Penataan kelembagaan sebagai implementasi dari UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memberikan banyak efek dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagaimana diketahui, tujuan penataan kelembagaan diantaranya adalah untuk mendapatkan kelembagaan yang tepat fungsi dan ukuran (right sizing), mewujudkan organisasi yang efektif, efisien, memperpendek rentang kendali (spin of control) dan tidak terlalu membebani anggaran. Untuk itu, ada beberapa urusan yang dihapus dilebur ke dalam jabatan lain, sehingga fungsi-fungsinya tidak hilang.
Namun, dibalik tujuan tersebut, terdapat efek yang tidak dapat dihindari dari sekedar pembentukan kelembagaan baru, penggabungan atau penyempurnaan nomenklatur. Efek tersebut antara lain adalah efek yang ditimbulkan terhadap aset dan efek yang ditimbulkan terhadap arsip. Terhadap aset, tentu, terjadi mobilisasi aset dari SKPD lama ke Organisasi Perangkat Daerah (OPD) baru atau bahkan mobilisasi yang tidak teridentifikasi (alias hilang).
Efek yang kedua adalah efek terhadap arsip. Sama halnya dengan efek yang terjadi pada aset. Penataan kelembagaan, secara tidak disadari akan berpengaruh terhadap pengelolaan arsip lembaga dalam hal ini adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lama. Bagi SKPD yang urusannya yang dilebur dan bergabung dengan SKPD lainnya untuk kemudian membentuk OPD baru, besar kemungkinan arsip akan terpecah pula sesuai dengan arah kemana unit pengolahnya (urusannya) digabung.
Jika aset saja bisa hilang, apalagi arsip yang secara fisik jauh lebih kecil dibandingkan aset seperti meubelair, komputer, dan printer. Pada SKPD yang dilebur dan bergabung dengan SKPD lainnya arsip sangat mungkin akan berstatus yatim piatu. Artinya, arsip menjadi tidak bertuan, sebagai contoh arsip yang ada di kesretariatan SKPD dan arsip keuangan. Arsip tidak akan menjadi yatim piatu jika seluruh aparatur menyadari arti penting arsip. Kalaupun sudah ada peraturan yang mengatur tentang penyelenggaran kearsipan (UU No 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan), sebenarnya peraturan tersebut hanyalah penegasan terhadap arti penting arsip itu sendiri.
Arsip yatim piatu adalah tanggung jawab bersama. Ini adalah pekerjaan rumah yang tidak gampang terlebih jika arsip tersebut menyangkut pertanggungjawaban keuangan. Arsip keuangan adalah arsip yang sensitif karena menyangkut tanggung jawab, salah dalam pengelolaan bisa mengakibatkan tindak pidana bagi yang terlibat di dalamnya. Gegabah dengan mengakuisisi arsip tersebut tanpa ada prosedur yang jelas, seperti Berita Acara Serah Terima dan Daftar Arsip Yang Diserahkan, tentu bisa menjadi petaka.
Penataan kelembagaan tentu bukan kali ini saja terjadi. Sudah seharusnya dalam penataan kelembagaan perlu diperhatikan dampak yang akan ditimbulkan, terutama terhadap arsip yang telah tercipta. Pengalaman demi pengalaman, penataan kelembagaan menunjukkan bahwa arsip akan menjadi objek yang terlalaikan. Arsip menjadi objek yang sangat mudah untuk dilupakan begitu saja saat penataan kelembagaan terjadi, tapi sangat mungkin sulit ditemukan saat diperlukan di kelak kemudian hari.
Kita sadari atau tidak, penataan kelembagaan merupakan bagian dari perjalanan sejarah, khususnya dalam penyelenggaraan kehidupan pemerintahan. sejarah adalah bagian dari jati diri bangsa. Suatu bangsa akan menjadi tangguh tatkala bangsa tersebut mampu mengenali dan menganalisa potensi yang ada pada dirinya, karena jati diri bukanlah sekedar biodata tetapi lebih pada pengenalan siapa sesungguhnya kita. Jati diri juga bukan hanya dilihat dengan kondisi kita sekarang dengan sejuta impian di masa yang akan datang, tetapi juga sejarah masa lalu kita. Itulah jati diri bangsa. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: