“Saking seringnya itu debu masuk ke rumah, sampai anak saya yang laki-laki suka bilang “mak, hari ini kita sarapan debu lagi kah,” kata Ariani berusaha berguyon, meski ada nada miris dalam suaranya.
FITRI WAHYUNINGSIH
KABUT belum sepenuhnya luntur dari langit. Di luar masih ada sisa-sisa embun yang menempel di ilalang. Tapi Ariani sudah disibukkan dengan perangkat bebersih rumah: sapu dan pel. Membersihkan sisa debu batu bara. Yang kehitaman itu. Yang mengepung di dalam rumahnya. Apalagi teras. Semuanya.
Debu batu bara yang menempel tak bisa sekadar disapu begitu saja. Mesti dipel. Agar enyah betul dari lantai. Untuk hilangkan lengketnya. Kendati bebersih agaknya jadi kerja yang bikin capek sendiri, pun menjengkelkan. Tapi warga punya pilihan apa? Bersihkan, atau berkawan debu.
“Bersihkan debu duluan, siapkan sarapan belakangan,” kata Ariani ketika disambangi di kediamannya, Jumat (12/3/2021) siang.
Ariani adalah warga RT 15, Lok Tunggul, Kelurahan Bontang Lestari, Kecamatan Bontang Selatan. Kala disambangi di kediamannya, bertanya soal dampak industri terhadap warga, dia membukanya dengan nada satire: sarapan debu. Sebab itulah paling terasa dialami, meski ada serentetan dampak lain dirasakan.
Keluarga Ariani sudah “sarapan debu” sejak setahun belakangan. Saban hari. Saban waktu, partikel hitam itu memenuhi teras. Bahkan menyeruak masuk ke dalam rumah ketika hembusan angin sedang kuat-kuatnya.
Dalam sehari, bisa 7 kali dia menyapu rumah. Hilangkan debu yang menempel di lantai. Mau pagi, siang, sore malam, menyapu terus. Bahkan ketika hendak istirahat malam. Kembali menyapu.
“Masak kami mau tidur sama debu. Ya terpaksa nyapu lagi,” katanya, getir.
Ini tak mengherankan, sebab kediaman perempuan 45 tahun ini berada di samping tumpukan batu bara milik PLTU Teluk Kadere. Tak sampai 50 meter.
Ia bukan penampungan kecil. Tapi penampungan raksasa. Panjang penampungan sekitar 100 meter. Di sana batu bara disimpan. Tidak dalam jumlah kecil, namun melimpah. Dari luar, ia menumbuk bak gunung.
Sementara di sisi kanan rumahnya, dalam jarak sekitar 120 meter, terlihat konvenyor. Juga memuat baru bara dari pelabuhan menuju penampungan. Depan dan sisi kanan rumah Ariani praktis dikepung si bongkahan emas hitam.
Kondisi menyedihkan ini bermula ketika PLTU yang sanggup memproduksi energi 2×100 megawatt (MW) itu beroperasi sejak Maret 2020 lalu. Baru setahun, aktivitas industri berdampak nyata bagi kelangsungan hidup warga setempat. Yang mendiami kawasan Lok Tunggul jauh sebelum pabrik berdiri.
Cerita keganasan debu batu bara PLTU tak berhenti di situ. Ariani berkisah, ada satu momen ketika putranya hendak makan siang. Merasa makan di dalam rumah terlalu panas, maka piring nasi sang putra dibawa ke teras. Maunya makan sembari nikmati hawa sejuk. Ketika ditinggal sebentar untuk ambil air di dapur, sang putra kaget melihat nasi di piring sudah berdebu kehitaman.
“Daripada makan racun, terpaksa makanan di piring itu dibuang. Padahal masih banyak,” beber perempuan berkulit sawo matang ini.
Hal miris lain namun lucu. Ketika sebagian besar warga yang rumahnya “bertetangga” dengan PLTU harus menutup pintu rumah rapat-rapat. Penyebabnya satu, ditutup saja debu batu bara merangsek masuk rumah, terlebih bila dibiarkan terbuka.
“Rumah kami di sini ditutup semua pintunya. Kelihatan kayak orang sekke’ (pelit). Tapi kalau buka, ya masuk debu. Capek sudah kami ini menyapu terus,” sesalnya.
Cerita lebih kurang serupa dituturkan Ketua RT 15 Lok Tunggul, Ahmad Zainal Abidin. Dia bilang kalau debu batu bara dari penampungan PLTU beterbangan hingga ke rumahnya. Padahal jarak antara kediamannya dan penampungan sekitar 350 meter.
Satu waktu dia mengerjakan tugas sekolah di teras rumah. Dia tinggal sebentar untuk mengambil beberapa berkas yang tertinggal di kamar. Dalam tempo beberapa menit saja, tugas sekolah yang ditaruh di meja teras langsung berdebu. Kehitaman dan lengket.
“Saya kira itu debu rokok. Enggak lama saya duduk kerjakan tugas lagi, kok berdebu lagi. Oh, ternyata itu debu batu bara yang terbang,” beber pria yang juga berprofesi sebagai guru di SDN 014 Lok Tunggul ini.
Zainal mengaku beberapa kali dia dibantu beberapa warga mengadukan persoalan lingkungan akibat keberadaan PLTU. Bahkan hingga ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim. Namun tidak ada kejelasan diberikan. Walhasil, hingga kini warga terpaksa hidup berbaur dengan hembusan angin bercampur debu batu bara.
“Kami rakyat kecil bisa apa?” ucapnya lirih.
Sementara, Humas PT Graha Power Kaltim Agus irit bicara. Dia mengatakan, seluruh operasional PLTU jelas selaras dengan aturan. Utamanya soal lingkungan. Sebabnya bila ada dampak lingkungan nyata dihasilkan dari keberadaan PLTU, sebutnya, Pemkot Bontang pasti langsung memberi teguran.
Lebih jauh, Agus tak dapat merinci soal kapasitas batu bara yang dibongkar muat dari pelabuhan, atau yang disimpan di penampungan. Pun tak tahu besaran batu bara yang dibakar saban harinya di PLTU. Yang jelas, kata dia, semua sesuai aturan. Misalnya soal pengelolaan fly ash and buttom ash (FABA). Itu tidak ditampung atau dibuang sembarang. Tapi dikirim ke perusahaan semen yang terletak di Sulawesi Selatan.
“Kalau ada dampak, pasti langsung Pemkot Bontang yang tindak,” katanya ketika dikonfirmasi, Rabu (17/3/2021) siang. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: