ISU money politic atau politik uang bukan hal baru dalam penyelenggaraan pemilu dari masa ke masa. Malahan seakan sudah identik menyertai setiap masa kampanye menjelang pemungutan suara. Hal ini dibenarkan Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Bontang, Agus Susanto. Kata dia, isu-isu pemberian uang atau sejenisnya agar menjatuhkan pilihan pada sosok tertentu kerap didapati panwaslu.
Dia mengurai, praktik politik uang termasuk dalam pidana pemilu. Sebelumnya pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2015 lalu, praktik politik uang telah dilarang dengan dasarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Namun undang-undang tersebut sebatas melarang, tanpa memberikan sanksi yang tegas. Barulah setelah direvisi menjadi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, sanksi atas praktik ini mulai dituangkan dalam undang-undang. “Sebelumnya sanksi untuk pemberi dan penerima tidak ada. Jadi kalau kami menemukan pelanggaran itu (politik uang, Red.), pasti tidak bisa dijerat pidana,” kisah Agus.
Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tepatnya di pasal 187A, diatur bahwa setiap orang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan untuk mempengaruhi pemilih untuk menggunakan hak pilih dengan cara tertentu, bisa dikenakan pidana.
Hukumannya terbilang berat, yaitu penjara dengan masa paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan. Serta denda sedikitnya Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar. Sanksi ditujukan untuk pelanggaran pasal 73 ayat 4 undang-undang yang sama, yang menyebut setiap orang dilarang melakukan praktik politik uang. Pidana sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud undang-undang tersebut.
“Jadi bukan hanya tim kampanye atau pasangan calon saja, semua orang juga bisa kena pasal ini. Sekarang tinggal pembuktiannya saja. Kalau ada yang bisa memberikan informasi atau ada temuan pengawas, tentu akan kami proses dengan pasal ini,” beber Agus.
Dalam memproses pelaporan politik uang, pengawas setidaknya membutuhkan dua bukti yang cukup. Baik bukti berupa dua orang saksi dan alat bukti lainnya berupa rekaman atau video yang bisa memperkuat dugaan pidana pemilu. Dalam pelaporannya dibatasi waktu selama tujuh hari sejak ditemukannya pelanggaran.
Setelah masa pelaporan, Panwaslu memiliki waktu paling lama lima hari untuk pemeriksaan. Dalam masa lima hari itu, harus diputuskan status laporan dan temuan politik uang yang diselidiki. “Nah, kalau sudah lewat masanya ya kedaluwarsa, tidak bisa diproses karena harus ada syarat formal dan materiel,” tambahnya.
Yang menjadi permasalahan dalam pengungkapan politik uang ini yaitu keengganan warga untuk menjadi saksi. Salah satunya karena khawatir bisa ikut terjerat hukum, mengingat saksi bisa saja merupakan pihak yang menerima uang. Sementara pihak penerima uang bisa juga dijerat sanksi politik uang.
Namun begitu dalam pembuktiannya nanti melihat kembali pada pembahasan bersama di Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang terdiri dari Panwaslu, kepolisian, dan kejaksaan. “Nanti akan dilihat apakah saksi sengaja menerima atau bertujuan menjebak,” sambung Agus.
Saksi, menurut dia, bisa siapa saja yang mengetahui praktik politik uang. Bisa warga yang melihat, mendengar, atau yang terlibat langsung dalam praktik haram tersebut. Keberadaan saksi ini nantinya turut membantu dalam pengungkapan politik uang, misalnya menunjukkan kepada pengawas siapa dan di mana lokasi kejadian. Tentu saja, ujar Agus, saksi ini akan mendapat perlindungan.
Kembali ke proses pengungkapan, Gakkumdu nantinya akan melakukan pembahasan untuk menentukan pasal-pasal yang dikenakan sehingga suatu laporan layak diproses atau tidak. Setelah dianggap layak, barulah ditingkatkan ke penyidikan dengan kasusnya dilimpahkan ke kepolisian. “Nah, kepolisian punya waktu 14 hari untuk itu (penyidikan, Red.),” kata dia.
Bukan hanya uang, politik uang juga bisa berbentuk imbalan-imbalan lainnya. Misalnya menjanjikan umrah dan juga door prize. Aturan yang ada saat ini menurut Agus terbilang ketat. Karena kini bentuk-bentuk pemberian selama masa kampanye begitu dibatasi. Untuk lomba saja, dibatasi sebanyak dua kali dengan hadiah tak boleh melebihi Rp 1 juta.
“Sebenarnya proses pilkada sekarang itu sudah tidak memberikan peluang untuk melakukan itu (politik uang, Red.). Kalau dulu dalam rapat umum tim kampanye bisa memberikan door prize, sekarang tidak bisa. Karena pembagian-pembagian seperti itu membuat masyarakat menjadi berharap ada pembagian dari calon,” jelas Agus.
Berkaca dari pengalaman pemilu sebelumnya, pria yang pernah menjadi kuli tinta ini menyatakan potensi praktik politik uang di Bontang tetap ada. Mengulas ke belakang, dalam pilkada 2015 lalu ada dua laporan yang masuk ke Panwaslu Bontang. Satu di antaranya telah memenuhi unsur politik uang yaitu adanya pihak yang menjanjikan umrah. Namun karena saat itu sanksinya tidak ada, maka tidak bisa dilanjutkan.
“Ada rekamannya, ada buktinya, tapi sanksinya tidak ada. Sebelumnya politik uang ini masuk pidana umum, bukan masuk pidana pemilu. Kalau pidana umum itu prosesnya bisa lebih lama lagi,” kata dia.
Menurut Agus, kendala dalam pengungkapan politik uang sejauh ini kurang memenuhinya saksi, bukti, dan pelapor. Pasalnya dalam memproses setiap dugaan pelanggaraan pemilu, ada standar operating procedure (SOP) pelaporan yang mesti terpenuhi terlebih dulu sebelum bisa diregistrasikan. Apabila SOP ini tidak terpenuhi, maka tidak bisa dilanjutkan.
Dalam rangka mencegah praktik terlarang ini, Panwaslu bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) senantiasa mengingatkan masyarakat melalui sosialisasi-sosialisasi yang dilakukan. Masyarakat diingatkan bahwa baik pihak pemberi dan penerima bisa sama-sama dijerat sanksi pidana apabila benar terbukti melakukan praktik ini.
“Kami jelaskan pelanggarannya itu berat. Jadi untuk apa dikorbankan Rp 100 ribu atau Rp 300 ribu, tapi ujung-ujungnya nanti bermasalah dan dendanya malah berlipat-lipat. Bayangkan, terimanya cuma Rp 200 ribu tapi malah didenda Rp 200 juta,” imbau Agus.
Dia menerangkan, politik uang sejatinya adalah kejahatan politik. Praktik ini semestinya sudah tidak laku lagi di masyarakat yang sudah berpikiran intelek dan berpikir ke depan. Namun di kalangan masyarakat menengah ke bawah, masih ada yang berpikiran memilih karena ada uangnya. Faktor ekonomi seakan menjadi pembenaran untuk menerima praktik ini.
“Karena kebutuhan dan tingkat kemiskinan. Maka sudah menjadi tugas pemerintah bagaimana menyejahterakan masyarakat, sementara kami membantu menyosialisasikan,” sebut dia. Panwaslu dalam hal ini terus melakukan pengawasan terutama di akhir masa-masa kampanye. Karena biasanya di hari-hari terakhir atau masa tenang itu ada pembagian uang yang populer dengan istilah “serangan fajar”.
Kata Agus, semakin banyaknya aturan dan sanksi-sanksi pelanggaran bisa semakin menekan ongkos politik yang dikeluarkan. Sehingga ketika nantinya mereka terpilih, tidak berpikir lagi untuk korupsi. Karena dengan semakin banyak ongkos politik yang dikeluarkan, akan berpikir bagaimana mengembalikannya kelak.
“Dengan tidak menggunakan politik uang, ongkos politik bisa ditekan. Sehingga calon bisa lebih pada menawarkan visi dan misi,” ungkapnya.
Sementara dalam proses kampanye yang tengah berjalan saat ini, Panwaslu beserta jajarannya masih belum menemukan adanya dugaan politik uang. Namun sudah ada beberapa laporan dan temuan, di antaranya terkait keterlibatan aparatur sipil negara (ASN) serta adanya kampanye di luar jadwal.
“Jumlah pengawas yang kami miliki terbatas. Karena itu kami selalu mengampanyekan pengawasan partisipatif yang melibatkan semua pihak,” tandas Agus.
SEPERTI BUANG ANGIN
Sementara itu Ketua KPU Bontang Suardi mengatakan, potensi politik uang bisa terjadi di mana-mana bukan hanya di Kaltim. Untuk itu selaku penyelenggara pemilu, KPU berharap jangan sampai terjadi politik uang dalam masa kampanye pilgub maupun Pemilu 2019 mendatang. Menurut dia, praktik politik uang merusak proses demokrasi bangsa.
“Politik uang itu merusak. Seharusnya memilih karena menganggap paslon yang dipilih memang pantas untuk dipilih. Agar membawa masyarakat ke arah yang lebih baik. Tapi ketika orang memilih karena uang, maka dia akan mengesampingkan hal itu,” jelasnya.
Dengan begitu, urai Suardi, lima tahun ke depan akan menjadi tidak ada artinya bagi mereka yang memilih atas pertimbangan uang. Karena sang pemilih sudah mendapatkan ganjarannya terlebih dulu berupa uang yang akan habis seketika. Bila hal ini jamak terjadi, maka akan sulit mengharapkan terciptanya pemerintahan yang lebih baik.
“Jadi kami berharap itu (politik uang, Red.) jangan sampai menjadi dasar bagi pemilih untuk kemudian memberikan hak pilihnya,” tutur Suardi.
Menurut dia, seharusnya warga menggunakan hak pilih dengan melihat program masing-masing paslon. Di antaranya dengan menelusuri rekam jejaknya seperti apa selama ini. Terutama program dan visi misi yang ditawarkan semasa kampanye, terkait apa saja yang akan dilakukan ketika terpilih. “Itulah yang harusnya jadi patokan,” tegasnya.
Bicara politik uang, menurut Suardi merupakan hal yang rumit. Berdasarkan informasi dan penuturan orang, praktik tersebut ada di tengah masyarakat. Namun begitu sulit dalam pembuktiannya. Tetapi dengan regulasi sekarang yang semakin ketat, dia berharap para pengawas pemilu di antaranya Panwaslu bisa semakin maksimal dalam mengawasi dan menindak setiap pelanggaran yang ada.
“Politik uang ini tidak ada yang bisa diproses, tapi orang selalu cerita kalau itu ada. Sehingga kata orang-orang di Panwaslu, politik uang itu seperti buang angin, ada baunya tapi tidak bisa dilihat,” sebut Suardi.
“RACUN” YANG MASIH LAKU
Prof Sarosa Hamungpranoto, pengamat hukum dan sosial politik Universitas Mulawarman menuturkan, dalam kondisi saat ini politik uang diperkirakan masih akan laku “menjerat” para pemilih. Hal ini disebabkan masyarakat telah terpola dari kebiasaan yang lalu setiap kali pemilu. Hal ini bisa dilihat dari masih adanya warga yang menanyakannya ketika kampanye bergulir.
“Ini sangat berbahaya. Kebiasaan ini mestinya sudah harus hilang,” ujar guru besar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda ini.
Kata Sarosa, politik uang paling rawan terjadi dalam momen pemilu, termasuk pilgub. Hal ini menurutnya sulit dihindari mengingat paslon maupun parpol pasti akan berusaha mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. Cara yang paling gampang di antaranya dengan “serangan fajar” dan sejenisnya.
Bila praktik seperti ini diteruskan, akan membahayakan bagi pendidikan politik masyarakat ke depannya. Karena masyarakat sudah tidak objektif dalam menentukan pilihan. Bukan karena figur-figur, visi-misi, atau program-program kerjanya, melainkan memilih karena uangnya.
“Masyarakat sudah diarahkan ke pemikiran yang tidak objektif, untuk hal-hal berkaitan materi,” tutur Sarosa. “Ini berbahaya apalagi kalau dilakukan kepada pemilih pemula, anak-anak muda yang baru pertama kali memilih. Ini akan jadi racun, demokrasi akan terganggu,” sambungnya.
Pekerjaan rumah yang mesti dilakukan saat ini menurut Sarosa, yaitu bagaimana membawa pemikiran masyarakat menjadi objektif dan lebih rasional. Jangan karena masalah uang, sehingga mempengaruhi sikap dari masyarakat itu sendiri. Karena sikap masyarakat itu akan berubah bila ada sesuatu yang memang dianggap menguntungkan.
Untuk itu dia menyebut, masing-masing pihak harus menyadari dan menganggap politik uang sebagai masalah yang serius. Termasuk dari paslon dan partai politik yang mengusung agar jangan sekadar berlomba-lomba memburu suara, melainkan juga harus memiliki tanggung jawab.
“Artinya jangan sampai merusak sikap dan perilaku masyarakat dengan melakukan politik uang,” jelas Sarosa.
Menurutnya, para penyelenggara pemilu mesti bekerja ekstra dalam menekan politik uang ini. Dalam hal ini kembali ke peraturan dan perundang-undangan apakah politik uang ini bisa dijerat hukum atau tidak. Hal ini memerlukan suatu pengawasan dan kerja keras yang luar biasa bila menginginkan pemilu bisa berjalan benar-benar bersih dan berwibawa.
“Dari penyelenggara pemilu berikut jajaran-jajarannya, apakah KPU atau Panwaslu, harus secara tertib melaksanakan tugasnya dengan baik. Ini kan sebenarnya bisa saja dimonitor. Kerja sama antara penyelenggara pemilu dengan aparat penegak hukum itu sangat penting,” tegas dia.
Sementara itu Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bontang, Imam Hambali menegaskan, praktik politik uang hukumnya haram dalam agama Islam. Karena memberikan uang dengan tujuan meluluskan keinginan, dalam hal ini mempengaruhi pilihan warga, bisa disamakan dengan praktik suap. Sementara agama secara jelas melarang hal ini.
“Hukumnya haram. Karena tujuannya supaya memilih calon-calon tertentu. Itu sama dengan menyogok, tidak boleh,” kata Imam.
Berbeda bila pemberian uang dilakukan setelah calon terpilih, maka hukumnya boleh-boleh saja. “Kalau setelah terpilih lalu memberikan uang sebagai bentuk syukuran, tidak apa-apa,” pungkasnya. (luk)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: