Pengembangan kawasan Bandara VVIP IKN mengancam eksistensi kampung tua di Teluk Balikpapan. Salah satunya ancaman penggusuran Kampung Jenebora. Kampung Jenebora diyakini merupakan cikal bakal berdirinya Kota Balikpapan. Masyarakat di sana sudah eksis jauh sebelum Indonesia merdeka.
SARI
PRIA lanjut usia tampak telaten menganyam potongan-potongan bambu di teras rumah kayu. Hawa panas menyengat membuatnya hanya mengenakan sarung dan bertelanjang dada.
Ia tampak asik merakit bilah bambu yang sebelumnya telah diraut dengan sebilah pisau khusus. Tangan keriput itu tampak terampil seolah menunjukkan tingkat kemahirannya merakit bambu menjadi bubu.
Sosok itu adalah Belli. Dia merupakan salah satu orang yang dituakan di Kelurahan Jenebora, Penajam Paser Utara. Bubu yang ia buat merupakan pesanan jirannya. Satu bubu setinggi sekira 2 meter dihargai Rp150 ribu.
“Aktivitas ini (membuat bubu) sudah turun temurun dari zaman nenek moyang,” katanya saat ditemui di kediamannya, Rabu, 25 September 2024.
Pria 80an tahun ini merupakan generasi ketiga yang menetap di kampung pesisir Teluk Balikpapan. Keluarga besarnya sejak dulu menggantungkan hidupnya di laut. Belli sendiri adalah nelayan belat dan bubu. Hasil tangkapannya untuk dikonsumsi sendiri. Jika berlebih, dijual ke sekitar Jenebora.
“Karena dari lahir tinggal di laut, jadi kalau makan enggak ada ikan ya gak bisa makan,” akunya.
Belli tinggal di Jenebora sejak belia. Pun hingga memiliki cicit, seluruh keluarganya tetap memilih tinggal di kampung nelayan itu. Artinya, keluarga Belli telah mendiami pesisir Teluk Balikpapan selama enam generasi.
Warga RT 10, Kelurahan Jenebora ini menjelaskan, Teluk Balikpapan dihuni tiga kampung nelayan. Yakni Jenebora, Pantai Lango, dan Gersik. Di antara ketiganya, Jenebora menjadi kampung nelayan paling tua. Nelayan terbanyak juga berada di Kampung Jenebora, dengan rata-rata di antaranya bersuku Bugis dan Bajo. Praktis, warga di Jenebora sehari-hari banyak menghabiskan waktunya di laut. Untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Namun, hidup mereka kini terusik. Rasa waswas menghampiri. Keberadaan Bandara Very Very Important Person (VVIP) Ibu Kota Nusantara (IKN) menjadi penyebabnya. Bandara yang berada di Pantai Lango itu diperluas. Disusul dengan berbagai rencana pembangunan untuk menunjang keberadaannya. Jenebora pun turut terdampak, yang membuat warga akan direlokasi.
“Kabarnya begitu (bakal direlokasi), tapi benar apa tidaknya gak tahu. Semoga saja tidak benar ya (kabar relokasi),” jelas Belli.
Kabar relokasi yang mencuat di kalangan warga pesisir Teluk Balikpapan bermula dari pernyataan Penjabat (Pj) Bupati Penajam Paser Utara (PPU), Makmur Marbun pada Juni lalu. Kepada awak media, Makmur membenarkan rencana relokasi warga yang terdampak pengembangan kawasan bandara. Terutama untuk pengembangan Eco City yang akan dibangun sebagai penunjang berjalannya Bandara VVIP IKN. “Iya direlokasi untuk yang masuk kawasan pengembangan,” kata Makmur dikutip dari Media Indonesia.
Bandara itu akan memiliki luas terminal 7.350 m2. Sementara runway bandara sepanjang 3.000 meter dan lebar 45 meter. Sehingga dapat didarati pesawat berbadan besar seperti tipe Boeing 777-3000ER dan Airbus A380.
Awalnya, Bandara VVIP IKN ditetapkan seluas 347,0336 hektare. Namun, pada tahun ini bertambah menjadi 621,0016 hektare.
Perubahan luasan Bandara VVIP ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) KM 23/2024 tentang Perubahan atas Kepmenhub KM 125/2023 tentang Penetapan Lokasi Bandar Udara VVIP di Kabupaten PPU, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Kepmenhub ini ditandatangani Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi pada 18 Maret 2024.
Makmur mengatakan, karena perluasan itu maka ada lima kelurahan yang bakal direlokasi. Yakni, Kelurahan Jenebora, Pantai Lango, Gersik, Maridan dan Riko. Relokasi tidak hanya diperuntukkan bagi warga yang bermukim di wilayah daratan saja, namun juga untuk warga pesisir. Rencananya relokasi bakal dipusatkan di wilayah daratan. Tidak hanya direlokasi, warga yang terdampak juga bakal diberikan unit usaha.
Pernyataan Makmur itu diperkuat dengan pengakuan Kepala Badan Bank Tanah, Parman Nataatmadja pada akhir Juni lalu. Kepada awak media, Parman mengungkapkan bahwa pemerintah telah menyiapkan lahan seluas 1.750 hektare untuk merelokasi nelayan di Kampung Jenebora. Nantinya warga di kampung nelayan Jenebora bakal mendapatkan hak relokasi secara gratis dan menempati lahan tersebut selama 10 tahun.
Tidak hanya itu, Badan Bank Tanah juga akan bekerja sama dengan lembaga lain untuk memberikan pelatihan kepada para nelayan yang terdampak. Tujuannya untuk mengurangi ketimpangan sosial setelah mereka dipindahkan ke tempat yang baru.
Menanggapi itu, Belli menyebut, jika bisa memilih, tentu ia akan meminta agar Kampung Jenebora yang sudah ditempati sejak zaman nenek moyangnya tidak dipindahkan. Dia kadung nyaman dan mampu bertahan hidup dengan kondisi lingkungan sekitar. Banyaknya kenangan suka dan duka yang sudah dilalui semasa hidupnya tinggal di kampung atas air ini juga menjadi alasannya.
“Sedih kalau sampai pindah karena sudah lama tinggal di sini. Ada keterikatan khusus lah (dengan Kampung Jenebora),” terang ayah anak tujuh ini.
Setali tiga uang dengan sang ayah, Salma, anak pertama Belli, juga berharap agar kabar relokasi yang beberapa bulan terakhir santer terdengar hanyalah bualan semata. Perempuan yang sudah memiliki 10 cucu ini mengaku sulit untuk pindah karena banyaknya anggota keluarga yang hidup berdampingan di Jenebora.
“Kalau dipindah takut rumah yang diberikan pemerintah tidak cukup untuk menampung kami semua,” katanya dengan nada bergetar.
Perempuan 52 tahun ini mengaku, meski kini menjadi tulang punggung keluarga dan beralih profesi sebagai biduan pasca sang suami menderita stroke. Namun, ia tetap merasa nyaman hidup dengan anak dan cucunya di kampung nelayan Jenebora. Belum lagi, keberadaan para warga di Kampung Jenebora yang juga sudah dianggapnya sebagai keluarga.
“Hidup di sini tenang. Kalau pindah kami harus menyesuaikan lagi (dengan lingkungan sekitar). Buat habis energi,” lirihnya.
Diakui Salma, meski kabar relokasi sudah bergulir, namun hingga kini belum ada sosialisasi dari pemerintah terkait wacana tersebut. Hal ini pun membuat ia dan keluarganya semakin gundah. Mereka khawatir jika suatu waktu tiba-tiba terusir tanpa adanya pemberitahuan.
“Bahkan keluarga saya di Pantai Lango sudah menangis semua, mereka bingung bakal tinggal di mana kalau dipindahkan,” ujarnya dengan berurai air mata.
Kabar soal wacana pemerintah merelokasi kampung pesisir di Teluk Balikpapan juga sampai ke telinga Mansur. Warga RT 3, Kelurahan Jenebora ini mengaku mendengarnya dari warga sekitar.
Meski sempat kesal dengan wacana itu, namun Mansur mengaku tak bisa berbuat apa-apa. Selain menunggu kepastian akan kebenaran relokasi itu.
Mansur adalah salah satu warga Jenebora yang berprofesi sebagai nelayan. Sehari-hari pria kelahiran 1979 ini menangkap ikan dengan cara memancing. Tinggal di Jenebora sejak lahir, membuat Mansur menolak rencana relokasi yang digaungkan oleh pemerintah.
Menurutnya, relokasi yang ditawarkan pemerintah akan mempersulit hidup warga Jenebora yang sudah terbiasa hidup di pesisir. Belum lagi, warga Jenebora harus memulai kehidupan dari nol jika dipindahkan ke daratan.
“Karena di sini mayoritas penduduknya pelaut, kalau pindah ke daratan kan bingung bertahan hidupnya,” jelasnya menggebu.
Pun soal kabar pemberian bantuan unit usaha bagi warga terdampak pembangunan IKN, dikatakan Mansur akan sulit dijalani oleh warga pesisir. Ini lantaran mayoritas penduduk wilayah pesisir di Teluk Balikpapan tidak memiliki kemampuan dalam berwirausaha. “Yang ada nanti habis saja modal usahanya. Kalang kabut lagi mencari penghasilan,” paparnya sambil tertawa getir.
Kendati demikian, ayah tiga anak ini mengaku sedikit lega lantaran hingga kini belum ada sosialisasi yang digelar pemerintah terkait rencana relokasi itu. Hal ini pun menjadi salah satu alasan baginya untuk mempercayai jika relokasi itu hanya sebuah kabar semata.
“Ya semoga tidak tiba-tiba saja (direlokasi),” ucapnya sembari memandang ke arah laut.
Mansur mengaku semakin tahun kondisi di Teluk Balikpapan semakin memprihatinkan. Selain proyek ambisius IKN, sederet industri minyak, batu bara, CPO, hingga kimia yang beroperasi di Teluk Balikpapan turut menyumbang menurunnya hasil tangkapan nelayan. Padahal sebelum itu, Teluk Balikpapan disebutnya merupakan wilayah perairan yang strategis.
Teluk Balikpapan memiliki luas daerah aliran sungai sekitar 211.456 hektare, sementara luas perairan sekitar 160 km2. Terdapat 22 pulau kecil, terumbu karang, padang lamun, dan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan ekosistemnya terjamin. Lingkungan yang baik itu turut menjadi tempat tinggal satwa yang dilindungi, seperti bekantan, dugong, pesut dan penyu hijau.
Perubahan kondisi yang paling dirasakan oleh Mansur sebagai nelayan tradisional adalah sulitnya mencari ikan. Mansur mengisahkan sebelum IKN ditetapkan dan berbagai perusahaan beroperasi di Teluk Balikpapan, dirinya hanya cukup memancing di pinggiran laut.
Dalam sehari memancing Mansur mampu mengumpulkan ikan kakap hingga sepuluh kilogram. Hasil tangkapannya kemudian dijual ke pengepul dengan harga Rp50 ribu per kilogram. Namun, setelah Teluk Balikpapan diserbu berbagai industri dan IKN, kini hasil tangkapannya menurun drastis. “Sekarang satu ekor kakap saja sulit sekali dicari,” ujarnya.
Akibat sulitnya mendapatkan ikan di sekitar pemukiman, kata Mansur, para nelayan di pesisir Teluk Balikpapan pun terpaksa mencari ikan lebih jauh. Bahkan hingga ke Selat Makassar. Namun, ancaman keselamatan seperti gelombang dan arus, membuat sebagian di antaranya lebih memilih untuk beralih metode dalam mencari ikan.
“Kayak saya ini, dari nelayan pancing sekarang beralih menggunakan jaring,” terangnya.
Diakui Mansur, penghasilan yang diperoleh dari nelayan jaring jauh berbeda saat ia menekuni profesi nelayan dengan metode pancing. Sebab hasil dari metode jaring bukan ikan kakap melainkan ikan jenis lain, sehingga harga jual di pasaran juga menjadi jauh lebih kecil.
Kendati demikian, Mansur tetap bersyukur karena dapat memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. “Karena hasil jaring itu ikan belanak (Crenimugil), harga jualnya cuma Rp20 ribu per kilogramnya,” ungkapnya.
Di tengah kondisi perekonomian yang sulit dan kondisi Teluk Balikpapan yang mulai banyak berubah, Mansur berharap agar wacana relokasi itu benar hanya gosip semata. Pun, jika hal itu benar adanya, dia berharap agar pemerintah dapat mengkaji ulang rencana tersebut.
Hilangnya Memori Sosial
Terik matahari yang sebelumnya menyelimuti Kampung Jenebora mendadak berganti dengan kumpulan awan hitam. Rintik hujan perlahan jatuh dan membasahi setiap sudut kampung nelayan ini. Di satu sudut kampung, tampak seorang perempuan paruh baya sibuk mengamankan ebi yang dihampar di atas jaring.
Dibantu sang suami, perempuan bernama Sapiah ini terburu-buru memindahkan kumpulan udang setengah kering itu ke tempat yang terlindung, agar tidak terkena hujan. Bukan tanpa sebab, ebi itu baru saja dijemur. Rencananya, jika sudah kering ebi digunakan sebagai bahan utama pembuatan terasi.
Perempuan 40 tahun ini menyebut, ebi yang dijemur itu merupakan udang ebi (Acetes sp) pertama yang berhasil diperoleh suaminya setelah melaut selama tiga bulan terakhir. Praktis, udang itu sangat berharga baginya sebagai sumber penghasilan tambahan keluarganya.
“Alhamdulillah, akhirnya bisa dapat ebi lagi setelah sekian lama,” katanya riang saat ditemui di rumahnya.
Sapiah menjelaskan, saat ini udang sangat sulit ditemui. Kondisi perairan Teluk Balikpapan yang kini banyak dilintasi kapal berukuran besar imbas aktivitas industri minyak dan batu bara, serta ditambah dengan keberadaan IKN, menjadi salah satu penyebabnya. Lantaran udang cenderung menyebar ketika terganggu dengan getaran kapal.
Sapiah membandingkan kondisi sebelum adanya industri dan IKN di Teluk Balikpapan, dalam sehari melaut suaminya bisa memperoleh udang hingga tujuh karung. Jika sudah menjadi ebi, mampu mencapai angka 25 kilogram. Pun lokasi melaut tak terlalu jauh dari tempat tinggalnya.
“Dulu carinya di sekitaran Jembatan Pulau Balang, sekarang ya cari di tempat-tempat yang belum ada proyek perusahaan,” jelasnya sembari menautkan kedua tangannya.
Sapiah menjelaskan, suaminya kerap dilarang mencari ikan di sekitar dermaga perusahaan yang beroperasi di Teluk Balikpapan. Padahal, beberapa wilayah yang kaya ikan dan udang berada di dekat area perusahaan.
Pihak perusahaan berdalih, larangan itu sudah sesuai dengan aturan yang ada. Larangan itu tidak hanya berlaku untuk suami Sapiah, namun juga bagi nelayan lainnya.
Bersama sang adik, Maimunah, Sapiah membuat terasi rumah tangga untuk kemudian di jual di sekitaran Kampung Jenebora dan Balikpapan. Satu keping terasi dipatok Rp12 ribu. Harga itu jauh lebih mahal dari sebelumnya yang hanya berkisar Rp8 ribu per keping. Kenaikan harga itu terpaksa dilakukan lantaran sulitnya mencari bahan baku.
Mereka juga menaikkan harga ebi. Semula mereka menjajakan Rp40 ribu sekilo. “Tapi karena baru dapat lagi (udang ebi) setelah tiga bulan ini, ya belum tahu bakal dikenakan berapa (harganya),” terangnya.
Baik Sapiah maupun Maimunah sama-sama memilih menjadi pembuat dan penjual terasi untuk membantu suami dalam mencukupi kebutuhan ekonomi mereka. Pasalnya, jika hanya mengandalkan hasil tangkapan ikan yang diperoleh suami, tidak cukup untuk membiayai kebutuhan keluarga mereka. Terlebih dengan kondisi saat ini yang cukup sulit dalam mencari ikan.
Ibarat pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga” keadaan keluarga Sapiah dan Maimunah semakin tak karuan setelah munculnya kabar relokasi. “Kami ada dengar tapi saya gak terlalu paham, yang paham itu adik saya, Maimunah,” ujar Sapiah seraya menatap Maimunah yang duduk di sampingnya.
