bontangpost.id – Pemerintah melalui Pelaksana Komite Penanggulangan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) optimistis awal tahun depan sudah bisa mulai vaksin Covid-19. Kamis (3/9/2020), Ketua KPCPEN Erick Tohir bertemu dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) untuk melakukan koordinasi terkait hal ini.
Dari hasil pemetaan yang diberikan IDI dan PPNI, tercatat ada 1,5 juta tenaga kesehatan yang siap diterjukan saat imunisasi massal nanti. Nakes tersebut terdiri dari dokter, perawat, dan bidan. ”Selain itu, akan ada tim khusus dalam Satgas Penanggulangan Covid-19 yang bertugas untuk menilai vaksin dengan bekerjasama dengan IDI dan Kemenkes,” lanjutnya.
Hal ini bertujuan agar penggunaan vaksin bisa tepat sasaran dan efektif, mengingat keterbatasan jumlah. Erick menegaskan bahwa 1,5 juta tenaga kesehatan yang akan terlibat dalam program imunisasi masal harus divaksin terlebih dahulu. Alasannya, nakes ini yang menjadi garda depan. Setelah itu, baru akan pemberian vaksin kepada masyarakat.
Sayangnya, vaksin gratis hanya diberikan kepada sekmen tertentu. Erick mengaku belum menentukan skema apa untuk memberikan vaksin Covid-19 secara gratis. Menurutnya bisa saja menggandeng BPJS Kesehatan untuk data peserta penerima bantuan iuran (PBI) untuk menerima vaksin ini. Sementara untuk bagi yang merasa mampu bisa membayar vaksinnya. ”Tidak mendahulukan yang bayar. Namun ada sinkronisasi jadwal,” katanya.
Erick menyatakan pada tahap awal pemerintah fokus memberikan vaksin pada 70 persen penduduk Indonesia. Yang akan diberikan vaksin adalah mereka yang berusia lebih dari 18 tahun.
Selain itu, Erick juga menyampaikan akan membekali tenaga medis. Terutama perawat yang bekerja di ICU. Saat ini jumlah perawat yang membutuhkan keahlian khusus menurutnya terbatas. Program ini diyakini Erick akan berhasil karena BUMN memiliki 70 rumah sakit. ”Akan diatur kembali pedoman dan pelaksana di lapangan agar ada perbaikan dan kasus tenaga medis yang terdampak akan bisa ditekan,” ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua PB IDI Daeng M Faqih menyatakan bahwa vaksin tahap pertama harus diselesaikan selama enam bulan. Alasannya, vaksin memiliki keterbatasan waktu dalam memberikan kekebalan. Paling cepat enam bulan. ”Nah kalau tidak gotong royong, (pemberian vaksin pertama, Red) tidak terlaksana dengan baik,” ujarnya.
Ketua Umum PPNI Harif Fadhillah pun memberikan dukungan yang sama. Dia juga menyatakan bahwa rencana Erick untuk meningkatkan ilmu perawat merupakan hal baik. Sebab saat ini banyak perawat yang mengalami kelelahan karena over time dalam bekerja. ”Ini memang baru sekali, tapi kalau didorong maka ketersediaan perawat untu ICU akan cepat,” tuturnya.
Sementara itu, Ekonom Indef Aryo Irhamna menuturkan, pemerintah memerlukan anggaran minimal Rp 75 triliun untuk pengadaan vaksin dan pelaksanaan vaksinasi pada tahun depan. Kalkulasi tersebut berdasar dari perkiraan vaksin Sinovac yang mencapai USD 30 atau Rp 400 ribu per orang.
Jika mengacu pada standar WHO yang menganjurkan vaksinasi diberikan kepada 70 persen penduduk, maka setidaknya 170 juta orang Indonesia harus mendapatkannya. ‘’Sehingga, total anggaran yang dibutuhkan Rp 75 triliun,’’ ujarnya di Jakarta, kemarin (3/9).
Padahal, lanjut Aryo, biaya itu belum termasuk untuk logistik, tenaga medis, dan berbagai keperluan lain yang pendukung pengadaan vaksin. Sementara, pemerintah mengalokasikan anggaran penanganan kesehatan dalam RAPBN 2021 mencapai Rp 25,4 triliun yang notabene lebih kecil dari pada tahun 2020 yang mencapai Rp 87,55 triliun.
Anggaran Rp 25,4 triliun akan digunakan untuk pengadaan vaksin, imunisasi, sarana prasarana, laboratorium, penelitian dan pengembangan, serta cadangan bantuan iuran BPJS. ‘’Ini tentu mungkin belum masuk ke anggaran tapi seharusnya sudah ada karena Presiden sudah merencanakan itu untuk tahun depan,’’ imbuhnya.
Di sisi lain, pemerintah menyampaikan sejumlah strategi untuk merasionalisasi beban kerja tenaga kesehatan. ’’Agar tidak terjadi kelelahan dari para tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit,’’ terang juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito.
Rasionalisasi berlaku untuk seluruh nakes. Baik dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya yang ada di faskes. Caranya adalah pengaturan sif yang memungkinkan para nakes memiliki waktu istirahat cukup untuk pemulihan. Selain itu, para nakes dipasok suplemen untuk menjaga kesehatan mereka. Yang juga tidak kalah penting, Remunerasi bagi para nakes akan terus dicukupi.
Strategi lainnya adalah memilah-milah para nakes. Khususnya nakes yang memiliki komorbid atau penyakit penyerta. ’’Agar tidak melakukan praktik kontak langsung dengan pasien dan memanfaatkan konsultasi dengan telemedicine,’’ terangnya di kantor presiden kemarin.
Pilihan lainnya, nakes yang memiliki komorbid bisa berpraktik dengan bekerja dalam tim. Sehingga bisa berbagi beban dengan sesama nakes dan tidak membahayakan keselamatan maupun kesehatan mereka. Pihaknya bersama satgas penanganan Covid-19, Persatuan RS seluruh Indonesia, dan Kemenkes masih terus berupaya merealisasikan distribusi beban faskes. Khususnya dalam hal penyiapan fasilitas bed atau tempat tidur agar beban kerja nakes bisa dikurangi
Namun, langkah utama tetap menyasar masyarakat sebagai garda terdepan pencegahan Covid-19. Harus dipastikan agar masyarakat betul-betul menerapkan protokol kesehatan. ’’Sehingga tidak sakit dan tidak membebani pelayanan kesehatan yang ada. mengingat, bagaimanapun jumlah faskes dan nakes di Indonesia terbatas.
Terlebih, lonjakan pertumbuhan kasus positif Covid-19 dalam periode sepekan terakhir masih terus berlangsung. Kemarin pertumbuhan kasus positif mencatatkan rekor baru yakni 3.622 orang. Menjadikan total kasus positif nasional semakin mendekati angka 200 ribu, yakni 184.268 kasus baru.
Dengan pertambahan angka kasus positif ini, tingkat kesembuhan yang sebelumnya sempat menyentuh angka 72 persen pada akhir Agustus 2020, mengalami defisit sehingga menjadi 71,7 persen. Sementara kasus aktif naik 24,1 persen setelah sebelumnya sempat berada di angka 23 persen.
Jubir Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengungkapkan bahwa lonjakan kasus dalam beberapa minggu terakhir meunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. ”ini artinya bahwa kita sebenarnya belum berhasil menekan dan mencegah penularan secara konsisten dan secara nasional,” kata Wiku di Jakarta kemarin (3/9)
Wiku menjelaskan, ada 4 provinsi yang menjadi kontributor utama terhadap angka ini. Provinssi DKI Jakarta masih stabil memberikan tambahan kasus diatas 1.000 orang per hari. Kemarin (3/9) DKI Jakarta mencatatkan 1.359 kasus baru. Provinsi lain yang menyumbang terbanyak juga berasal dari Jatim 377 kasus baru, Jateng 242 kasus baru serta Jabar 238 kasus baru.
Jumlah kasus aktif tercatat naik ke angka 44.463 orang. Wiku mengatakan, jika dibandingkan dengan rata-rata dunia, kasus aktif masih sedikit berada di bawah rerata dunia yakni 26,2 persen. Kasus sembuh berada diatas rerata dunia 70,45 persen. Meski demikian, prosentase meninggal masih diatas rata-rata dunia dimana Indonesia tercatat 4,2 persen. Sementara dunia 3,31 persen.
56 persen kasus kumulatif disumbang oleh DKI Jakarta, Jabar, Jateng dan Jatim. DKI jakarta masih menunjukkan tren peningkatan tiap minggunya dengan kasus aktif 21,57 persen atau 9.069 kasus. Meski demikian, tingkat kesembuhan di DKI terhitung masing tinggi dengan 75,50 persen atau 31.741 orang. Tingkat kematian juga relatif rendah yakni berada di 2.92 persen.
Anggota Tim Pakar Satgas Penanganan Covid-19 Dewi Nur Aisyah masih meyakini bahwa lonjakan kenaikan kasus berasal dari mobilitas masyarakat Indonesia pada periode liburan kemerdekaan dan tahun baru islam pada akhir Agustus lalu.
Dewi menjelaskan, rata-rata positivity rate meningkat dalam 3 bulan terakhir. Pada Juni 2020, tercatata Positivity Rate 11.71 persen, kemudian naik lain 14,29 persen di bulan Juli kemudian naik lagi di Agustus sebanyak 15,43 persen. ”Secara nasional, sepekan terakhir kasus positif naik 32, 9 persen dari pekan sebelumnya,” Jelas Dewi.
Padahal, kata Dewi standar dari WHO positivity rate harus berada dibawah 5 persen untuk bisa mengatakan penularan telah terkendali. Inipun, kata Dewi, positivity rate didapatkan lebih banyak karena orang yang datang melapor ke Rumah Sakit karena ber gejala. ”Ada beberapa daerah yang baru melakukan active case finding. Tapi kasus positif ini 50 hingga 60 persennya dari orang yang datang dan melapor ke RS,” jelasnya.
Dewi menjelaskan, meningkatnya mobilitas akan diikuti meningkatnya resiko penularan. ”Efek penularna ini baru akan terlihat bukan 1 atau 2 hari setelah liburan. Namun saat sudah mulai bergejala, datang ke RS dan diperiksa. Ini mungkin ada delay 2 hingga 3 minggu baru kelihatan naiknya dimana,” jelasnya.
Beberapa kota yang mengalami kenaikan kasus tinggi kata Dewi memang berada di Jawa karena ada beberapa klaster besar yang muncul seperti klaster Pesantren dari Jatim dan Klaster Industri dari Jawa Barat.
Kabupaten Banyuwangi baru-baru ini mencatatkan diri di 10 daerah nasional dengan pertumbuhan kasus tinggi karena klaster Pondok Pesantren yang mencatatkan kenaikan kasus hingga 500 persen ”Banyuwangi 1 minggu terakhir kasusnya cuma 89, tapi tiba-tiba naik 584 kasus. Kenaikan ini 5 kali lipat,” jelas Dewi. (lyn/dee/byu/tau/kpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post