SAMARINDA – Berita kemunduran Sofyan Hasdam dari keanggotaan Partai Golongan Karya (Golkar) bukan isapan jempol belaka. Berembusnya isu yang kian hari menyudutkan Sofyan atas keputusannya bergabung di Partai Nasional Demokrat (NasDem), memaksa mantan Wali Kota Bontang dua periode itu memberi penjelasan.
Rabu (12/7) kemarin, media ini menerima rilis dari Sofyan Hasdam dengan judul “Sekilas Latar Belakang Pamitnya Saya dari Golkar”. Tulisan tersebut menggambarkan secara detail alasan kemundurannya dari partai berlambang beringin tersebut.
“Pada dasarnya, rasa kurang nyamanlah yang membuat saya keluar dari Partai Golkar. Baik yang saya rasakan maupun yang dirasakan juga oleh rekan-rekan di internal Golkar. Sebagai kader lama di Golkar, ini adalah keputusan yang sangat berat,” ucapnya.
Beratnya hati Sofyan meninggalkan partai yang membesarkannya di dunia politik tersebut karena dia sudah puluhan tahun menjadi kader partai besutan Airlangga Hartarto itu. Bahkan Sofyan mengibaratkan Golkar sudah mendarah daging laksana bayang-bayang pribadinya.
“Sejak masih di Timor Leste sampai mengabdi di Kota Bontang sebagai wali kota dua periode, saya dan Golkar sudah seperti bayang-bayang sendiri. Seiring sejalan bersama keseluruhan dinamika karier politik yang saya arungi,” katanya.
Menengok sebelum perhelatan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kaltim 2018, kariernya di Golkar mencapai puncak ketika diberi tanggung jawab sebagai Ketua Bidang PP Wilayah Kalimantan. Yang merangkap Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Kaltim.
“Tugas utama saya adalah menyiapkan pelaksanaan Musdalub (Musyawarah Daerah Luar Biasa, Red.), yang kemudian berhasil mendudukkan Ibu Rita Widyasari sebagai Ketua DPD I Golkar Kaltim,” bebernya.
Pada saat yang sama, partai akan menghadapi momentum Pilgub Kaltim. Kala itu, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar menetapkan Rita Widyasari sebagai calon gubernur. Penetapan bupati Kukar nonaktif tersebut dilakukan tanpa disertai dengan pendampingnya.
Sofyan menjelaskan, berdasarkan tradisi internal partai, pimpinan Golkar membuka konvensi untuk mencari pendamping Rita. Sofyan dan delapan orang lainnya terpilih untuk bersaing dalam konvensi tersebut.
Berdasarkan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) DANNY JA, Sofyan menempati urutan teratas sebagai calon terkuat yang akan mendampingi Rita di Pilgub Kaltim. Namun, dirinya mendapati bahwa Rita tak menerima kehadiran Sofyan untuk mendampinginya.
“Selain itu ketum waktu itu, Setya Novanto menyampaikan ke saya bahwa Ibu Rita Widyasari akan dipasangkan dengan Pak Safaruddin,” bebernya.
Tak berhenti sampai di situ, peta politik berubah drastis setelah Rita ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kekosongan pimpinan DPD membuat Ketua Umum Golkar menunjuk Sofyan sebagai Plt Ketua DPD I Golkar Kaltim.
Namun, penunjukan plt ditolak ketua-ketua DPD II Golkar. Muncul anggapan bahwa Rita masih dapat mengendalikan partai di balik jeruji penjara. Buntut dari penolakan tersebut, Sofyan difitnah akan menyingkirkan pengurus yang berasal dari kubu Rita.
“Menanggapi isu ini, ketua-ketua DPD II dan beberapa pengurus DPD I menghadap Pak Airlangga Hartarto yang telah ditetapkan sebagai Ketua DPP Partai Golkar. Pak Airlangga menyampaikan ke saya agar tidak melakukan perombakan pengurus karena saya hanya Pelaksana Tugas,” jelasnya.
Jelas saja Sofyan tak terima dengan tuduhan tersebut. Pasalnya, selama menjabat sebagai plt, dirinya tidak pernah berniat melakukan perombakan pengurus. Imbas lain, sejumlah ketua DPD II melakukan pembangkangan.
“Guna mencari titik temu, saya menemui mereka. Belakangan disepakati untuk bertemu di Balikpapan. Di Balikpapan, mereka meminta agar segera dilaksanakan Musdalub,” ucapnya.
Permintaan tersebut ditolak Sofyan. Tentu saja dengan alasan logis. Salah satunya akan mengganggu proses konsolidasi internal partai di tengah proses penetapan cagub dan cawagub.
“Setelah Munaslub selesai digelar di Jakarta, nama saya sudah tidak ada lagi di jajaran pengurus DPP Golkar. Besar dugaan saya kalau ini ada kaitan dengan kisruh di DPD l Golkar Kaltim,” sebutnya.
Penetapan Sofyan sebagai cagub yang diusung Golkar ternyata mendapat penolakan dari sebagian Ketua DPD II Golkar Kaltim. Pasalnya, sebagian di antaranya menginginkan Makmur HAPK untuk menjadi cagub. Bahkan ada pula yang mengusung mantan Kapolda Kaltim, Safaruddin.
“Sementara saya berjuang sendiri di DPP dengan memanfaatkan hasil survei terpercaya yang menempatkan saya pada posisi tertinggi dari semua kader yang maju (di Pilgub Kaltim),” bebernya.
Proses politik di Benua Etam berlanjut dengan penetapan Sofyan sebagai cagub yang didampingi almarhum Nusyirwan Ismail yang diusung Partai NasDem. Setelah penetapan Cagub Golkar-Nasdem, desakan untuk Musdalub malah semakin menguat.
Sofyan bersama Ketua Angkatan Mudah Golkar Kaltim Muhammad Husni Fahrudin datang ke DPP. Keduanya meminta agar Musdalub ditunda karena akan berdampak negatif pada pemenangan di pilgub.
“Musdalub ditunda, tapi saya sebagai Ketua Plt dicopot dan diganti oleh Pak Mukhtarudin. Ini berakibat tertutupnya akses saya ke DPD ll. Penggantian ini membuat saya seperti tentara yang dilucuti senjatanya di tengah medan perang,” katanya.
Kekhawatiran tersebut terbukti waktu Sofyan melakukan kampanye selaku cagub. Sejumlah Ketua Pengurus Tingkat Kecamatan (PTK) yang diundang tim sukses menolak untuk menghadiri sosialisasi pasangan calon (paslon).
“Ketua PTK yang diundang menghadiri acara sosialisasi menolak hadir dengan alasan belum ada perintah dari DPD II. Saya merasa diboikot oleh partai saya sendiri,” katanya.
Akumulasi dari suasana yang tidak harmonis di internal partai tersebut membuat Sofyan memutuskan lebih baik berada di luar Partai Golkar. “Saya juga merasa yakin bahwa kepergian saya akan memberi rasa nyaman bagi beberapa rekan di DPD II dan juga di DPD I Golkar Kaltim,” tutupnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post