BONTANGPOST.ID, Bontang – Pengamat psikologi sekaligus dosen Universitas Mulawarman Lisda Sofia, mengapresiasi perhatian Pemerintah Kota Bontang terhadap pembentukan karakter generasi muda. Namun, ia menegaskan, intervensi terhadap siswa dengan ekspresi gender berbeda tidak cukup dilakukan melalui pelatihan singkat, apalagi dengan pendekatan militer.
Menurutnya, pembentukan karakter generasi muda bukan hanya tanggung jawab sekolah atau orangtua, melainkan perlu keterlibatan pemerintah agar tercipta kesepahaman lintas pihak.
“Pembentukan karakter generasi muda perlu sinergi dari semua pihak, bukan hanya sekolah atau keluarga,” ujarnya.
Dari perspektif psikologi, Lisda menjelaskan bahwa konsep maskulin dan feminin yang banyak diadopsi dari Barat tidak sepenuhnya relevan diterapkan di Indonesia. Masyarakat Indonesia memiliki nilai budaya timur dengan batas perilaku sosial yang lebih jelas antara laki-laki dan perempuan.
“Konsep dari Barat itu tidak adaptif di Indonesia. Kita punya nilai budaya sendiri yang menuntut batasan sosial lebih tegas,” terangnya.
Ia menyebut, masa remaja adalah fase eksplorasi dan pencarian jati diri. Dalam tahap ini, wajar jika remaja mencoba berbagai peran sosial, termasuk dalam mengekspresikan identitas gender. Karena itu, pendekatan terhadap siswa dengan ekspresi gender berbeda harus dilakukan dengan bimbingan dan edukasi yang ramah anak serta tidak menghakimi.
“Remaja butuh arahan dan pendampingan yang mau mendengarkan kegelisahannya. Jangan sampai diberi label atau disalahkan,” katanya.
Terkait rencana pelibatan unsur TNI dalam pembinaan siswa, Lisda menilai langkah tersebut tidak akan efektif jika dilakukan dalam waktu singkat. Pembentukan karakter, kata dia, merupakan proses panjang yang memerlukan konsistensi dan keterlibatan banyak pihak.
“Pelatihan oleh TNI satu-dua hari tidak akan membuat anak tiba-tiba berubah menjadi tegas. Pembentukan karakter itu proses panjang dan berkesinambungan,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan agar pembinaan terhadap siswa tidak dilakukan secara terbuka, karena berpotensi menimbulkan stigma baru dan menurunkan rasa percaya diri anak.
“Anak bisa jadi bahan ejekan dan semakin minder. Identitasnya harus dilindungi,” tegasnya.
Lisda menyarankan agar pemerintah menyusun program pembinaan karakter yang komprehensif dan sistematis. Program tersebut dapat mencakup edukasi bagi guru untuk menjadi teladan, pelatihan parenting bagi orang tua, penguatan kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka, bela diri, atau olahraga, serta pelatihan kepemimpinan yang tetap bisa melibatkan TNI sebagai bagian kecil dari kegiatan. Ia juga menilai pentingnya mengintegrasikan nilai budaya dan kearifan lokal dalam proses pembinaan.
Selain itu, ia menekankan perlunya konseling khusus bagi siswa yang membutuhkan, dilakukan secara rahasia dan melibatkan tenaga profesional. Menurutnya, konsistensi program sangat penting agar tidak sekadar reaktif terhadap fenomena sesaat.
Dari sisi biologis, perilaku ekspresi gender berbeda bisa dipengaruhi faktor genetik, hormonal, atau perkembangan otak. Namun, pengaruh lingkungan seperti pola asuh, pertemanan, dan media sosial juga sangat besar dalam membentuk ekspresi gender seseorang.
“Tidak semua perilaku itu bawaan. Lingkungan sangat berpengaruh. Karena itu perlu pendekatan yang menyeluruh dan edukatif,” jelasnya.
Lisda menegaskan, pendekatan terhadap remaja dengan ekspresi gender berbeda harus berorientasi pada kesejahteraan psikologis anak, bukan pada hukuman atau stigmatisasi.
“Penanganan harus komprehensif, integratif, berkesinambungan, melibatkan profesional, dan berpihak pada kesejahteraan psikologis anak,” pungkasnya.
Sebelumnya, Wali Kota Bontang Neni Moerniaeni, menegaskan bahwa pemerintah tidak pernah berencana mengirim siswa laki-laki dengan gaya gemulai ke barak militer.
Menurutnya, pendekatan yang dilakukan pemerintah adalah pembinaan karakter melalui pendampingan psikologis, bukan penempatan di institusi militer.
“Siswa yang teridentifikasi memiliki kecenderungan tersebut akan mendapatkan asesmen dan intervensi psikologis terlebih dahulu, melibatkan Ikatan Psikolog Klinik (IPK), sebelum pembinaan bersama TNI dan Polri,” jelas Neni.
Ia menegaskan, tidak ada rencana mengirim mereka ke barak militer. Fokus pemerintah adalah memberikan pendampingan agar para siswa merasa nyaman dan bisa berkembang secara positif.
Pendataan siswa dengan kecenderungan tersebut akan dimulai awal tahun depan. Sekolah diminta melakukan identifikasi awal dan melaporkan ke dinas terkait untuk proses pendampingan lanjutan.
Neni juga menegaskan agar tidak ada tindakan diskriminatif terhadap para siswa tersebut.
“Mereka tetap peserta didik yang memiliki hak pendidikan penuh,” ujarnya. (*)




