bontangpost.id – Dengan 1.735 lubang tambang, Kaltim memulai 2021 dengan pekerjaan rumah berat. Bayang-bayang bakal bebas dari industri ekstraktif cukup sulit. Meskipun energi ramah lingkungan disebut bakal digencarkan pemerintah pusat, seperti mobil listrik, namun ini jadi celah komoditas ekstraktif baru. Yakni nikel. Sementara itu, batu bara masih jadi pemandangan umum untuk dieksplorasi.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang mengatakan, lubang tambang di Kaltim tak jelas penanganannya. Ujung-ujungnya, lubang ini sudah merenggut 39 nyawa orang. “Luas lubang tambang di Kaltim itu 10,43 persen dari luas wilayah Kaltim,” ungkapnya dalam forum “Catatan dan Proyeksi Jatam 2021” (25/1). Di sisi lain, masih banyak masalah tambang seperti konflik agraria hingga urusan pembayaran jaminan reklamasi (jamrek). Belum kelar urusan tambang sebelumnya, kini Kaltim harus menerima bahwa daerah tak lagi memiliki kuasa untuk mengelola tambangnya sendiri.
Urusan perizinan kini dikelola pusat. Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Nasional (Jatamnas) Merah Johansyah mengatakan, dengan didorongnya energi yang disebut ramah lingkungan seperti penggunaan motor atau mobil listrik, sebenarnya juga akan mendorong produksi batu bara. Sementara Kaltim jadi produsen utama batu bara di Indonesia. Sebanyak 56 proyek dari 131 proyek strategis nasional (PSN) merupakan pembangunan PLTU batu bara dengan total kapasitas yang direncanakan 13.615 megawatt (MW).
“Dengan komitmen bersama pemangku kepentingan desa,” ujar dia. Ketimbang membiarkan perusahaan masuk mengeruk kekayaan alam, masyarakat desa sudah cukup menjadi petani. Untuk menambah ekonomi, mereka pun berencana mengembangkan pariwisata. Sebab, mereka memiliki sungai dan air terjun yang indah. Keindahan alam ini bisa rusak jika kawasan hulu mereka ditambang.
Terpisah, Kepala Dinas Penanaman Modal Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Puguh Harjanto mengatakan, sebenarnya sudah ada perusahaan nikel yang mau masuk di Kaltim. “Hanya, kita enggak bisa kalau hanya mentah,” kata Puguh. Lanjut dia, industri Kaltim ke depan tak bisa mengandalkan industri ekstraktif melulu. Karena itu, harus ada industri hilir. Jangan sampai bahan dijual ke luar, tapi kemudian dibeli kembali ke Indonesia dengan harga berkali-kali lipat.
Namun, saat ini urusan sumber daya mineral, diatur pusat. “Nikel itu baru pengajuan izin. Soal keharusan industri hilir, bisa diatur dengan regulasi. Cuma, sekarang kan semua di pusat. Kalau ada ruangnya untuk celah agar ada regulasi itu, bagus saja,” kata Puguh. Di sisi lain, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin dalam webinar pada akhir tahun lalu, hal ini pun disinggung.
“Di hulu pertambangan itu praktis lebih mudah dilakukan dengan keuntungan yang lebih besar. Namun, ketika tarik di hilir muncul istilah keekonomian bahwa nilai tambah keuntungan tidak seimbang dengan investasi (besar). Inilah sedang kita coba, sehingga keseimbangan itu terjadi,” jelas Ridwan. Aspek keekonomian, sambung Ridwan, merupakan aspek krusial atas keputusan kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia.
“Ketika keekonomian itu dikaitkan dengan pohon industrinya atau rantai pasok dari produk-produk hilir belum berjalan sesuai harapan,” ungkapnya. Indonesia telah menempatkan diri sebagai produsen bijih nikel terbesar di dunia pada 2019. Dari 2,67 juta ton produksi nikel di seluruh dunia, Indonesia telah memproduksi 800 ribu ton, jauh mengungguli Filipina (420 ribu ton Ni), Rusia (270 ton Ni), dan Kaledonia Baru (220 ribu ton Ni). (nyc/riz/k16/kpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post