Perpustakaan Pataba adalah representasi daya juang dan daya kreatif Pramoedya Ananta Toer. Ada buku, ada penerbitan, juga ada bukti kasih sayang kakak kepada adiknya.
LUKMAN HAKIM, Blora
MESIN ketik itu diletakkan di sudut ruang perpustakaan. Masih tersimpan rapi. “Itu pemberian Pram,” kata Soesilo Toer, empu perpustakaan bernama Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba) tersebut, sembari menunjuk mesin ketik yang dimaksud.
Bukan kepada dirinya, melainkan kepada saudaranya yang lain, Umu Sayafaatun. Umu dan Soes, adik-adik Pram. Mereka delapan bersaudara.
Minggu (6/2/2022) lalu adalah hari kelahiran Pram, sastrawan besar Indonesia yang beberapa kali masuk nominasi Nobel Sastra. Pataba didirikan Soes pada 2006, tahun ketika sang kakak berpulang, sebagai bentuk penghormatan kepada penulis tetralogi Buru itu. Untuk menghidupkan semangat Pram dalam karya-karya tulisannya.
Namun, tak ada perayaan apa-apa di perpustakaan yang berdiri di kediaman masa kecil Pram di Blora, Jawa Tengah, tersebut pada 6 Februari lalu. Sehari setelahnya (7/2), saat Jawa Pos Radar Bojonegoro bertandang ke sana, asap putih tampak mengepul di halaman rumah tersebut. Tulisan “Pataba” terpampang pada papan nama lawas yang sudah berkarat.
Soes sedang mengorek sampah. Doktor lulusan Rusia itu memang seorang pemulung, pekerjaan yang biasa dilakukannya pada malam hari dan kadang-kadang berlanjut sampai siang. Selain memilah barang rongsokan yang telah dikumpulkan, pria yang berusia 85 tahun pada Kamis depan (17/2/2022) itu juga rutin membakar sampah di halaman rumah yang sama.
’’Saya ini memang rektor (korek-korek kotoran),” gurau ayah satu anak tersebut dalam satu kesempatan.
Mesin ketik di sudut ruangan Pataba itu hanyalah satu bukti betapa sayangnya Pram kepada adik-adiknya. “Pram hanya tamat SD. Tapi, dia tidak ingin adik-adiknya putus sekolah,” ujar Soes yang pernah menjadi dosen di salah satu universitas swasta di Jakarta.
Dulu nama perpustakaan itu Pramoedya Ananta Toer Anak Asli Blora. “Tapi, kemudian karena ada satu isu yang berembus akhirnya diganti,” tutur Soes.
Pataba benar-benar sesuai namanya: Anak Semua Bangsa, yang diambil dari nama salah satu karya Pram dalam rangkaian tetralogi Buru. Berbagai kalangan, dari berbagai kota dan negara, pernah mampir ke sana. “Sudah perwakilan empat benua. Tinggal dari Afrika saja yang belum, semoga nanti ada (dari Afrika) yang ke sini,” ujarnya.
Pataba merupakan representasi semangat Pram dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Siapa pun yang berkunjung akan dijamu dengan baik. Diberi makan dan dipersilakan meminjam buku secara gratis.
Belasan tahun lamanya Pram pernah ditahan, yang paling lama di “kamp konsentrasi” Pulau Buru, Maluku. Bahkan setelah menghirup udara kebebasan pun, stigma “kiri” dan “komunis” terus membelenggunya.
Tapi, daya hidup dan daya kreatifnya memang eksepsional. Dialah jarak terdekat Indonesia dengan penghargaan prestisius itu: Nobel Sastra.
Di Pataba, semangat itulah yang berusaha terus diuri-uri. Lewat buku-buku yang memenuhi ruangan. Juga lewat penerbitan Pataba Press.
Rumah masa kecil Pram yang kini ditempati Pataba itu sudah mengalami renovasi beberapa kali. Awal dibangun pada 1923 oleh ayahnya. Berjalannya waktu hingga sekitar 1955 dilakukan renovasi dengan bentuk rumah sinoman.
Renovasi juga dilakukan Soes setelah dirinya pindah dari Bekasi. Dengan modal menjual tanah, dia membangun kembali bangunan yang sudah condong atau tidak tegak lagi saat itu.
“Diperbarui tiangnya dulu. Tiangnya condong miring, setelah itu pada 2018 juga dilakukan renovasi oleh pemerintah,” jelasnya.
Soes sangat mengagumi sang kakak, juga sangat terinspirasi olehnya. Tapi, dia tidak mau kalah. “Dalam menulis pun saya sudah bisa mengalahkan Pram,” ujarnya kepada Jawa Pos Radar Kudus dalam sebuah wawancara.
Kalau Pram menulis empat seri (tetralogi) novel, Soes berhasil membikin lima seri buku (pentalogi). Buku-buku Soes yang terkenal, antara lain, Pram dari Dalam, Pram dalam Belenggu, Pram dalam Kelambu, Pram dalam Tungku, dan Pram dalam Buku.
Semua tentang Pram. ”Pram itu pengarang. Sedangkan saya penulis. Ini dua pekerjaan yang berbeda,” tuturnya.
Soes menggambarkan, pengarang itu menulis dengan menggabungkan fakta dan fiksi. Bahasa kerennya penulisan kreatif. Sedangkan penulis itu menulis apa saja. Tentunya berdasar fakta-fakta. Menulis tentang kecantikan, nasihat perkawinan, atau biografi seseorang.
Dengan segala keterbatasan, dengan segala kekuatan, Soes akan terus teguh merawat Pataba. Keteguhan yang dia akui dia contoh dari sang kakak. “Dulu Pram tetap menulis meski banyak karyanya yang disita atau dilarang beredar. Pataba ini semacam pengingat bagi semua orang tentang keteguhan menjaga pendirian,” katanya. (*/c7/ttg/jpg/dwi/k16)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post