tersebut, kepada Jawa Pos Radar Solo.
Ke-14 anak itu merupakan anak dengan HIV/AIDS (ADHA). Mereka terpaksa belajar di asrama setelah mendapat penolakan dari para wali murid di tempat mereka bersekolah, SDN Purwotomo, Solo, Jawa Tengah.
Pihak sekolah akhirnya membuat berita acara yang berisi keberatan bahwa para ADHA itu sekolah di sana. Ditandatangani kepala sekolah, komite sekolah, dan perwakilan orang tua siswa.
Sampai saat ini, status 14 siswa tersebut masih digantung pemerintah setempat. Jadilah, selama sepekan tidak bersekolah, ke-14 anak asuh Yayasan Lentera itu hanya berada di asrama. Padahal, ujian tengah semester (UTS) sudah di depan mata.
Kegiatan belajar pada Sabtu lalu (16/2), tepat sepekan setelah mereka tak bersekolah, merupakan inisiatif sejumlah guru dari eks SDN Bumi. Di SD itulah dulu ke-14 murid tersebut bersekolah. Tapi, kemudian sekolah tersebut digabungkan dengan SDN Purwotomo.
Para guru itu, ujar Kepala SDN Purwotomo Karwi, siap mengajar 14 siswa setiap Sabtu sampai mereka dapat sekolah baru. ”Banyak ketinggalan pelajaran, harus kita ulang lagi. Karena memang belajar di rumah dengan sekolah beda,” ujar Karwi.
Ada rencana Pemkot Solo menyebar ke-14 siswa itu ke sembilan sekolah. Tapi, Yunus Prasetyo, pendiri Yayasan Lentera, keberatan.
Sebab, jumlah relawan di yayasannya terbatas. Padahal, yang harus diurusi, termasuk ke-14 siswa tadi, total mencapai 18 anak. Mulai yang balita.
Kendala terbesar di sarana transportasi. ”Relawan kami cuma ada sembilan, tidak bisa semua keluar. Saya harap kalau disebar, di dua atau tiga sekolah saja,” paparnya.
Mayoritas di antara 14 anak itu sudah tak punya orang tua. Atau, kalaupun punya, tak dirawat dengan baik.
Yunus juga tak sependapat jika 14 anak asuhnya itu dibina di homeschooling. ”Kalau hanya homeschooling, dari dulu kami bisa saja. Tinggal mendatangkan guru, kami bayar, selesai,” katanya.
Namun, lanjut dia, hak mereka untuk bersosialisasi juga harus dipenuhi. Dan, itu hanya bisa terjadi jika mereka berkomunikasi dengan teman-teman sebaya di sekolahnya.
”Mereka itu senengnya ora karuan lho kalau sekolah,” ungkapnya.
Selama lebih dari sepekan di rumah saja, sudah tak terhitung berapa kali Yunus dihujani pertanyaan dari 14 anak itu. Kok hari ini tidak sekolah, kapan berangkat sekolah lagi, dan apa sekolahnya masih libur adalah sebagian yang terus ditanyakan kepada Yunus.
Yunus mengaku hanya bisa menahan pedih tiap kali mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. ”Paling saya hanya bisa berkata, sekolah masih libur, sekarang santai dulu,” kata Yunus yang biasa dipanggil ayah oleh para anak asuhnya itu.
Padahal, ADHA punya hak yang sama. Kerahasiaan mereka juga diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
Kalau saja waktu bisa diputar, Yunus tentu berharap tak ada regrouping SDN Bumi ke SDN Purwotomo. Sebab, di sanalah akar persoalannya.
Di SDN Bumi dulu, 14 siswa itu bersekolah dengan tenang serta bermain dan bercanda dengan teman-teman. Termasuk pula bisa bebas jajan.
”Kepala sekolahnya juga mendukung, gurunya baik, lingkungan sekolah sudah pada tahu juga tidak ada masalah. Enak banget di sana, lha kenapa kok ndadak dipindah?” kata Yunus.
Saat ini pun, lanjut Yunus, banyak wali murid eks SDN Bumi yang mengajaknya memprotes penggabungan dengan SDN Purwotomo. Tapi, dia masih menahan diri.
”Serbasalah juga, nanti dikira cari ribut,” katanya.
Kepala Dinas Pendidikan Surakarta Etty Retnowati mengatakan, pihaknya sedang memproses pemindahan ADHA ke sejumlah sekolah di Kecamatan Jebres. ”Kami tidak akan membeberkan teknisnya (pemindahan sekolah ADHA, Red) seperti apa. Sebab, hal itu bersangkutan dengan identitas mereka,” katanya.
Kalau ternyata masih ada penolakan? ”Jalan terakhirnya homeschooling. Mau bagaimana lagi?” katanya.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo turut menyesalkan penolakan terhadap 14 anak tersebut. Sebab, ADHA juga memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan.
”Saya minta orang tua murid yang anaknya ditolak itu segera menghadap wali kota. Pasti tidak akan ditolak, nanti pasti diarahkan,” ujarnya belum lama ini.
Menurut Ganjar, para ADHA itu tak boleh dijauhi. ”Mereka harusnya ditemani. Wong loro kok dibuang,” katanya kepada Jawa Pos Radar Solo.
Ganjar menduga, penolakan tersebut muncul karena kurangnya edukasi terhadap orang tua murid tentang cara pencegahan dan penularan HIV/AIDS. ”Semua wali murid yang menolak diajak duduk bersama. Dijelaskan, apa itu HIV/AIDS, bagaimana cara penularannya, bagaimana cara berkomunikasi dengan mereka, dan sebagainya,” tegasnya.
Beruntung, di tengah ketidakpastian tentang kelanjutan sekolah untuk 14 ADHA itu, tangan-tangan dermawan tak henti terulur. Dalam berbagai bentuk. Termasuk bantuan pengajar.
Tiap sore selalu ada relawan, umumnya mahasiswa, yang datang menemani anak-anak di Yayasan Lentera belajar dan bermain bersama.
Dan, 14 anak itu selalu dengan gembira menyambut mereka yang mau datang menemani. Misalnya, Sabtu lalu itu, dibagi dalam empat kelompok sesuai kelas, mereka belajar dengan antusias.
”Itu yang saya apresiasi dari anak-anak ini. Mereka semangat sekali,” kata Siti Nurjanah. (*/atn/ves/wa/c10/ttg/jpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: