bontangpost.id – Meski Covid-19 masih merebak, bahkan kasus harian meninggi karena varian Omicron, pemerintah mengklaim ekonomi RI telah membaik seperti sebelum pandemi. Bahkan, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, ekonomi Indonesia pulih hanya dalam kurun lima kuartal.
”Ini adalah suatu pemulihan yang cukup cepat. Hanya lima kuartal, kita sudah kembali ke GDP sebelum terjadi musibah Covid-19,’’ ujarnya seusai sidang kabinet paripurna kemarin (16/2).
Produk domestik bruto (PDB) riil Indonesia disebut telah mencapai lebih dari level prapandemi. Posisi PDB riil Indonesia saat ini adalah 101,5 atau di atas level sebelum pandemi, yakni 100.
Menurut Ani, sapaan Sri Mulyani, masih banyak negara tetangga di kawasan ASEAN maupun negara berkembang lain yang perekonomiannya belum mencapai ke level prapandemi. ”Banyak negara tetangga kita di ASEAN maupun emerging country di dunia yang belum mencapai pre-Covid level. Bahkan, mereka GDP-nya masih ada di sekitar 94–97 persen,’’ tambahnya.
Ani menuturkan, pemulihan ekonomi terlihat dari sisi supply maupun demand yang meningkat. Selain itu, kinerja ekspor berperan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan terdorong pula oleh pemulihan global.
Dalam kesempatan sebelumnya, Menkeu menyebutkan bahwa pemulihan ekonomi RI yang pesat ditopang oleh penerapan kebijakan fiskal. Yakni, dengan menggelontorkan sekitar USD 45,9 juta atau 23,6 persen dari total belanja 2021 untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Selanjutnya, kata dia, lokomotif pertumbuhan ekonomi 2023 akan didominasi konsumsi, investasi, dan ekspor. Konsumsi diproyeksi kembali tumbuh 5,1 persen setelah melambat menjadi hanya 2 persen sepanjang 2021.
Kemudian, investasi ditargetkan tumbuh hingga 6,1 persen. Melesat dari 2021 yang hanya 3,8 persen. Sementara itu, ekspor diperkirakan tidak akan setinggi tahun lalu atau menjadi 6,7 persen. ’’Kita akan melihat bahwa komposisi pertumbuhan ekonomi ini didorong oleh industri manufaktur yang diharapkan bisa tumbuh di atas GDP kita, yakni 5,3–5,8 persen dan perdagangan 4,9–5,5 persen,’’ jelas Ani.
Bendahara negara itu melanjutkan, pemerintah akan menempuh kebijakan ekonomi makro pada 2023 untuk mendorong pemulihan yang tidak hanya bergantung pada APBN. Tetapi, juga non-APBN. ”Peran dari non-APBN menjadi penting. Konsumsi, investasi, dan ekspor kenaikannya cukup tinggi dan juga yang berasal dari institusi keuangan seperti perbankan,’’ imbuh mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto menambahkan, dalam sidang kabinet disepakati pertumbuhan ekonomi pada 2023 berkisar 5,3 hingga 5,9 persen. Di sisi pengeluaran, target pertumbuhan ekonomi tersebut berasal dari konsumsi dan investasi. Besarannya sekitar 5 persen dan 6 persen. Lalu, ekspor di kisaran 6 sampai 7 persen.”Selevel dengan angka sebelum pandemi Covid-19,” ujarnya.
Airlangga mengatakan, penetapan target pertumbuhan ekonomi yang dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo didasari sejumlah pertimbangan. Mulai ketidakpastian terkait pandemi Covid-19, kasus inflasi global di sejumlah negara, hingga normalisasi kebijakan moneter. ”Di tahun 2023 diperkirakan pertumbuhan ekonomi akan lebih rendah dibandingkan 2022,” ungkapnya. Oleh karena itu, kata dia, dibutuhkan sumber-sumber pembiayaan baru.
Sementara itu, belanja pemerintah diprioritaskan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Dia mencontohkan transformasi kesehatan, kualitas pendidikan, dan reformasi perlindungan sosial. Juga, akselerasi dari infrastruktur, revitalisasi industri, reformasi birokrasi, dan ekonomi hijau.
Dari sisi suplai, pemerintah akan mengandalkan sektor industri pengolahan, perdagangan, informasi dan komunikasi, penyediaan akomodasi dan makan-minum, serta pertanian. ”Ini yang menjadi tantangan untuk dikembalikan pada pertumbuhan sektor industri pengolahan di atas pertumbuhan ekonomi, yaitu 5,3 hingga 5,9 persen,” ucap Airlangga.
Ketua umum Partai Golkar itu juga menyampaikan bahwa untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi pada tahun depan, diperlukan berbagai reformasi struktural dan kebijakan. Hal itu bertujuan untuk mendorong sektor investasi ataupun mesin pertumbuhan di luar APBN.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengungkapkan, Presiden Joko Widodo telah memaparkan sejumlah target prioritas pada 2023. Salah satunya, percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. Pemerintah ingin menghapus kemiskinan ekstrem mencapai nol sampai 1 persen pada 2024.
Program penghapusan kemiskinan ekstrem tersebut dimulai sejak 2021 dan akan dilanjutkan pada 2022, 2023, hingga 2024. ”Artinya, tahun 2023 kita harus menurunkan kemiskinan ekstrem dari 2,5 sampai 3 juta penduduk,’’ kata Suharso.
Sementara itu, dalam pandangan ekonom Bhima Yudhistira Adhinegara, pemulihan ekonomi belum kembali ke level prapandemi. Sebab, pertumbuhan ekonomi tidak merata di semua sektor. ”Ada sektor transportasi, akomodasi, perhotelan yang saat ini masih tertekan. Terlebih di tengah ledakan kasus Omicron,’’ ujarnya kepada Jawa Pos.
Sementara itu, belanja pemerintah diprioritaskan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Dia mencontohkan transformasi kesehatan, kualitas pendidikan, dan reformasi perlindungan sosial. Juga, akselerasi dari infrastruktur, revitalisasi industri, reformasi birokrasi, dan ekonomi hijau.
Dari sisi suplai, pemerintah akan mengandalkan sektor industri pengolahan, perdagangan, informasi dan komunikasi, penyediaan akomodasi dan makan-minum, serta pertanian. ”Ini yang menjadi tantangan untuk dikembalikan pada pertumbuhan sektor industri pengolahan di atas pertumbuhan ekonomi, yaitu 5,3 hingga 5,9 persen,” ucap Airlangga.
Ketua umum Partai Golkar itu juga menyampaikan bahwa untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi pada tahun depan, diperlukan berbagai reformasi struktural dan kebijakan. Hal itu bertujuan untuk mendorong sektor investasi ataupun mesin pertumbuhan di luar APBN.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengungkapkan, Presiden Joko Widodo telah memaparkan sejumlah target prioritas pada 2023. Salah satunya, percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. Pemerintah ingin menghapus kemiskinan ekstrem mencapai nol sampai 1 persen pada 2024.
Program penghapusan kemiskinan ekstrem tersebut dimulai sejak 2021 dan akan dilanjutkan pada 2022, 2023, hingga 2024. ”Artinya, tahun 2023 kita harus menurunkan kemiskinan ekstrem dari 2,5 sampai 3 juta penduduk,’’ kata Suharso.
Sementara itu, dalam pandangan ekonom Bhima Yudhistira Adhinegara, pemulihan ekonomi belum kembali ke level prapandemi. Sebab, pertumbuhan ekonomi tidak merata di semua sektor. ”Ada sektor transportasi, akomodasi, perhotelan yang saat ini masih tertekan. Terlebih di tengah ledakan kasus Omicron,’’. (jawapos)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post