SANGATTA – Kasus HIV/AIDS di Kutai Timur (Kutim) semakin memprihatinkan saja. Ironisnya, penanganan terhadap pengidapnya belum maksimal. Terbukti, dua bayi dengan HIV positif yang dilaporkan di 2017, kembali terdeteksi di 2018. Rupanya, kedua bayi ini belum mendapat penanganan yang memadai.
Sekretaris Komisi Penanggulangan Aids Daerah (KPAD) Kutim, Harmadji Partodarsono menuturkan, dua bayi itu belum ditangani lantaran usianya saat ini masih tergolong rentan untuk diberi pengobatan. “Beberapa bayi yang terlahir, sudah mengidap penyakit ini. Ada beberapa penyebabnya, tapi biasanya karena tertular ibunya. Bisa juga dari ASI atau terjangkit sejak dalam rahim,” kata dia.
Disebutkan, keberadaan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tersebar di 15 kecamatan di Kutim. Sebanyak 133 ODHA bertahan hidup dan beraktivitas sehari-hari. Mayoritas ODHA, yaitu sebanyak 84 persen, berusia rentang 25 sampai 50. Namun ada juga beberapa di antaranya masih bayi.
Harmadji menjelaskan, penularan dari ibu ke bayi (PKIB) membutuhkan penanganan khusus. Bayi tidak dapat langsung diberi obat, namun harus ditunggu hingga usianya memenuhi syarat untuk diberi obat. Yakni saat menginjak umur 18 bulan.
“Bayi yang tahun lalu terus dipantau. Hanya saja belum bisa diberi obat. Nanti setelah satu setengah tahun, baru akan dimulai,” bebernya.
Berbeda dengan penanganan orang dewasa yang harus mengonsumsi obat sampai seumur hidup. Dalam menangani anak-anak tidak harus seperti itu. Dalam penanganan kasus ini, anak-anak bebas meminum obat hingga usianya yang ke-10 tahun.
“Kalau anak-anak sampai batas 10 tahun boleh tidak meminum obat lagi. Asal hidup normal tidak stres. Juga gizi dan nutrisi mencukupi,” papar Harmadji.
Kasus seperti ini tidak hanya ditemui di Kutim. Namun kerap terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Sehingga kementerian telah memprogram upaya pencegahan bayi dengan HIV/AIDS. “Program kementerian yang mewajibkan ibu hamil tes HIV, mulai dicetuskan sejak 2016. Kemudian 2017 mulai disosialisasikan. Hingga 2018 dilaksanakan dan mencapai 100 persen,” terangnya.
Katanya, dengan program seperti ini, ibu hamil akan diperlalukan khusus dalam penanganannya. Agar bayi dalam kandungan dapat dicegah sedini mungkin. “Namun jika penanganannya benar seperti di sejumlah negara maju, mereka yang mengidap HIV/Aids sejak bayi, dapat sembuh dan bertahan hidup. Hingga usia mencapai 50 tahun atau lebih,” bebernya.
Harmadji menegaskan, bayi dengan penyakit ini bukan berarti disebabkan oleh perilaku seks orangtua yang menyimpang. Namun bisa jadi karena jarum suntik yang bergantian atau hal lainnya. “Paradigma bahwa bayi ini sakit karena orangtuanya bejat itu belum tentu benar. Tapi masih banyak penyebab tidak disengaja lainnya. Tapi jangan dimusuhi, bawa saja mereka berobat di rumah sakit dan gratis,” pintanya.
Dia mengatakan, ibu dengan HIV/AIDS hanya boleh menyusui jika sel imunitas atau CD4 nya tinggi. Minimal 800 dan virusnya rendah. “Kalau CD4 nya rendah, tidak boleh menyusui. Hingga kembali meninggi dan virusnya hampir tidak ada. Jika memang CD4 nya rendah harus mengonsumsi Anti Retro Viral (ARV),” katanya.
Penyakit ini juga tidak serta merta menular begitu saja. Sehingga ia meminta pada masyarakat agar tidak menjauhi ODHA.
Terpisah, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kutim, Bahrani mengatakan kejadian seperti ini memang kerap terjadi. Hingga pihaknya memiliki program khusus dalam penanganan. “Masih banyak yang belum terdeteksi. Hal seperti ini akan kami awasi agar dapat ditekan di tahun-tahun mendatang. Mengingat yang terpantau saat ini hanya ujungnya saja, belum terlalu dalam,” paparnya. (*/la)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post