Meski mengaku tidak terlalu paham soal kabar tersebut, namun besar harapan Sapiah agar hal itu tidak terjadi. Mengingat banyak hal yang harus dia korbankan jika terpaksa pergi meninggalkan Kampung Jenebora.
Diungkapkan Sapiah, meski lahir di Penajam, namun ia sudah mendiami kampung nelayan ini sejak usia lima tahun. Sedangkan sang adik sudah sejak lahir tinggal di Jenebora. Di Jenebora pun hampir seluruh keluarganya tinggal berdekatan. Ia dan sang adik tinggal di satu RT, yakni RT 3.
“Banyak kenangan yang sulit buat dilupakan semenjak tinggal di Jenebora,” ujar Sapiah seraya tersenyum simpul.
Senada dengan sang kakak, Maimunah juga berharap hal yang sama. Penduduk Jenebora tidak direlokasi.
Maimunah mengaku, informasi soal wacana relokasi Jenebora diperolehnya dari tim asal Jakarta yang berkunjung ke kampung mereka sekitar tiga bulan lalu. Kala itu, salah satu anggota tim menyampaikan kepada beberapa warga soal dampak yang bakal terjadi di Jenebora buntut pengembangan kawasan Bandara VVIP IKN.
Kendati demikian, Maimunah mengaku tidak mengetahui pasti asal instansi tim dari Jakarta itu. Pun status mereka, apakah merupakan perwakilan pemerintah atau pihak swasta yang ada keterkaitannya dengan pembangunan IKN.
“Waktu itu mereka (tim dari Jakarta) cuma bilang lihat di berita kalau Jenebora bakal terdampak, jadi mereka datang langsung buat lihat situasinya,” terangnya.
Maimunah menyebut, merelokasi warga pesisir ke wilayah daratan bukan solusi terbaik. Selain, warga yang harus belajar untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, keahlian mencari penghasilan otomatis juga berubah.
Menurutnya, jika direlokasi ke daratan, warga Jenebora yang sebelumnya berprofesi sebagai nelayan harus berganti profesi menjadi seorang petani dan pelaku UMKM. Hal ini dikhawatirkan menjadi bumerang karena ketidakmampuan warga pesisir untuk memulai kehidupan baru dengan keahlian yang terbatas.
“Takut gak bisa bertahan (hidup). Mau bertani tapi nanti gak berhasil pertaniannya karena keahliannya sejak dulu melaut,” tuturnya.
Maimunah juga mengaku sedih jika tidak bisa lagi melakukan kebiasaan sehari-harinya, jalan-jalan di jembatan pelabuhan Jenebora untuk menikmati pemandangan laut saat sore hari.
Aktivitas itu, dikatakan Maimunah merupakan terapi baginya untuk melepas penat dan lelah setelah seharian sibuk mengurus rumah dan berjualan. “Kalau pindah (direlokasi) kebiasaan itu kayak angin lalu, tidak bisa diulang lagi,” lirihnya.
Didominasi Nelayan Tradisional
Wacana relokasi kampung Jenebora dampak pengembangan kawasan Bandara VVIP IKN diklaim Sekretaris Lurah Jenebora, Elly Herlina, belum sampai ke pihaknya. Termasuk soal sosialisasi juga belum pernah digelar.
“Belum ada sih (sosialisasi soal rencana relokasi). Kabar soal itu (wacana relokasi) saja saya baru dengar,” ungkapnya saat dikonfirmasi, Selasa, 1 Oktober 2024.
Kampung nelayan di Jenebora, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur berdiri di Teluk Balikpapan. Perlu sekitar 20 menit untuk sampai di kampung itu menggunakan speedboat dari Pelabuhan Penyeberangan Kelotok, Kampung Baru Tengah, Balikpapan Barat, Kota Balikpapan.
Sementara dari kampung nelayan Jenebora menuju ke lokasi pembangunan Bandara VVIP IKN membutuhkan waktu sekitar 30 menit jika menggunakan jalur darat. Sedangkan jika menggunakan jalur laut hanya membutuhkan waktu sekira 20 menit.
Penduduk Jenebora sebagian besar mendirikan hunian di atas air. Data kelurahan menyebutkan, per Juli 2024, Jenebora dihuni 3.298 jiwa dengan 1.056 kepala keluarga (KK). Rinciannya 1.735 berjenis kelamin laki-laki dan 1.563 berjenis kelamin perempuan.
Dari jumlah tersebut 60 persen di antaranya merupakan warga yang berprofesi sebagai nelayan. “Kalau berdasarkan data usia produktif, jumlah nelayan mencapai 33 persen,” terangnya.
Warga kampung yang bermata pencaharian sebagai nelayan umumnya tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB) yang totalnya mencapai puluhan. Kendati demikian, KUB di Jenebora berkategori hasil tangkapan, bukan budidaya.
Elly menyebut, Jenebora memiliki luasan 2.104,47 hektare yang terbagi menjadi dua wilayah. Ada yang di laut dan ada yang bermukim di daratan. Dengan jumlah rukun tetangga (RT) sebanyak 13. Khusus di kampung nelayan, jumlahnya mencapai 5 RT, yakni RT 1,2,3,10 dan 13.
Selain menjadi nelayan, beberapa warga yang bermukim di Jenebora juga ada yang bekerja sebagai petani dan pekebun dengan total 20 orang. “Sedangkan buruh tani dan perkebunan ada 3 orang saja,” paparnya.
Sementara itu, berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan PPU, jumlah nelayan di pesisir Teluk Balikpapan mencapai angka 422 orang. Rinciannya, 235 nelayan di Jenebora, 166 nelayan di Pantai Lango dan 21 nelayan di Gersik.
Mayoritas mereka adalah nelayan tradisional dengan alat tangkap ikan yang juga masih sederhana. Wilayah tangkapan mereka juga terbilang kecil, karena rata-rata nelayan di pesisir Teluk Balikpapan menggunakan kapal ukuran 3 Gross Ton (GT).
“Namun, hasil tangkapan mereka cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari,” kata Plt Kepala Bidang Perikanan Tangkap dan Perizinan DKP PPU, Lomo Sabani saat dikonfirmasi, Rabu, 2 Oktober 2024.
Diungkapkan Lomo, kepiting rajungan sampai saat ini masih menjadi primadona hasil tangkapan nelayan di pesisir Teluk Balikpapan. Sementara ikan kakap dan udang masing-masing berada diurutan kedua dan ketiga. “Bahkan di Jenebora kepiting rajungan sudah sampai diekspor,” sebutnya.
Silang Pendapat Perwakilan Pemerintah
Wacana relokasi wilayah pesisir di Teluk Balikpapan buntut pengembangan kawasan Bandara VVIP IKN justru dibenarkan oleh Penjabat (Pj) Bupati Penajam Paser Utara (PPU), Muhammad Zainal Arifin.
Ditemui Kamis, 26 September 2024, pria yang baru dilantik pada 19 September 2024 menggantikan Makmur Marbun ini mengakui, jika wacana itu sudah masuk proses pembahasan khusus antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) PPU dengan Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN).
“Hari ini Asisten 1 (Setkab PPU) sedang rapat dengan OIKN di Balikpapan. Kita tunggu saja (hasil rapatnya),” jelas pria yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Konservasi Tanah dan Air di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini.
Zainal menyebut, pembahasan terkait persiapan relokasi wilayah pesisir di Teluk Balikpapan, khususnya Kampung Jenebora sudah beberapa kali digelar. Pematangan wacana itu dilakukan sebagai langkah konkret Pemkab PPU dalam mendukung percepatan pembangunan IKN.
Kendati demikian, diakui Zainal, wacana relokasi yang digaungkan pemerintahan sebelumnya tentu menimbulkan pro dan kontra, khususnya di kalangan warga. Namun, ia menyebut hal itu akan diatasi dengan berbagai upaya yang menguntungkan berbagai pihak, termasuk warga yang terdampak.
“Tentu kami akan mencari win-win solution, bagaimana masyarakat yang terdampak tidak terpinggirkan, dan kami (Pemkab PPU) juga mendapatkan kesempatan untuk bisa mendukung IKN,” katanya.
Disinggung soal pernyataan warga yang mengaku belum menerima sosialisasi dari pemerintah ihwal wacana relokasi, Zainal membantah hal itu. Dia mengklaim, sosialisasi kepada warga yang terdampak pengembangan kawasan Bandara VVIP IKN sudah dilakukan sejak beberapa waktu yang lalu.
Kendati demikian, pria bertubuh tinggi besar ini, tidak merinci kapan pastinya sosialisasi itu digelar. Pun apa saja informasi yang disampaikan pemerintah dalam sosialisasi itu. Namun, Zainal menegaskan Pemkab PPU sudah sangat intensif melakukan sosialisasi, agar warga yang terdampak bisa ikut berkontribusi membangun PPU.
“Semangatnya harus semangat pembangunan. Memang ada yang disingkirkan, ehmm, tidak boleh ada yang merasa terpinggirkan,” dalihnya.
Meski mengaku sudah melakukan sosialisasi ke warga terdampak pengembangan kawasan Bandara VVIP IKN, namun Zainal menyebut belum mengetahui pasti di mana lokasi relokasi itu akan dilakukan. Ia berdalih belum mendapatkan laporan terkait hal itu.
“Skema relokasi sudah ada dan sedang dibahas dengan OIKN. Tapi, detailnya nanti saja, ya,” tandasnya.
Berbeda dengan pernyataan Pj Bupati PPU Muhammad Zainal Arifin yang mengakui adanya wacana relokasi bagi warga di pesisir Teluk Balikpapan. Badan Bank Tanah justru menegaskan jika kampung nelayan di pesisir Teluk Balikpapan tidak bakal direlokasi.
“Kampung nelayan (Jenebora) tidak terimbas dengan pengembangan Badan Bank Tanah, karena berada di luar HPL (Hak Pengelolaan Lahan) kami,” jelas Kepala Badan Bank Tanah, Parman Nataatmadja melalui jawaban tertulisnya pada Jumat, 18 Oktober 2024.
Pernyataan terbaru Parman ini berbeda dengan pernyataan yang disampaikan dirinya pada Juni lalu. Kendati demikian, Parman mengakui jika Kampung Jenebora masuk wilayah yang terkena dampak pengembangan kawasan Bandara VVIP IKN bersama dengan Kelurahan Gersik dan Pantai Lango.
Kata Parman, masyarakat yang mendapatkan relokasi lahan melalui program reforma agraria adalah mereka yang berada di kawasan pembangunan Bandara VVIP IKN. Juga untuk jalan bebas hambatan (tol) IKN seksi 5B, serta masyarakat yang berada di area HPL Badan Bank Tanah. Adapun calon subjek reforma agraria adalah mereka yang sudah diverifikasi oleh Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang di tingkat kabupaten/kota diketuai oleh bupati/wali kota.
“Reforma agraria di atas HPL Badan Bank Tanah saat ini sedang berjalan,” ungkapnya.
Parman menyebut, Badan Bank Tanah menyediakan alokasi relokasi lahan dengan total luasan kurang lebih 400 hektare pada tahap I. Rencananya lahan itu dibagikan kepada 129 calon subjek reforma agraria yang terdampak pembangunan bandara dan jalan bebas hambatan IKN.
Melalui reforma agraria di atas HPL Badan Bank Tanah, masyarakat mendapatkan kepastian hak atas tanah berupa sertipikat hak pakai selama 10 tahun. “Dapat ditingkatkan menjadi sertipikat hak milik (SHM) setelah periode tersebut apabila (lahan) dimanfaatkan dengan baik,” katanya.
Parman mengklaim, konsep reforma agraria di atas HPL Badan Bank Tanah secara garis besar sama dengan reforma agraria yang digagas oleh pemerintah. Yakni, proses restrukturisasi berupa penataan ulang susunan kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, khususnya tanah.
Untuk di PPU, Badan Bank Tanah mendapat mandat mengalokasikan minimal 30 persen HPL. Luasan itu dikembalikan kepada masyarakat melalui program reforma agraria.
“Adapun alokasi lahan untuk reforma agraria di atas HPL Badan Bank Tanah adalah seluas 1.883 hektare atau 45 persen dari total HPL di PPU,” paparnya.
Total luasan lahan HPL Badan Bank Tanah di PPU mencapai 4.162 hektare. Tersebar di wilayah Kelurahan Jenebora, Gersik, Pantai Lango dan Riko di Kecamatan Penajam. Serta Kelurahan Maridan di Kecamatan Sepaku.
Luasan itu untuk reforma agraria seluas 1.883 hektare, Bandara VVIP IKN 621 hektare, jalan bebas hambatan (tol) IKN 150 hektare, badan air 123 hektare, dan institusi kelembagaan pemerintah 379 hektare.
Selain itu, juga untuk area pengembangan Badan Bank Tanah seluas 969,50 hektare. Rinciannya, Eco City 265 hektare, pelabuhan 51 hektare, golf dan resort 301,62 hektare, tol 135 hektare, dan pengembangan lainnya 351,88 hektare.
Parman menyebut, Badan Bank Tanah menyusun dan menetapkan rencana induk kawasan dengan mengintegrasikan dan mengolaborasikan berbagai kepentingan. Melalui peruntukan lahan bagi kawasan strategis nasional, program reforma agraria, dan institusi/lembaga. Termasuk simpul-simpul transportasi, serta kawasan penunjang lainnya berupa permukiman dan perdagangan/jasa.
“Sehingga, ke depannya perkembangan kawasan di PPU akan lebih tertata dengan sangat baik dan berdampak positif bagi perekonomian masyarakat sekitarnya,” pungkasnya.
Mengaktifkan Kembali Aturan Kolonial
Klaim penguasaan lahan oleh Badan Bank Tanah seluas 4.162 hektare di wilayah PPU dipertanyakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA, Dewi Sartika mengatakan, melihat dari sisi sejarah, keberadaan warga di sana jauh lebih dulu ada ketimbang Badan Bank Tanah. Sehingga, ia menyebut, badan yang baru terbentuk lewat Undang-Undang Cipta Kerja itu tidak memiliki dasar untuk secara semena-mena, tanpa persetujuan masyarakat, menyatakan lahan yang ditempati warga sebagai lahan milik mereka lewat Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
“Jadi tidak bisa Bank Tanah yang baru dibentuk kemarin sore, masih anak bawang, tiba-tiba mengalahkan positioning masyarakat yang sebenarnya punya konstitusionalitas berupa hak atas tanah,” tegasnya saat dikonfirmasi, Kamis, 17 Oktober 2024.
Di sisi lain, kata Dewi, sekalipun pemerintah berdalih dengan menyebut lahan yang ditempati warga adalah ilegal, Badan Bank Tanah tidak berhak mengklaim. Mengingat yang terjadi saat ini merupakan akibat dari sikap pemerintah yang tidak menjalankan mandat dari Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) 1960.
Dalam undang-undang tersebut negara diwajibkan mengadakan pendaftaran tanah dari tingkat desa. Ini untuk menjamin kepastian hukum atas hak-hak tanah.
Dewi bilang, jika negara taat pada mandat UU PA, maka seharusnya hak atas tanah masyarakat sudah diterbitkan jauh sebelum adanya proyek IKN. Sehingga ketika pembangunan IKN digagas, warga yang terdampak punya legal standing atas tanahnya untuk dihormati dan dihargai oleh negara.
“Apa yang terjadi sekarang merupakan bagian dari pengabaian hak-hak konstitusional masyarakat di Kalimantan Timur, khususnya di sekitaran wilayah pembangunan IKN,” sebutnya.
Badan Bank Tanah harus menghentikan klaim sepihak lahan warga yang sudah menjadi ladang pertanian, kebun, permukiman, hingga desa definitif. Negara tidak boleh semena-mena dengan mengabaikan fakta di lapangan. Mengingat negara seharusnya menjamin hak atas tanah masyarakat sesuai dengan mandat konstitusi.
“Jika praktik itu diteruskan justru akan menjadi perampasan tanah. Termasuk praktik penggusuran tanah terhadap masyarakat,” tekannya.
Praktik penguasaan lahan oleh Badan Bank Tanah lewat HPL, disebut Dewi, terkesan menghidupkan kembali asas domein verklaring (negaraisasi tanah). Domein verklaring adalah praktik-praktik yang pernah hidup pada zaman kolonial Belanda.
Prinsip domein verklaring menjelaskan, bahwa tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh masyarakat maka secara otomatis dianggap menjadi tanah milik negara. Namun, prinsip domein verklaringatau klaim-klaim sepihak oleh negara telah dihapuskan setelah berlakunya UU PA 1960.
“Tidak bisa mentang-mentang mau ada proyek IKN, lantas keberadaan masyarakat setempat, perkampungan, wilayah adat dianggap tidak ada sama sekali. Kalimantan Timur dianggap tanah kosong,” terangnya.
Ditegaskan Dewi, keberadaan Badan Bank Tanah sejak awal telah ditolak oleh KPA. Mengingat keberadaan Badan Bank Tanah dinilai hanya ditujukan untuk memberi kemudahan dan menjamin ketersediaan tanah untuk investor dan pengusaha. Ironisnya, kemudahan itu dilakukan di tengah mandeknya pemenuhan hak rakyat atas tanah melalui penyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria.
Saat ini, yang dibutuhkan adalah kepastian reforma agraria, menurut Dewi, pengakuan hak-hak atas tanah bagi masyarakat marginal menjadi prioritas. Bukan pengadaan tanah untuk investasi skala besar yang justru memperparah situasi ketimpangan akut di Indonesia.
“Dengan sendirinya Bank Tanah memperparah konflik agraria, bukan melakukan perombakan untuk menuntaskan konflik agraria,” ujarnya.
Dewi menyebut sejauh ini proses kepemilikan tanah-tanah di Indonesia menjadi HPL Badan Bank Tanah banyak dilakukan secara serampangan dan dengan proses yang sangat tertutup. Tidak ada konsensus dari masyarakat dan tanpa transparansi. Sehingga, lahan HPL Badan Bank Tanah banyak berdiri di atas tanah-tanah masyarakat.
Artinya, keinginan masyarakat agar tanahnya segera diakui dan hak-haknya dipenuhi sejak zaman orde baru justru semakin jauh dari pemenuhan. Karena aktor perampas tanahnya bertambah dengan adanya Bank Tanah yang baru saja dibentuk dua tahun ini. “Makanya secara kelembagaan seharusnya Bank Tanah itu dibubarkan,” tegasnya.
Pun jika akhirnya warga terpaksa harus mengalah dengan klaim HPL Badan Bank Tanah kemudian direlokasi, menurut Dewi, prosesnya harus dilakukan secara adil, transparan, dan mendapatkan konsensus dari masyarakat. Lantaran proses relokasi memiliki dampak materiil dan immateriil yang harus diperhatikan oleh negara.
“Relokasi itu artinya harus memulai hidup dari awal lagi. Sekolah pindah, kehidupan berpindah, tetangga berubah, kebudayaan juga berubah, dan seterusnya. Sehingga ada kerugian-kerugian atau dampak sosial, ekonomi, hingga budaya yang lebih luas,” paparnya.
Olehnya, pemerintah dinilai tidak bisa serta merta langsung memutuskan untuk relokasi. Apalagi, kata Dewi, acap kali pengadaan tanah, pembebasan lahan, hingga ganti kerugian penuh proses yang manipulatif dan kolusi. Sehingga kerap merugikan masyarakat yang terdampak. Padahal hal itu seharusnya dilakukan dengan sangat transparan, inklusif, tidak dalam ruang yang gelap, dengan perhitungan yang matang dan memperhatikan hak asasi dari masyarakat setempat.
“Sehingga masyarakat yang terdampak mendapatkan pemahaman yang lebih utuh soal konsekuensi atau kerugian yang bakal dialami apabila menerima model-model ganti rugi yang ditawarkan oleh pemerintah,” sebutnya.
Ancaman Hilangnya Penjaga Teluk Balikpapan
Wacana Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara merelokasi warga yang bermukim di wilayah pesisir Teluk Balikpapan, buntut perluasan kawasan Bandara VVIP IKN mengundang reaksi Ketua Pokja Pesisir Kalimantan Timur, Mapaselle.
Menurutnya, jika hal itu terjadi, maka menyebabkan hilangnya penjaga Teluk Balikpapan. Karena selama ini, kata Mapaselle, nelayan yang bermukim di Kelurahan Jenebora, Gersik, Pantai Lango dan Maridan cukup aktif melaporkan aktivitas yang berdampak pada kelestarian Teluk Balikpapan. Peran mereka dinilai sangat strategis dalam menjaga kelestarian Teluk Balikpapan. Seperti kasus perusakan mangrove, tumpahan minyak, kebakaran hingga illegal logging.
“Merekalah yang selama ini menjadi mitra NGO dan pemerintah dalam pengawasan di Teluk Balikpapan,” ungkap Mapaselle, Minggu, 13 Oktober 2024.
Di sisi lain merelokasi warga pesisir yang bermukim di Teluk Balikpapan juga dinilai akan menghilangkan sejarah. Dijelaskan Mapaselle, Kampung Jenebora diketahui telah ada dan berdiri di sana jauh sebelum Indonesia merdeka. Para penduduknya pun mendiami wilayah itu bukan secara tiba-tiba, namun melalui proses yang panjang.
Di beberapa literatur, Kampung Jenebora bahkan berkaitan erat dengan cikal bakal Kota Balikpapan. Seperti yang tertuang dalam sejarah Kota Balikpapan di website balikpapan.go.id, bahwa eksistensi warga di Kampung Jenebora sudah ada sejak 1739.
Kehidupan yang sudah berlangsung selama ratusan tahun itu, disebut Mapaselle, telah membentuk peradaban yang sangat melekat dengan kebiasaan warga di sana, bahkan hingga hari ini. Mereka diketahui menjalani hidup dengan tentram dan memiliki hubungan yang kuat dengan lingkungan sosialnya.
“Kami sangat menyayangkan hal ini (wacana relokasi). Demi membangun sebuah kemajuan, mereka harus disingkirkan. Tentu kami melihat ada ketidakadilan di sini,” tegasnya.
Mapaselle menyebut, sejatinya kemajuan sebuah peradaban harus bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Begitu pun dengan warga pesisir di Teluk Balikpapan.
Seharusnya, kata Mapaselle, keberadaan IKN mampu memfasilitasi berbagai kebutuhan para penduduk di pesisir Teluk Balikpapan untuk mendukung dan menjaga eksistensi mereka. Sesuai dengan salah satu prinsip pembangunan IKN yang selama ini digaungkan pemerintah, yakni menjadikan IKN sebagai kota yang inklusif.
“Kalau dalam prosesnya ternyata ada warga di pesisir yang direlokasi imbas pembangunan IKN, itu artinya tidak inklusif dong,” katanya.
Dijelaskan Mapaselle, merelokasi warga pesisir artinya juga harus memindahkan lautnya yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. Jangan sampai, mereka yang terbiasa mencari sumber penghasilan di laut, dipindahkan ke lokasi yang jauh dari laut.
Pun semisal dekat dengan laut, pemerintah tetap diminta untuk memikirkan akses dan infrastruktur dalam menunjang para nelayan menjalankan profesi mereka di tempat yang baru. “Karena dekat dengan pesisir tetap tidak bisa menjamin wilayah tangkap mereka dekat dan mudah diakses,” sebutnya.
Kendati demikian, Mapaselle mengaku pesimis, warga pesisir yang bermukim di Teluk Balikpapan akan dipindahkan ke lokasi yang dekat dengan laut. Karena meski belum ada keputusan pasti ihwal lokasi relokasi tersebut, namun santer terdengar jika relokasi bakal dipusatkan di wilayah daratan.
Di samping itu, kabar yang menyebutkan jika para warga yang direlokasi bakal diberikan unit usaha menimbulkan kekhawatiran baginya. Mapaselle khawatir warga pesisir yang mayoritas nelayan mendadak harus beralih profesi menjadi seorang pelaku UMKM.
Menurutnya, kondisi tersebut jelas membutuhkan berbagai upaya yang tidak instan. Terlebih, tidak semua orang bisa menjadi seorang pedagang. Olehnya, ia mendesak pemerintah untuk memikirkan hal ini.
“Jangan sampai ketika mereka dipindahkan malah menimbulkan permasalahan baru,” tegasnya.
Mengubah profesi demi meningkatkan kesejahteraan, disebut Mapaselle, merupakan pandangan yang keliru. Terlebih dengan kondisi warga pesisir di Teluk Balikpapan yang secara turun temurun sudah melakukan aktivitas sebagai nelayan.
Menurut Mapaselle, seharusnya kesejahteraan warga pesisir bisa dikembalikan dengan kehadiran IKN di sana. Namun, caranya bukan dengan mengajak mereka beralih profesi. Melainkan membantu mempertahankan kawasan Teluk Balikpapan yang diketahui memiliki tingkat keanekaragaman hayati tinggi.
“Ketika berbicara soal kesejahteraan nelayan di sana maka tidak boleh jauh dari memulihkan ekosistem di wilayah pesisir (Teluk Balikpapan),” terangnya.
Diceritakan Mapaselle, jauh sebelum serbuan industri memasuki Teluk Balikpapan, para nelayan yang bermukim di sana hidup sangat sejahtera. Sumber perikanan di sana sangat melimpah, sehingga memudahkan warga dalam menjaring ikan.
Bahkan beberapa penduduk di sana yang pernah diajaknya berdiskusi pun mengakui, jika pada 1980-1990an kondisi Teluk Balikpapan luar biasa baik. Mereka bahkan bisa melihat dan mencium aroma ikan dari rumah mereka.
Pun untuk memperoleh ikan, mereka tidak memerlukan mesin kapal. Cukup hanya dengan menggunakan dayung dan jala, mereka sudah mampu menjaring ikan. Kondisi inilah yang kemudian membuat perairan di Teluk Balikpapan menyandang predikat sebagai salah satu perairan yang mendukung perikanan berkelanjutan.
Namun ketika industri minyak, batu bara, CPO, hingga kimia masuk, justru terjadi perubahan pada lanskap Teluk Balikpapan. Tutupan mangrove menjadi berkurang. Belum lagi aktivitas membuka lahan di kawasan atas menyebabkan sedimennya jatuh ke laut. Mengakibatkan matinya sebagian terumbu karang dan padang lamun.
“Akhirnya membuat kualitas perairan di Teluk Balikpapan semakin menurun dan berkontribusi terhadap berkurangnya ikan. Dampaknya nelayan kesulitan mendapatkan ikan,” paparnya.
Kondisi ini, kata Mapaselle, semakin diperparah dengan pembangunan IKN yang dinilai memperberat tekanan ekologi di Teluk Balikpapan. Tak dapat dipungkiri, sampai hari ini semakin banyak wilayah hutan dan mangrove yang hancur. Kondisi ini membuat nelayan di Teluk Balikpapan semakin cemas karena sumber kehidupannya bakal tersingkir secara perlahan-lahan.
“Makanya kami selalu mendorong agar pembangunan IKN turut diintegrasikan dengan wilayah perairan, jangan cuma daratan saja. Karena dampak pembangunan IKN tidak bicara soal administratif, tapi lanskap,” tandasnya. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post