bontangpost.id – Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Kaltim menolak perampasan tanah dan pembongkaran paksa rumah warga Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara (PPU). Desakan itu untuk merespons surat Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) pada 4 Maret 2024.
Surat yang diterbitkan deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN bernomor 179/DPP/OIKN/III/2024 itu, meminta warga membongkar bangunan dalam waktu 7 hari sejak surat diterima.
Otorita IKN berdalih, permukiman warga di Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, tidak sesuai dengan tata ruang yang diatur pada Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Perencanaan (WP) IKN.
Dalam keterangannya kemarin (13/3), Dinamisator JATAM Kaltim Mareta Sari menerangkan, dasar pembongkaran paksa bangunan masyarakat lokal dan masyarakat adat adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Nusantara.
Menurutnya, produk hukum ini dibuat tanpa melibatkan masyarakat sebagai pemilik sah wilayah. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 65 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengamanahkan untuk melibatkan masyarakat dalam penataan ruang. Yang meliputi perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Tanpa pelibatan masyarakat lokal dan masyarakat adat, lanjut dia, menyebabkan tata ruang tidak menjadi alat menyejahterakan masyarakat. Namun justru menjadi ancaman hilangnya hak-hak masyarakat.
“Itu membuat keresahan yang luar biasa. Sehingga dugaan kami, membuat Otorita IKN meminta kepada para undangan mengembalikan surat dan lampirannya karena kegelisahan yang terjadi di masyarakat,” ujar dia.
Mareta melanjutkan, pemerintah lupa jika negara pada hakikatnya wajib bertindak atas nama kepentingan rakyat, bukan kepentingan para pemodal, apalagi sekadar obsesi pemindahan IKN.
“Ada satu warga sudah tinggal sejak tahun 1993. Dan kalau dianggap bangunannya illegal, rumahnya jauh lebih tua dari bangunan di atas 2019 yang berhubungan dengan pembangunan IKN sejak ditetapkan. Itu satu warga yang kami temui. Mungkin kalau bangunan baru bisa jadi, tapi bangunan mereka jauh lebih lama,” katanya.
Selain itu, ada bukti lain yang ditemukannya di Kelurahan Pemaluan. Masyarakat tidak punya sertifikat karena mau mengurus sertifikat, sudah ditetapkan menjadi IKN. Ada pula yang mengurus Sertifikat Hak Milik (SHM), namun hanya diberikan Sertifikat Hak Pakai (SHP).
“Hanya boleh memakai, tidak boleh memiliki. Karena sejak dulu mereka mengusahakan kehidupan dari berkebun dan berladang. Ketika mau mengajukan sertifikat ternyata menghadapi kendala. Jadi masyarakatnya memang dibuat bingung,” jelasnya.
Sementara itu, Herdiansyah Hamzah, perwakilan dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mengatakan, ancaman Otorita IKN yang secara tiba-tiba hendak mengusir warga Pemaluan dengan dalih pembangunan ibu kota, jelas adalah bentuk tindakan abusive pemerintah.
Dia menyebut tindakan ini memperlihatkan wajah asli kekuasaan yang gemar menggusur dan mengambil alih tanah rakyat atas nama pembangunan.
“Mengingatkan kita dengan rezim orde baru yang represif dan menghalalkan segala cara. Warga negara diusir paksa dan memberikan perlakukan istimewa kepada investor. Apa yang dilakukan Otorita IKN menggambarkan bagaimana situasi hari-hari belakangan ini. Negara melalui pemerintah sangat kencang memaksakan proses pembangunan. Apa yang kita sebut Proyek Strategis Nasional (PSN),” katanya.
Selain itu, tindakan tersebut adalah bentuk intimidasi yang menyebar teror dan ketakutan kepada warga. Sama persis yang dilakukan terhadap Wadas, Rempang, Poco Leok, Air Bangis, dan lainnya.
Dikatakan pria yang akrab disapa Castro itu, upaya pembongkaran paksa dan paksaan terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk meninggalkan tanah leluhur yang menjadi ruang hidup mereka, merupakan bentuk pelanggaran hak masyarakat lokal dan masyarakat adat atas hak hidup, hak atas ruang hidup, hak perlindungan atas kepemilikan atas tanah dan hak atas pemukiman warga.
“Sama persis. Di mana negara tidak lagi merepresentasikan rakyat banyak. Tetapi negara lebih mencerminkan lebih mewakili kepentingan investasi para pemodal. Dibanding warga negaranya sendiri,” kata dosen hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman itu.
Dia menyayangkan sikap Otorita IKN yang menyudutkan warga. Seolah-olah yang tidak punya sertifikat dianggap tidak memiliki akses. “Kami menganggap yang dilakukan Otorita IKN dengan mengirimkan surat kepada ratusan warga untuk membongkar rumahnya itu adalah semacam bentuk menebar terror, ketakutan, dan bentuk intimidasi,” tuding dia.
Selain itu, dia juga menganggap surat tersebut hanya mengecek sejauh mana resistensi dan penolakan warga. Kalau kemudian penolakan itu cukup resisten atau cukup tinggi, maka kemungkinan akan ada upaya lain. Tidak lagi pengumpulan warga secara pengelompokan massal. Namun dilakukan satu per satu.
“Kami merasa bahwa surat itu sebenarnya hanya menunda-nunda saja. Proses eksekusi terhadap upaya paksa pembongkaran rumah-rumah warga itu. Substansi pokoknya adalah bagaimana pun, upaya untuk meminta warga angkat kaki dari tanahnya sendiri. Pembongkaran terhadap rumah-rumah warga itu pasti akan dilakukan. Hanya soal waktu saja,” terangnya. (kip/riz)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post