JAKARTA – Inovasi berbasis teknologi tengah dipersiapkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menghadapi sengketa perselisihan hasil pemilihan (PHP). Rencananya, MK akan membuka pendaftaran sengketa PHP dengan menggunakan sistem online.
Sekjen MK Muhammad Guntur Hamzah mengatakan, kebijakan tersebut diambil berdasar hasil evaluasi penanganan sengketa PHP pada pilkada 2015. Saat itu, sejumlah penggugat mengeluhkan minimnya waktu pendaftaran yang hanya tiga hari setelah diumumkan.
”(Dengan cara online) batas waktu tiga hari yang diatur UU tidak telat. Tidak terjadi lagi dorong-dorongan karena mereka tenang,” ujarnya kemarin (25/12).
Sebagaimana diketahui, beberapa gugatan sengketa PHP pilkada 2015 dinyatakan gugur akibat pendaftaran yang terlambat. Di antaranya, ada yang beralasan kesulitan akses transportasi menuju Jakarta. Mulai minimnya tiket hingga terhambat cuaca buruk.
Guntur menilai pilihan tersebut merupakan langkah yang paling realistis. Sebab, berbeda dengan gugatan pada umumnya, sengketa pemilu dibatasi oleh tahapan. UU pun sudah mengatur secara limitatif waktu pendaftaran selama 3 x 24 jam. Di sisi lain, realitasnya belum semua daerah mendapat kemudahan akses transportasi.
Ditanya terkait persiapan menghadapi sengketa pilkada 2017, dia menegaskan tidak ada kendala berarti. Sebab secara regulasi, nyaris tidak ada yang berubah dari ketentuan pada pilkada sebelumnya.
Sebaliknya, dia memprediksi angka gugatan yang masuk jauh lebih sedikit daripada tahun lalu. Bukan hanya karena daerah pesertanya yang lebih sedikit, pengalaman banyaknya perkara yang ditolak akan membuat penggugat berpikir ulang. ”Dari 151 sengketa yang masuk, 137 di antaranya tidak memenuhi syarat pasal 158,” imbuhnya.
Syarat gugatan sengketa PHP memang tidak mudah. Pasal 158 UU Pilkada mensyaratkan bahwa gugatan harus memiliki margin suara 0,5 persen hingga 2 persen. Untuk daerah dengan jumlah penduduk di bawah 250 ribu jiwa, misalnya, margin suara penggugat dengan paslon peraih suara terbanyak maksimal 2 persen. Lalu, untuk daerah dengan jumlah penduduk 250 ribu–500 ribu, margin suara maksimal 1,5 persen.
Sementara itu, untuk daerah berpenduduk 500 ribu sampai 1 juta jiwa, selisih suara dibatasi maksimal 1 persen. Terakhir, bagi daerah dengan jumlah penduduk di atas 1 juta orang, margin maksimal selisih suara hanya 0,5 persen.
Selain ketatnya faktor prasyarat dalam pasal 158, di-cover-nya dugaan pelanggaran kampanye yang terstruktur, sistematis, dan masif oleh Bawaslu memberi seleksi dengan sendirinya. ”Maka, estimasi saya hanya 20 sampai 30 gugatan yang masuk,” ungkapnya. (far/c6/fat)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post