Kreatif. Itulah cara mahasiswa asal Papua yang menimba ilmu di Ternate dalam menggalang dana pembangunan asrama. Mendirikan Kampung Papua di tengah kebun cengkih, yang mendadak jadi ikon baru favorit anak muda Ternate.
ABD YAHYA ABDULLAH, Ternate
Ada yang berbeda dengan perkebunan cengkih milik Mukhtar Adam di RT/RW 07/01 Kelurahan Gambesi, Ternate Selatan. Lahan seluas 1 hektare itu dipenuhi honai, rumah khas Suku Papua. Rumah-rumah berbentuk unik tersebut dibuat dari kayu, dengan atap yang dibuat dari alang-alang.
Di dalam honai, disediakan beragam benda khas Papua, termasuk hiasan kepala yang lengkap dengan bulu-bulu cendrawasihnya. Suasana kebun ini benar-benar mengingatkan pada perkampungan di wilayah Papua. Ditambah dengan adanya puluhan anak muda Suku Papua yang berlalulalang di situ, sekilas orang akan mengira sedang berada di wilayah paling timur Indonesia itu. Benar-benar kental nuansa Suku Papua-nya.
Sejak dua bulan lalu, kebun cengkih milik dosen Ekonomi Universitas Khairun (Unkhair) itu memang sengaja disulap jadi perkampungan Papua. Yang menyulapnya pun para mahasiswa asal Papua yang tengah menimba ilmu di Ternate. ”Baru dikerjakan sekitar dua bulan lalu,” ungkap Elianus Haluk, pengelola Kampung Papua, saat ditemui Malut Post (Jawa Pos Group), Senin (2/1).
Ide membangun Kampung Papua di tengah kebun cengkih itu bermula dari kian bertambahnya mahasiswa asal Papua yang menimba ilmu di Ternate. Karena jumlah mereka yang bertambah banyak, para mahasiswa ini berniat membangun asrama Papua. ”Jumlah kami sudah 60 orang lebih,” tutur Elianus yang saat ini duduk di bangku semester 7 Fakultas Ekonomi Unkhair itu.
Namun mendirikan asrama membutuhkan anggaran yang tak sedikit. Elianus yang masuk ke Unkhair melalui program Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) itu sempat pusing sendiri memikirkan cara mendapatkan dana. ”Akhirnya kami masukkan proposal pembuatan asrama ke pemerintah Papua,” tuturnya.
Tapi persetujuan atas proposal itu tentu butuh waktu. Sembari menunggu respon dari Pemda Papua, Elianus yang dekat dengan Mukhtar iseng-iseng berbincang dengan sang dosen. ”Pak Ota (sapaan karib Mukhtar, Red) tanya ke saya, apakah saya bisa bikin honai? Saya jawab, bisa. Terus Pak Ota bilang bagaimana kalau kita bikin honai di kebun cengkih ini untuk tempat santai, tempat nongkrong, dan ngopi-ngopi,” kisah pemuda asal Suku Dani, Wamena itu.
Tawaran Mukhtar membersitkan gagasan di kepala Elianus. Daripada membuat satu honai, ia lantas mengusulkan membuat banyak sekaligus. Apalagi kebun cengkih keluarga Mukhtar itu memiliki lahan yang luas. ”Kalau buat banyak honai, bisa sekalian kita jadikan kawasan wisata. Sembari menunggu proposal kami diakomodir pemerintah Papua,” kata pemuda tiga bersaudara itu.
Ketika Mukhtar menyetujui ide tersebut, Elianus langsung menggalang teman-temannya sesama mahasiswa rantau Papua untuk menggarap Kampung Wisata itu. Kayu untuk membuat honai diambil dari kebun itu juga, sedangkan alang-alang dibeli dari warga sekitar. ”Uang untuk bangun honai dari Pak Ota juga,” ujar Elianus.
Begitu Kampung Papua dibuka untuk umum, warga mulai ramai mendatangi lokasi tersebut. Promosi lewat media sosial membuat informasi tentang adanya Kampung Papua di tengah kebun cengkih cepat menyebar. Pengunjung, yang sebagian besar adalah anak muda, tak ingin ketinggalan tren kekinian berfoto di depan honai dan mengenakan hiasan khas Papua. Elianus juga ikut menjadi salah satu obyek foto favorit pengunjung. Ia kerap diajak foto bersama para pengunjung.
Maka Kampung Papua berkembang menjadi ikon wisata baru yang murah meriah. Pengunjung yang berfoto di honai hanya ditarik biaya Rp 5 ribu. Jika berfoto mengenakan hiasan-hiasan khas Papua, dikenakan biaya Rp 10 ribu. ”Honainya juga bisa dipakai untuk bersantai, dengan biaya sewa Rp 20 ribu per jam. Uang yang didapat kami kumpulkan untuk tambahan dana pembangunan asrama,” sambung Elianus.
Jumlah pengunjung dalam sehari bisa mencapai hingga 100 orang. Bahkan pada malam tahun baru kemarin, Kampung Papua dipadati pengunjung yang merayakan tahun baru di situ. Malam itu, Elianus dan kawan-kawannya juga menggelar tarian yospan. ”Tiap hari kami bisa dapat uang Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu dari pengunjung,” tutur Elianus.
Tak sekadar mengumpulkan dana asrama, Kampung Papua itu juga dimaksudkan untuk mempererat tali persaudaraan anak-anak Papua dengan anak-anak Maluku Utara (Malut). Elianus dan rekan-rekannya menyadari, Papua dan Malut memiliki keterkaitan sejarah yang amat erat. ”Untuk itu lewat perumahan honai yang dibangun ini, kami berharap dapat saling kenal dan saling silaturahmi dengan pengunjung yang datang,” ujarnya.
Mukhtar yang juga didaulat menjadi penanggungjawab Kampung Papua itu menuturkan, kampung wisata itu sejatinya juga dapat menyatukan seluruh mahasiswa Papua yang tengah merantau di Ternate. “Jadi konsep yang kita bangun di sini adalah tidak membedakan lagi dia dari Papua mana. Tetapi di sini, seluruh masyarakat Papua adalah satu,” katanya sembari berharap kehadiran Kampung Papua ini dapat menarik lebih banyak anak muda Papua untuk menimba ilmu di Ternate.
Tak berhenti sampai di honai saja. Mukhtar berencana menambah rumah-rumah adat Malut ke dalam kebun cengkih tersebut. ”Jadi nanti ada juga rumah adat Tidore, Ternate, Jailolo, dan Bacan yang melambangkan empat kesultanan di Moloku Kie Raha,” tambahnya.
Dengan begitu, Kampung Papua tersebut akan menjadi pencetus berdirinya Kampung Adat yang mencerminkan kedekatan hubungan historis dan psikologis Malut dan Papua. Selain membangun rumah adat secara fisik, Kampung Adat juga bakal dilengkapi dengan gelaran ritual-ritual budaya seperti joko kaha, yakni upacara penyambutan tamu.
”Rumah adat yang akan dibangun juga didesain bisa untuk diinapi, sehingga tamu juga bisa menginap di kebun cengkih ini,” tandas Mukhtar.(tr-05/kai/sad/JPG)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: