SANGATTA – Tahun baru harga baru. Harga yang ditawarkan cenderung lebih tinggi dari sebelumnya. Sampai saat ini, harga aroma natal dan tahun baru belum hilang.
Seperti harga lombok tiung yang sebelumnya Rp35 ribu kini merangkak Rp40-Rp45 ribu perkilo. Harga telur per piring yang semula Rp 32 ribu kini Rp 37 hingga Rp 42 ribu.
Sama halnya dengan susu kental manis. Yang semula Rp 9 ribu kini Rp 12 ribu, bebek yang aebelumnya Rp 55 ribu kini Rp70 ribu dan tomat yang sebelumnya Rp 6 ribu kini menjadi Rp 10 ribu.
Kemudian, wortel biasa yang sebelumnya Rp 10 ribu kini menjadi Rp 18 ribu. Wortel impor Rp 28 ribu kini menjadi Rp 35 ribu. Serta sayur sayuran seperti kangkung biasa yang sebelumnya Rp 500 kini menjadi Rp 1.500 hingga Rp 2 ribu.
Dikatakan Budde Wahini, salah seorang pedagang pasar Sangatta Selatan, kenaikan ini sudah terjadi sejak menghadapi tahun baru beberapa pekan lalu. Bahkan sudah lebih parah sebelumnya.
“Ini sudah mulai menurun. Meskipun belum normal seperti biasa,” kata Wahini.
Kenaikan seperti ini merupakan budaya tahunan. Akan terus stabil hingga menghadapi hari besar lainnya. Jikapun turun, tidak seperti tahun tahun sebelumnya.
“Susah kalau mau normal lagi. Pasti naik terus. Meskipun sedikit,” katanya.
Fakta berbeda dari data yang dikeluarkan UPT Pasar Induk Sangatta. Data yang diberikan, harga sembako masih stabil. Padahal setelah dicocokkan oleh wartawan , harga yang tertulis tak sesuai dengan angka di lapangan.
Bahkan tidak mengalami perubahan dari tahun tahun sebelumnya. Seperti harga wortel biasa. Saat ini sudah Rp 18 ribu, akan tetapi data UPT hanya Rp 10 ribu.
Begitupun dengan harga ikan layang. Saat ini hanya sekira Rp 35 ribu, sedangkan data UPT mencapai Rp 80 ribu. Sama halnya dengan harga telur, yang saat ini hanya Rp 37 hingga Rp 42 ribu, namun data UPT Rp 55 ribu.
“Data yang di UPT itu data lama. Data 2017 lalu. Sepertinya tidak diperbaharui. Seperti harga wortel. Silahkan saja keliling tidak ada lagi Rp 10 ribu,” kata Sari pedagang sayur.
Ini cukup membahayakan. Jika konsumen tahu akan merusak citra pedagang. Terlebih konsumen yang pegang data UPT Pasar.
“Ada yang sudah turun dibilang naik. Ada yang naik dibilang turun. Nanti pedagang disalahkan. Harus benar benar didata lagi. Jangan gunakan data lama,” kata Sari. (dy)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: