Oleh: Ismet Rifani (Redaktur Senior Kaltim Post)
KESAN pertama yang terekam dari Luluk adalah tawanya yang khas memenuhi ruangan. Kali pertama perjumpaan saya dengannya 35 tahun lalu, pada hari pertama masuk SMA di Kota Minyak. Kini ia menjanda, dan tawanya masih memancarkan kegembiraan yang tulus. Hanya kepada saya, ia tersenyum kecut. Selalu!
Pertama kali saya berurusan dengan kaum Hawa, yang melibatkan perasaan, saat SMP. Oke..oke.. saya sebutkan namanya. Eva Gatna. Putih, cantik, dan sangat ramah. Senyumnya mengejutkan lawan jenis. Tatapannya, seingat saya sangat lembut. Tapi mampu mencairkan tembaga.
Saya suka dia. Bahkan mungkin bisa disebut jatuh cinta. Atau tak perlu pakai kata jatuh, jadi langsung cinta. Masalahnya yang suka dia bukan cuma saya. Lebih masalah lagi, Eva tak pernah suka kepada saya. Cintaku bertepuk sebelah kanan. Tanpa kiri.
Cinta monyet itu cepat berlalu. Karena saat masuk SMA, Eva terlupakan. Luluk yang centil, supel, dengan tawa yang sangat lepas tiba-tiba menyita perhatian. Lebih dari itu, setiap ke sekolah, aroma tubuhnya selalu wangi.
Kisahnya saya dengannya dimulai dari aritmatika. Entah kenapa saya suka pelajaran ini, dan Luluk seperti melihat hantu pada angka-angka hitungan.
Saya membantunya, mungkin memperalatnya, dan tak lama kami jadi sejoli sambil menerapkan simbiosis mutualisme. Dia lebih berada, dan pemilik kantin di sekolah tahu, siapa yang harus ditagih jika kami berdua masuk kantin. Memalukan memang.
Setidaknya, saat itu saya berpikir begitu. Karena, beberapa bulan kemudian kencan pertama saya dengan Luluk benar-benar lebih memalukan.
Hampir semua teman saya merokok. Pengaruh iklan; cowboy berkuda dengan rokok dari Negeri Paman Sam benar-benar menancap. Pria dengan rokok terlihat lebih macho. Saya masih tujuh belas tahun saat itu. Urusan godaan rokok, saya seperti kucing yang disuguhi ikan nila goreng. Susah membendung.
Saya dan Luluk menghabiskan Sabtu malam pada Desember 1988 yang dingin, di sebuah bioskop. Saat film bubar, saya punya kejutan untuknya. Saya mengantarnya pulang dengan sebatang rokok di mulut saya. Satu angkot penuh kepulan asap rokok. Luluk merengut. Tapi dia bisa apa. Saya adalah cowboy di iklan itu. Saya merasa lebih keren, lebih macho. Rokok hampir habis, tapi belum saya buang.
Kami tiba di pagar rumahnya. Sebelum membuka pagar, dengan keanggunan ala peragawati, Luluk berbalik menatap saya. Lalu menutup mata, dan gerakan di bibirnya seakan mengundang. Ya ampun… apakah saya harus menciumnya? Tapi saya kan cowboy, saya pun menciumnya dengan rokok masih menempel di bibir.
Luluk menjerit. Hampir tengah malam. Teriakannya disambut dengan nyala lampu di teras rumah. Ibu dan adiknya keluar rumah tergopoh-gopoh. Luluk menangis. Saya berubah jadi cowboy tengik. Tak ada lagi perasaan keren.
Bibir Luluk jontor terbakar. Ia tak turun sekolah hampir sebulan. Lukanya mungkin sembuh dalam dua pekan, tapi Luluk harus menata hati sebulanan. Karena kisah ciuman tragis akibat rokok itu tersebar di sekolah, lengkap dengan bumbu-bumbunya.
Saat itu belum ada medsos, tapi gunjingan dari mulut ke mulut tak kalah sadis.
Kepala sekolah harus memanggil dan menginterogasi saya. Di hadapan guru BP yang bertampang sengak itu ia mencecar. Mengapa saya merokok? Siapa lagi teman yang termakan iklan cowboy itu? Sudah berapa lama? Apakah orang tua saya tahu? Apakah orang tua Luluk tak menuntut? Apakah bibir Luluk akan cacat? Dan sejuta pertanyaan lain yang rasanya yang bikin saya ingin membenamkan diri ke dalam bumi jika bisa. Saya sangat malu.
Luluk masuk sekolah sebulan kemudian. Namun ikatan dua sejoli bubar. Ia memang masih sering tertawa renyah dan memancarkan kegembiraan, tapi saat matanya menatap ke arahku, senyumnya berubah datar dan kecut. Kondisi itu ia pertahankan hingga lulus SMA.
Dua tahun lalu ada reuni 33 tahun teman-teman SMA. Luluk datang juga. Sudah tiga dekade lebih, dan bekas luka di bibirnya tak bisa hilang. Senyumnya kepadaku masih juga kecut, bahkan rasanya lebih kecut.
Di kampus, saat kuliah, semua teman pria saya merokok. Alasannya seragam; supaya terlihat lebih keren. Sesekali saya hampir tergoda. Tapi pengalaman ciuman tragis dengan Luluk berhasil menepisnya. Saya tak pernah merokok lagi. Saya tak mau beli teori, merokok membuatmu terlihat lebih keren di depan kekasih. (ms)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post