Diinjeksi samarium tak membuat pasien kanker jadi lemas dan mengantuk sehingga bisa beraktivitas normal. Sayang belum tersebar merata ke seluruh kota di tanah air.
M. Hilmi Setiawan, Jakarta
TAK ada lagi efek lemas dan kantuk. Nyeri di tulang perlahan-lahan juga menghilang. Dua suntikan berjarak tiga bulan itu benar-benar membuat kondisi badan Evie Diancha Ebling terasa enak.
’’Seperti mendapatkan tenaga baru,’’ kata perempuan 37 tahun itu saat ditemui Jawa Pos di RSCM, Jakarta, kemarin (14/2).
Evie adalah penderita kanker payudara. Dua suntikan yang dia dapat pada April dan Juli 2017 itu adalah injeksi Samarium-153 EDTMP (etilen diamin tetra metil fosfonat). Produk radiofarmaka hasil kerja sama Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) dan Kimia Farma tersebut berguna untuk terapi paliatif penderita kanker.
Nyeri di sekujur tubuh adalah bagian dari palagan seorang penderita kanker payudara seperti Evie. Sejak pertama didiagnosis kanker pada 2014, perempuan asal Palembang, Sumatera Selatan, itu mengaku kerap merasakannya di bagian leher, tulang pinggang, rusuk, bahu, sampai ke tulang kepala.
’’Seperti ditusuk-tusuk,’’ ungkapnya.
Untuk mengurangi rasa sakit itu, dia menggunakan pereda nyeri resep dokter yang mengandung morfin. Tapi, efeknya, dia ketagihan. Hingga tidak bisa beraktivitas.
Bawaannya ngantuk terus. Sampai akhirnya, terapi pereda nyeri dengan obat yang mengandung morfin tersebut dihentikan.
Perempuan 37 tahun itu kemudian dianjurkan dokternya untuk menggunakan terapi dengan samarium untuk menggantikan morfin. Evie tak langsung menerima. Dia mencari informasi dulu dari beberapa literatur. Sebelum akhirnya bersedia menggunakannya.
Widyastuti, peneliti Batan yang terlibat dalam riset samarium sejak awal, menerangkan, penelitian samarium awalnya merupakan proyek dari Badan Atom Dunia (International Atomic Energy Agency) pada 1996–1997. Ketua tim penelitian samarium itu adalah Prof Swasono R. Tamat.
Pada 1997, lanjut perempuan 60 tahun tersebut, penelitian selesai. ’’Di tahun itu juga dikirim ke RS dr Sardjito, Jogjakarta,’’ jelas Widyastuti saat ditemui di Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka (PTTR), kompleks Batan, Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan, Jumat pekan lalu (8/2).
Seiring berkembangnya regulasi perizinan di dunia medis, pada 2008 ada kewajiban mendaftarkan lagi samarium ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Izin edar samarium Batan akhirnya keluar pada 2016.
Setahun berselang, karya Batan itu diedarkan ke sejumlah rumah sakit di Jakarta, Bandung, dan Semarang. Belum di semua kota di tanah air memang. Karena itu, pasien seperti Evie yang berasal dari Palembang harus terbang dulu ke Jakarta.
Menurut Kepala Bidang Teknologi Radiofarmasi, Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka Batan Agus Hariyanto, keputusan pasien kanker menggunakan samarium atau tidak ada di tangan dokter yang menangani. Umumnya, pengguna adalah pasien kanker yang sudah stadium IV.
’’Biasanya mereka pakai morfin dahulu. Baru kalau sudah nyerah, pakai samarium,’’ katanya.
Terapi samarium, kata Evie, lebih untuk menghilangkan rasa nyeri. Efek membunuh sel kankernya sedikit. Sementara itu, untuk kemoterapi, efek membunuh sel kankernya cukup kuat. Sedangkan efek menghilangkan rasa nyerinya sangat kecil. Sehingga kedua terapi tersebut saling melengkapi.
Nah, karena merasa tulangnya sudah tidak nyeri, dia agak meremehkan sel kanker di dalam tubuh. Ternyata, pada Oktober 2018, dia kembali merasakan nyeri pada tulang. Tepatnya di bagian kaki.
’’Kaki saya ngilu lagi. Jalan pincang-pincang,’’ kenangnya.
Setelah diperiksa, ada sel kanker baru yang ditemukan di tulang pangkal paha dan pinggul. Evie pun menjalani terapi samarium yang ketiga seusai melewati serangkaian pemeriksaan.
Injeksi samarium yang ketiga itu dilakukannya pada Jumat pekan lalu di RSCM. Dia ditangani dr Alvita Dewi Siswoyo SpKN MKes. Saat itu Evie mendapat dosis Samarium (Sm-153) EDTMP (etilen diamin tetra metil fosfonat) dengan takaran 50 mCi.
Pembuatan samarium biasanya dimulai pada Jumat sore. Diawali dengan proses radiasi serbuk samarium yang ditempatkan di sebuah batangan besi. Demi keamanan, batangan besi itu dicor.
Proses radiasi yang dilakukan di gedung RSG-GAS itu berlangsung tiga hari. Biasanya, batangan besi berisi samarium yang diradiasi baru diambil Senin. Setelah itu, serbuk samarium yang sudah diradiasi dibuka dari batangan besi untuk kemudian dilarutkan.
Proses pelarutan serbuk samarium yang sudah diradiasi itu dilakukan di ruangan khusus yang disebut hot spot. Pembukaan tabung besi dilakukan oleh sebuah tangan robot. Sampai akhirnya, serbuk samarium itu menjadi zat cair bening.
Setelah itu, baru diberi kandungan EDTMP. Menurut Widyastuti, kandungan EDTMP itulah yang berfungsi membawa kandungan samarium bisa masuk ke dalam tulang penderita kanker.
Karena samarium adalah zat yang mengandung radioaktif, pengemasan dan pengirimannya tidak bisa sembarangan. Meski ampulnya kecil, samarium ditempatkan di sebuah tabung kontainer yang terbuat dari timbal.
Tabung kontainernya seukuran lengan orang dewasa dan bisa digenggam. Tapi, jangan tertipu penampilan. Meskipun terlihat kecil, beratnya mencapai 5–6 kg.
Tim bagian keselamatan kerja dan proteksi radiasi PTRR Batan Fath Priyadi menuturkan, kontainer atau tabung penyimpan samarium siap pakai itu memang dibuat sedemikian rupa demi keamanan. Lapisan timbal yang cukup tebal ditujukan supaya pancaran radiasi tidak keluar dan membahayakan orang di sekitarnya.
Pengiriman juga dilakukan dengan pengawalan tim khusus bagian keselamatan kerja dan proteksi radiasi. ’’Samarium itu kategori II Kuning,’’ katanya.
Bahan radioaktif dengan kategori II Kuning artinya pengangkutannya menggunakan kendaraan dari Batan dengan pengawasan khusus. Jadi, ketika samarium dikirim hingga ke Solo, misalnya, ada tim dari kantor Batan di Serpong yang mengawal.
Agus mencontohkan, Januari lalu Batan mengirim tujuh ampul samarium ke RS dr Karyadi, Semarang. Lalu, bulan ini dikirim lagi lima ampul ke ibu kota Jawa Tengah tersebut.
’’Harga jual per ampul samarium berkisar Rp 3 juta,’’ ujarnya.
Tapi, Evie mengaku pemberian samarium di RSCM tidak dipungut biaya alias gratis. Sebab, ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Layanan tersebut dia dapatkan setelah mendapat rujukan dari dokter di Palembang.
Sampai saat ini, inovasi membuat samarium belum dipatenkan peneliti di Batan. Namun, Agus mengaku tidak terlau khawatir.
Sebab, samarium adalah produk yang diproses dengan radiasi nuklir. Sehingga di Indonesia hampir dipastikan tidak ada fasilitas yang bisa membuat samarium selain di Batan.
Meskipun saat ini Batan sudah bekerja sama dengan Kimia Farma, tetap saja produksi samarium dilakukan di kantor Batan. Sampai sekarang, Kimia Farma belum membuka pabrik khusus yang bisa digunakan untuk memproduksi samarium.
Sekali suntik, efek samarium bisa awet sampai minimal tiga bulan. Hanya, yang menjadi harapan pasien seperti Evie adalah persebarannya bisa lebih merata ke seluruh tanah air.
Agar lebih banyak orang-orang yang senasib dengan Evie bisa merasakan bagaimana nikmatnya tubuh yang tak ditusuk-tusuk rasa nyeri.
’’Bisa beraktivitas normal di rumah itu sebuah kemewahan bagi pasien kanker,’’ ungkapnya. (*/c5/ttg/jpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post