Semenjak Menteri Kelautan dan Perikanan berganti, aktivitas kapal ikan asing (KIA) kembali marak di perairan Natuna. Namun, sepanjang masih ada “komandan” Dedek dan tim guard “swasta” di bawah arahannya, harapan itu selalu ada.
Cuaca di Laut Natuna, tepatnya di titik koordinat 4 Lintang Utara (LU) dan 109 Bujur Timur (BT), sebenarnya tak jelek-jelek amat. Namun, M Daud memutuskan pulang lebih “pagi” hari itu. Tekong (nakhoda) KM Pesona Mandiri itu meminta delapan anak buahnya berkemas lebih cepat. ”Hari ini kita nggak bisa kerja,” seru Daud.
Pesona Mandiri melaju ke arah barat daya, menuju Selat Lampa di Kecamatan Pulau Tiga Barat, Natuna. Berjarak puluhan mil dengan kecepatan penuh. Daud berpikir percuma berlama-lama di laut yang masuk wilayah Indonesia itu. Sebab, puluhan kapal berbendera Vietnam berukuran cukup besar telah “menguasai” perairan yang sejatinya menjadi “ladang” ikan mereka.
Dalam perjalanan pulang, Daud sesekali mendongak ke arah monitor sistem posisi global (global positioning system/GPS) yang terpacak di kompartemen atas stir perahu. ”Kapal-kapal itu jelas nangkap ikan di wilayah Indonesia,” pikirnya.
Sejurus kemudian, Daud meraih gagang telepon radio single-sideband modulation (SSB) untuk meng-update aktivitas kapal-kapal Vietnam itu. Suaranya cepat menyebar ke radio lain yang memiliki frekuensi sama.
Total ada lebih 10 kapal ikan asing (KIA) yang berekspansi di Laut Natuna siang menjelang sore itu. Kapal-kapal itu berukuran besar. Jauh lebih besar dari KM yang diawaki Daud. KIA itu juga dilengkapi beragam peralatan canggih; telepon satelit, radar angin, radar ikan, GPS, dan sebagainya. Kecepatan mereka pun di atas rata-rata kapal Indonesia.
Sembari terus mengendalikan kemudi, Daud sekilas tebersit pengalaman apes setiap kali bertemu kapal-kapal ikan asing. Paling membuatnya kesal adalah saat semua pancing rawai berkail mustad lengkap dengan bendera apung yang ditebar anak buah kapal (ABK) lenyap karena terjerat jaring trawl (pukat) ganda KIA. Kejadian yang membuatnya rugi besar itu terjadi beberapa tahun lalu.
Pukat ganda memang ancaman bagi semua nelayan Natuna. Pasalnya, alat tangkap yang umumnya selebar tiga kali ukuran lapangan sepak bola dan telah dilarang pemerintah sejak lama itu bisa dengan mudah mengeruk semua ikan di perairan. Baik ikan timbul (permukaan), semacam ikan tenggiri dan tongkol. Hingga ikan dasar, seperti ikan kakap merah, jahan, kurisi bali, dan kerapu.
Dalam batinnya, pengalaman pahit itu tak boleh terulang. Untuk sementara, pulang lebih baik ketimbang kehilangan rawai. Harus diakui, rawai lebih krusial baginya. Dan bagi delapan ABK yang ikut dalam rombongan penangkap ikan di pengujung Desember lalu itu.
”Tidak apa kita setengah hari saja kerja,” serunya kepada para ABK. Toh, di bagian lambung kapal tangkapan ikan sudah lumayan.
Di sisi lain, Sam, Boncil, Jon, Bacok, Iwan, Nur, Arifin, dan Buyung merapikan pekerjaan masing-masing. Seperti biasa, kedelapan ABK Pesona Mandiri itu bagi tugas. Ada yang mengecek ikan tangkapan di bagian lambung kapal. Sisanya gotong-royong menggulung tali rawai dan memastikan alat tangkap itu bisa digunakan kembali.
Gara-gara kapal Vietnam, hasil tangkapan hari itu tidak melimpah seperti biasanya. Daud dan timnya hanya dapat membawa 2 ton ikan. Padahal, situasi normal, mereka bisa membawa 3-4 ton sekali “nyangkul” di tengah laut. Tangkapan itu dibongkar di Selat Lampa untuk kemudian dijual ke Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau (Kepri).
”Kalau ada kapal Vietnam, kita nggak bakalan bisa kerja,” ucap Daud kepada Jawa Pos (grup Bontangpost.id) ketika ditemui di pangkalan kapal nelayan di Tanjung Kumbik Utara, Pulau Tiga Barat, Rabu (8/1/2020). Cerita tentang merajalelanya KIA itu juga disampaikan kepada “komandan” Dedek, penanggung jawab pangkalan kapal ikan rawai tersebut.
GUARD SWASTA
Dari laporan para tekong itulah, peran “komandan” Dedek terbilang sentral bagi petugas pengawas laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI. Dari Dedek, informasi soal KIA yang membabi buta menangkap ikan secara ilegal (illegal, unreported, unregulated fishing/IUUF) di perairan Natuna dengan cepat sampai ke otoritas keamanan laut.
Sekadar mengingatkan, jelang akhir tahun publik sempat digegerkan video viral aktivitas kapal asing di perairan Natuna yang berujung pada mencuatnya isu kedaulatan Indonesia di Natuna. Nah, ketegangan itu berawal dari laporan para nelayan yang terganggu dengan penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal asing. Salah satunya dari Vietnam.
“Komandan” Dedeklah yang pertama kali mem-posting video pelanggaran itu di media sosial (medsos) miliknya pada 23 Desember lalu. Kemudian ditanggapi beragam oleh banyak pihak. Tidak terkecuali Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
”Sebenarnya sudah saya laporkan ke KKP, dari tanggal 17 dan 18 Desember, tapi belum ada tindakan di laut,” ujarnya kepada Jawa Pos.
Cerita kapal asing dalam video yang menyebar itu tidak jauh beda dengan yang dituturkan Daud dkk. Dalam video itu menggambarkan sekumpulan KIA, identik dengan kapal Vietnam, menangkap ikan di wilayah perairan Natuna secara bebas. Merujuk aturan, penangkapan itu jelas ilegal. Dan pelakunya bisa ditangkap. Bahkan kapalnya sah-sah saja ditenggelamkan seperti era Menteri Susi Pudjiastuti.
”Waktu itu (laporan di tanggal 17 dan 18 Desember), alasan dari KKP dananya habis karena akhir tahun,” bebernya.
Selain ke KKP, Dedek juga melaporkan aktivitas KIA itu kepada TNI Angkatan Laut dan Polisi Perairan (Polair) yang bermarkas di kawasan Natuna. ”Kalau dari TNI AL, ditindaklanjuti operasi kapal,” kenang pria 31 tahun itu.
Karena video telanjur menyebar dan banyak diperbincangkan orang, KKP yang seolah kecolongan lantas menggunakan kapal pengawas perikanan menindak tegas KIA di Natuna. Hasilnya, pada 30 Desember lalu, tiga kapal Vietnam ukuran besar ditangkap di perairan Natuna secara dramatis. Yaitu kapal KG 95118 TS ukuran 125 GT, KG 94629 TS berkapasitas 98 GT, dan KG 93255 TS (98 GT).
Sejatinya laporan Dedek ke otoritas kelautan dan perikanan bukan kali itu dilakukan. Semenjak menjadi penanggung jawab pangkalan kapal rawai di Tanjung Kumbik Utara tiga tahun lalu, Dedek rutin melaporkan setiap kegiatan KIA pencuri ikan di perairan yang terkenal kaya sumber daya laut itu. ”Di era Bu Menteri Susi kami sudah melakukan hal yang sama,” ungkapnya.
Saat ini, ada 53 kapal ikan dari Tanjung Balai Karimun yang menjadi bagian “tim guard” swasta di bawah arahan komandan Dedek. Setiap kapal dilengkapi GPS, radio komunikasi, dan telepon satelit. Dengan peralatan itu mereka bisa kapan saja melaporkan KIA pencuri ikan kepada komandan Dedek dari jarak puluhan mil di tengah laut Natuna.
Kapal-kapal berkonstruksi kayu itu biasanya teken kontrak 3-4 bulan dengan pemodal. Selama kontrak itu, mereka bisa menghabiskan Rp 400 juta untuk operasional. Puluhan kapal yang selalu mangkal di depan rumah komandan Dedek setelah melaut itu bergantian “nyangkul” di zona terluar perairan Indonesia yang sejak lama diincar KIA berbagai negara itu. Seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, hingga Tiongkok.
JAGA NATUNA, JAGA INDONESIA
Pengawasan KIA sejatinya bukan tugas utama Daud dkk atau komandan Dedek dan timnya. Mereka tidak digaji untuk itu. Negara memiliki infrastruktur lebih lengkap ketimbang KM Pesona Mandiri atau kapal-kapal ikan lain ukuran kecil yang notabene hanya mampu menangkap ikan. Bukan menangkap KIA yang terkesan bebas masuk ke wilayah Indonesia.
Di Selat Lampa, kerap mangkal kapal pengawas perikanan milik KKP di bawah naungan Satuan Pengawas (Satwas) Sumber Daya Kelautan Perikanan (SDKP). Dan beberapa hari terakhir ini juga ada Kapal Perang RI (KRI) Usman Harun 359 dan KRI Karel Satsuit Tubun 356 di selat tersebut.
Meski begitu, Dedek dan timnya hingga kini tetap rutin melaporkan semua hal yang berkaitan dengan pelanggaran penangkapan ikan di Natuna. Laporan tersebut berisi lokasi titik koordinat dan jumlah KIA yang menebar pukat di perairan Natuna.
”Kami hanya relawan biasa. Saya senang kalau nelayan di Natuna bisa kerja di laut tanpa diganggu dengan trawl (pukat) itu,” kata Dedek.
Pun, demikian dengan Aswadi dan Papang, dua anggota tim guard swasta komandan Dedek yang paling setia. Sebagai anggota tim “militan”, Aswadi dan Papang selalu siap kapan saja membantu dan menjalankan perintah komandan demi menjaga Natuna dan Indonesia dari “jajahan” kapal asing. ”Pokoknya apa kata komandan Dedek saja,” kata Papang lantas tertawa.
Para tekong juga demikian. Kedaulatan Indonesia, bagi mereka, tidak bisa ditawar. Mereka pun berharap aktivitas KIA di perairan Natuna ditindak tegas seperti era Menteri Susi. Penindakan KIA sangat menentukan keselamatan dan kenyamanan kerja mereka. Semakin banyak KIA ditindak, semakin melimpah pula hasil tangkapan ikan di surga Natuna.
”Yang saya heran itu, kenapa kok bisa kapal perang kita kalau mau keluar (menindak KIA), mereka (kapal ikan asing) langsung lari. Harusnya kan bisa dikepung dulu, terus ditangkap,” ucap Daud yang curiga adanya “orang dalam” di setiap operasi penangkapan kapal asing di Natuna.
Terlepas dari semua itu, ada rahasia penting yang selalu dijaga Dedek dan timnya. Yaitu racikan akar kayu. Jamu seduh berisi campuran berbagai akar kayu, dan daun limau itu resep turun temurun yang diyakini masyarakat Tanjung Kumbik Utara sebagai minuman penghangat tubuh di tengah cuaca Natuna yang tak menentu.
“Racikan ini (akar kayu) ampuh sangat,” kata Dedek, tersenyum sambil menunjukkan sebungkus racikan akar kayu siap seduh. (jpg/dwi/k15/kpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post